14 Jun 2012

Tuduhan Buku Porno yang Sembrono !

Hari-hari ini kita disibukkan dengan berita seputar 'novel porno' yang tersebar di banyak perpustakaan-perpustakaan SD. Pemberitaan tentang hal yang mengandung unsur porno memang selalu menarik perhatian dan menggairahkan pembaca. Hal ini nampaknya menjadikan media begitu bersemangat meluncurkan liputan demi liputan tentang hal ini. Maka bertebaranlah tulisan baik di media cetak maupun online dengan judul yang jelas tanpa tedheng aling-aling menyebutkan label " Novel Porno " atau " Buku Porno" tanpa tanda kutip sama sekali.


Saat melihat judul-judul pemberitaan tersebut pertama kali, darah saya serasa mendidih. Betapa tidak ? Apakah benar sudah sebobrok itukah birokasi di negeri ini, hingga novel porno bisa lolos dengan mudah langsung masuk di jantung pendidikan generasi belia kita ?. Selain itu, ketika disebutkan istilah "novel porno" ingatan saya langsung melayang ke majalah-majalah dewasa yang selain bergambar cover yang sensual, isinya pun jelas-jelas menawarkan penggambaran eksotisme tubuh dan adegan seksual. Gambaran demi gambaran tentang novel porno yang dibaca anak-anak SD pun terus berputar-putar dalam benak saya, yang tidak menambah apapun selain kegeraman demi kegeraman.

Kemudian kegeraman itu mengantarkan pada rasa penasaran untuk mengetahui buku apa saja yang disebut sebagai novel porno dalam pemberitahuan media. Ternyata tak diduga dan tak dinyana, beberapa dari buku itu sudah pernah saya baca dan bukan itu saja, saya juga mengenal dengan baik para penulisnya. Sebut saja novel Ada Duka di Wibeng (penulis: Jazimah Al-Muhyi),  Syahid Samurai (penulis: Afifah Afra), dan Festival Syahadah (penulis: Izzatul Jannah), ketiganya sudah lama saya kenal sebagai pegiat Forum Lingkar Pena (FLP) sebuah komuntas pembelajaran penulis yang telah menghasilkan ribuan penulis dengan karya-karyanya yang bergenre islami dan how to.

Akhirnya label "buku porno" yang sempat mengiang-ngiang di kepala saya segera saya hapus dalam-dalam setelah mengetahui hal ini. Kegeraman saya kini beralih kepada mereka yang telah menyebarkan label porno pada sebuah buku yang sejak awal didedikasikan untuk membawa pencerahan-pencerahan dan semangat perbaikan bagi generasi negeri ini. Saya tidak bisa membayangkan kesedihan para penulisnya, yang telah menghabiskan malam-malam dan hari-hari mereka berkarya dengan niatan tulus, tiba-tiba dituduh sebagai biang perusak moralitas bangsa. Simak saja komentar Wakil Walikota Bandung di republika online (10/6) , ia mengatakan dengan lugas : " ini merupakan penyusupan sistematis untuk merusak moralitas bangsa,” . Menyakitkan dan sungguh menyakitkan.

Kegeraman itupun kemudian saya tuangkan dalam bentuk kicauan di Twitter dan update status di Facebook, saya tuangkan di sana : Yang melabeli buku porno atas karya Jazimah Al Muhyi dkk, kemungkinannya hanya tiga : (1) Belum membaca bukunya  (2) Tidak mengenal penulisnya, dan (3) Tidak jujur terhadap hatinya atau tengah mencari kambing hitam.

Belum Membaca Buku 
Banyak narasumber dari kalangan kepala sekolah, guru atau birokrat yang terjebak dalam kesalahan pertama , yaitu belum membaca buku tersebut lalu tiba-tiba saja saat diwawancarai dengan gamblang menyebutkan buku-buku tersebut berkategori porno. Sayangnya, hal ini pun ditelan mentah-mentah oleh media dengan bersegera memberikan judul "buku porno" dan "novel porno" dalam setiap lanjutan pemberitaan. Pada titik ini media bisa dibilang sukses karena judul tersebut terbukti begitu cepat membelalakkan mata publik dan menarik perhatian masyarakat, dari rakyat hingga pejabat.

Saya meyakini sepenuhnya, jika para nara sumber itu -dan wartawan- mau meluangkan waktunya untuk membaca sepuluh lembar saja dari buku-buku yang dimaksud, niscaya akan kelu lidahnya dan bergetar jari jemarinya saat masih berani melabeli buku-buku tersebut dengan kategori "buku porno" atau "novel porno". Saya tidak minta mereka membaca keseluruhan isi buku -meskipun itu tentu lebih baik- namun coba tolong luangkan untuk membaca sepuluh halaman saja dari novel-novel tersebut, niscaya akan dengan mudah kita temukan pesan-pesan pencerahan dan semangat kebaikan yang terkandung disela-sela ilustrasi-ilustrasi cerita yang ada.

Sebenarnya pelabelan buku porno itu menjadi batal dengan sendirinya, ketika kita menyadari bahwa buku-buku tersebut pada hakikatnya telah lolos penilaian oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Bukankah kita belum pernah mendengar adanya buku porno lolos dalam penilaian peraturan manapun di negeri kita ini ? . Jadi sangat disayangkan pelabelan dan tuduhan semborono yang begitu cepat menyebar di masyarakat bahwa buku-buku berkualitas tersebut adalah "porno". Dalam ajaran islam yang indah dan elegan, urusan tuduh menuduh bukan perkara yang remeh. Seorang yang menuduh orang lain berzina misalnya, dia harus mendatangkan empat orang saksi yang melihat dengan mata kepala sendiri, jika dia tidak bisa mendatangkan dan tuduhan itu memang berdasarkan asumsi belaka, maka hukuman dera pun menanti. Ini hal yang tidak sepenuhnya identik memang, namun bagi saya setidaknya : menuduh novel islami sebagai "buku porno" sama kejinya dengan menuduh wanita sholihah baik-baik sebagai pezina atau pelacur. Adakah lidah yang tidak kelu mengungkapkan hal tersebut ?

Tidak Mengenal Penulisnya
Ada ungkapan yang biasa kita dengar " faaqidu syai' laa yu'ti " , orang yang tidak memiliki sesuatu apapun maka tidak akan bisa berbagi apapun kepada yang lainnya. Ungkapan ini juga berselaras dengan kata-kata " teko yang berisi teh, tidak akan mengeluarkan apapun selain teh itu sendiri ". Maka buku apapun itu selalu akan dengan mudah kita tangkap tema dan genrenya hanya dengan mengenal penulis serta latar belakangnya. Tanpa melihat lembar demi lembar halaman buku yang ditulis Rhenald Kasali, Hermawan Kertajaya atau Tung Desem Waringin, kita akan mudah menebak bahwa tema yang diusung adalah seputar Manajemen dan Motivasi. Begitupun saat seorang Ahmad Gozali dan Safir Senduk menulis sebuah buku, maka bisa dipastikan mereka berdua akan berbagi ilmu dan inspirasi seputar pengelolaan keuangan, khususnya keuangan keluarga. Maka hal yang sama juga dengan mudah bisa kita analogikan, buku-buku apa sih yang telah dan akan keluar dari goresan tinta seorang Izzatul Jannah, Afifah Afra dan Jazimah Al-Muhyi ?

Mereka bertiga bukan saja terampil merangkai kata hingga berhasil menuliskan puluhan judul buku di usia yang masih terbilang muda, namun juga mampu memberikan nilai dan ruh dalam setiap buku yang dituliskan. Mereka adalah orang-orang yang komitmen dan konsisten menjadikan tulisan sebagai saran dakwah dan perbaikan masyarakat. Mereka sejak lama memilih jalan ini dan terus istiqomah hingga detik ini. Mereka juga yakin bahwa setiap kata yang tertuang bisa membawanya melesat lebih dekat kepada Allah SWT, atau sebaliknya melemparkan mereka dalam jurang kehinaan. Saya meyakini bahwa semakin cepat tombol-tombol keyboard mereka mainkan untuk mengolah kata, semakin cepat juga catatan malaikat kebaikan bertambah dan terus bertambah insya Allah.

Selain di dunia kepenulisan, ketiganya adalah para pembicara kajian, training dan seminar remaja dan wanita yang mebahas begitu banyak tema pembentukan karakter, motivasi kepenulisan, dan tema perbaikan lainnya. Mereka juga adalah teman-teman dekat sosok-sosok sastrawan Islami seperti Helvy Tiana Rosa, Pipiet Senja, dan Habiburrahman Saerozi yang juga tergabung dalam komunitas FLP. Masihkah ada bayangan terlintas bahwa ketiganya akan menghasilkan karya yang porno atau berbau porno ? .

Mencari Kambing Hitam
Alasan ketiga yang paling menyakitkan : pelabelan buku porno adalah bentuk "kambing hitam" sekaligus pengalihan isu tentang karut marutnya birokrasi negeri ini, khususnya seputar distribusi buku-buku DAK yang ditangani oleh kemendikbud. Pernyataan Sekjen FGII Iwan Hermawan di republika online (12/6) juga mengindikasikan hal yang sama, yaitu adanya saling tuding antara pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab.  Ia kecewa pada pihak Kemendikbud. Sebab dalam audiensi ke Kemendikbud untuk mempertanyakan anggaran pengadaan buku tersebut, Senin (11/6) atau sehari sebelumnya, Kemendikbud menyatakan Dana Alokasi Khusus (DAK) diserahkan ke disdik kota dan kabupaten. Sehingga pengadaan buku itu jadi kewenangan disdik di daerah. Iwan mengungkapkan : " Tapi Disdik Kota menyebut DAK itu ada di tingkat provinsi, Sementara Disdik Provinsi sebaliknya. Tidak ada yang gentle,".

Buku-buku di atas sejak awal memang diperuntukkan untuk kalangan remaja, bukan anak usia SD. Bahkan dalam cover buku " Ada Duka di Wibeng" jelas tertulis segmentasi buku tersebut " For Teenager" alias untuk remaja. Karenanya, fenomena pelabelan buku porno adalah upaya menghapus jejak kesalahan-kesalahan distribusi yang dalam hal ini ada sepenuhnya di tangan birokrat. Saya sering memberikan ilustrasi sederhana dalam masalah ini : Bagaikan seorang yang pergi sholat Jumat ke masjid dengan memakai celana dan baju olahraga. Sangat kurang pantas, namun siapakah yang layak dipersalahkan ? yang mendesain celana olahraga tersebut, yang menjahitnya, ataukah oknum yang memakainya ke masjid ?. Siapapun akan bisa menjawabnya dengan mudah, yang diingatkan adalah yang memakainya ke masjid. Pun demikian yang terjadi dalam masalah "buku porno" ini, entah mengapa isu yang meledak justru mengarah pada pembunuhan karakter para penulis, sementara yang jelas-jelas mengirimkan buku dan membuka pintu sekolah agar buku tersebut bisa masuk sama sekali tidak tersentuh.

Akhirnya, hanya dua idiom yang bisa menggambarkan fenomena tuduhan dan pelabelan buku porno ini : yaitu "kambing hitam" dan "kacamata kuda".

Silahkan baca juga untuk pengayaan tema :

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/06/09/189008/Salah-Kamar-Berbuah-Penarikan
http://www.afifahafra.net/2012/06/salah-distribusi-penulis-yang-kena.html
http://forumlingkarpena.net/info_kepenulisan/read/siaran_pers___forum_lingkar_pena_tentang__penarikan_buku_yang_dituduh_porno 
http://media.kompasiana.com/buku/2012/06/13/buku-porno-itu-tidak-porno-koreksi-berita-metrotv/

Semoga bermanfaat dan salam optimis

4 komentar:

  1. Syukron pembelaannya, Ustadz... semoga bisa membuat teman2 tercerahkan...

    BalasHapus
  2. sebarkan..sundul..agar tidak terjadi penistaan karakter penulis...hanya karena birokrat pencari kambing hitam dan wartawan tanpa logika yg haus berita miskin logika, buta analisis dan fakta...

    abah

    BalasHapus
  3. sebagai pelajaran juga bg kita dan masy, agar ketika mendengar berita tidak langsung meng-judge. untung kebetulan anda tau penulisnya, kalo ternyata anda kebetulan blm tau penulisnya mungkin anda akan tetap menganggap itu 'porno' meskipun sebenarnya tidak.

    BalasHapus
  4. Satu lagi ustadz, yaitu menegnal 'Penerbitnya'. saya belum mengenal dan membaca buku tsb. Tetapi, saya kurang percaya pada berita tsb karena buku2 itu diterbitkan oleh ERA INTERMEDIA yang notabene saya sudah banyak memiliki buku terbitan ERA MEDIA.

    Jadi syukron ustadz, saya ijin share.

    BalasHapus