17 Mei 2022

Meminjam Buku Ala Ulama Dahulu

Hari buku 17 Mei, saatnya berkaca dan merenungi diri. Betapa buku kini semakin menjadi “intangible aset”. Yaitu yang aslinya berharga, tetapi seolah tak berwujud karena jarang dibaca. Saya tak akan membahas tentang membaca buku, tetapi soal menghargai buku terlebih dahulu. Meski hari ini banyak sekali yang beralih ke buku digital, namun buku kertas konvensional masih selalu nyaman dibaca, dicorat-coret, dan tentu saja dipinjam kesana kemari.


Soal pinjam meminjam buku, setiap kita rasanya pernah menjalankannya. Pastilah ada suka duka disana yang kita lalui bersama sahabat dan teman. Entah buku kita yang berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain tanpa konfirmasi, atau bahkan kembali dengan penampakan yang jauh berbeda dari sebelumnya, atau bahkan yang hilang begitu saja tanpa kabar.


Tentu semua mempunyai niatan yang baik. Yang meminjamkan berniat membantu dan menjadi fasilitator menyebarkan ilmu. Sementara yang meminjam sangat bersemangat dalam mencari ilmu dengan keterbatasan kemampuan yang ada. Nah, niatan yang baik saja tentu belum cukup. Perlu aturan-aturan dan etika untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan di atas. Namanya manusia, kadang lengah dan lupa, dan kadang juga sengaja.


Betapa pentingnya bab pinjam meminjam buku ini, sampai Syeikh Abdul Azis Sadhan, yang menulis kitab Maalim fi Thoriq Tholabil Ilmi (Panduan para penuntut ilmu), mengkhususkan satu bab yang berjudul : Para Pencari Ilmu dan Meminjam Buku, untuk membahas beberapa adab soal peminjaman buku.


Pertama, tentu layak kita sadari sepenuhnya, bahwa meminjamkan buku tetap saja adalah sebuah amal yang utama nan berpahala. Ini jelas masuk bab taawun sebagaiman seorang mukmin jelas dianjurkan dalam Al-Quran : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan” (QS Al Maidah ayat 2).


Sementara soal buku terkait dengan soal ilmu, yang jelas memiliki nilai keutamaan yang istimewa dalam syariat kita. Kita tahu beberapa ulama seperti Imam Hanafi dan Malik sampai menjadikan amal terbaik setelah yang wajib adalah kegiatan seputar ilmu. Bahkan dalam beberapa kesempatan lain Imam Syafii juga mengatakan hal yang senada dengan mengatakan : “mencari ilmu lebih utama dari sholat sunnah” juga ungkapan lain, “ Tidak ada hal yang lebih utama setelah mengerjakan yang wajib, melebihi mencari ilmu”.


Kedua, meminjamkan buku selain berpahala adalah mendatangkan keberkahan tersendiri dalam langkah mencari ilmu. Muhammad bin Muzahim berkata : Awal mula dari keberkahan ilmu adalah dengan meminjamkan Buku ( Kitab Adabul Imlak). Jadi, jika tidak semua kita bisa menyebarkan ilmu dengan mengisi kajian, memberikan nasehat dan ceramah, atau bahkan menyusun buku secara khusus, maka sejatinya meminjamkan buku yang kita punya adalah alternatif lain minimalis untuk menjaga “keberkahan” ilmu yang Allah SWT berikan pada kita.


Ketiga, hal yang menjadikan para ulama tetap mau meminjamkan buku -meski sangat berharga bagi mereka- adalah karena takut jangan-jangan termasuk bagian yang menyembunyikan ilmu. Dimana hal ini menjadi larangan secara umum dalam beberapa hadits, misalnya : “Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan di-belenggu pada hari Kiamat dengan tali kekang dari Neraka.”(HR. Abu Daud). Begitu juga larangan senada diisyaratkan dalam hadits lain :” “Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu kemudian tidak menceritakannya (tidak mendakwahkannya), seperti orang yang menyimpan perbendaharaan lalu tidak menginfakkannya.” (HR. Thobroni)


Keempat, karena begitu berharganya buku dalam pandangan ulama saat itu, maka sebagian mereka saat bukunya dipinjam sampai mensyaratkan adanya jaminan. Bahkan Abu Hafz Umar bin Usman Al-Janziy justru merekomendasikan hal tersebut, ia mengatakan dalam syairnya : " Jika engkau meminjamkan kitab, maka ambillah darinya jaminan tanpa perlu malu. Hal itu bukan berarti engkau berprasangka buruk pada peminjam, tapi menolong mengingatkannya untuk mengembalikan." . Dalam prakteknya, saat itu yang sering menjadi jaminan dalam pinjamaan buku antara lain mushaf, pakaian, bahkan juga emas.


Betapa luar biasanya penghargaan para ulama terhadap buku, sehingga sampai minta jaminan ketika dipinjamkan, bisa dipahami karena banyak dari mereka juga telah menghabiskan dana begitu besar untuk membeli buku. Dikisahkan bagaimana Al-Hafidz Abul ‘Alaa a-Hamadzaaniy  sampai menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy. Angka sebesar itu kalau dinilai dengan kurs rupiah saat ini mencapai 250 juta rupiah.


Betapa berharganya sebuah buku dalam pandangan ulama dahulu, hingga ada yang mengabadikan dalam senandung syarinya ketika ada seorang yang meminjam bukunya :

" Jika engkau pinjam buku ku manfaatkanlah dan jagalah baik-baik,

kembalikan dg utuh karena aku merindukannya,

Sekiranya bukan karena takut termasuk menyembunyikan ilmu,

niscaya engkau tak kan pernah melihat buku itu sama sekali”

 


Nah, bagaimana dengan Anda ?

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar