14 Feb 2023

Zakat dan Pemberantasan Riba

Barangkali sudah terlampau sering kita mendengar berita di koran atau media internet, tentang kasus bunuh diri karena terlilit hutang. Sebagian besar diantaranya karena terjerat dengan yang namanya “bank plecit”, yaitu rentenir yang beroperasi door to door baik di perkampungan, perumahan dan lebih-lebih lagi pasar tradisional. Mereka menawarkan jasa pinjaman dengan begitu praktis dan cepat, namun juga menjerat dan menghisap begitu kuat bak lintah darat. Sebagai gambaran saja, perhitungan bunga yang dikenakan bisa mencapai 25% perbulan, atau 300% setahun. 


Meski sudah banyak diberikan pencerahan di tengah masyarakat untuk menghindari riba secara umum, dan bank plecit secara khusus, keberadaan mereka tetap saja eksis ditengah masyarakat. Jika kita renungkan, hal tersebut memang bisa dipahami karena masyarakat kita khususnya golongan miskin tentu tak punya akses dan kemampuan untuk diterima di dunia perbankan. Diantara mereka yang mau memulai usaha tentu membutuhkan pinjaman modal yang cepat dan fresh dalam genggaman. Jangankan jaminan untuk diajukan ke bank, ijin usaha dan tetek bengek lainnya saja mereka tidak memiliki. Belum lagi mereka yang berhubungan dengan rentenir karena kebutuhan ‘dadakan’ yang sering tak terhidarkan, seperti biaya rumah sakit karena kecelakaan, atau biaya sekolah anak-anak mereka yang jika tidak dilunasi teranca, tidak ikut ujian. 


Padahal sungguh tidak kurang kita mendengar para penceramah dan muballigh mengingatkan tentang bahaya riba di dunia dan akhirat. Diantaranya firman Allah SWT tentang kondisi para pemakan riba kelak saat dibangkitkan dari kuburnya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila” (QS Al Baqoroh 275). Rasulullah SAW pun lebih detil mengancam semua yang mengelola operasional riba dengan jelas. Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah saw telah melaknat pemakan riba, yang diberi makan dengan riba, pencatat riba dan dua orang saksi dalam riba, dan beliau berkata semuanya adalah sama dalam dosanya (HR Muslim). Lantas jika ada yang meremahkan soal pinjaman di bank plecit karena soal nilainya yang sangat kecil, maka bisa kita merenungkan peringatan dari Rasulullah SAW : "Sesungguhnya satu dirham yang diperoleh seseorang dengan cara riba, dosanya lebih besar di sisi Allah dibanding tiga puluh enam kali perzinaan” (HR Baihaqy dan dishahihkan oleh al-Albany).


Karena itulah, untuk memberantas riba rentenir yang dioperasikan bank plecit di perkampungan dan pasar-pasar tradisional, sepertinya tidak cukup hanya pengingatan dan pencerahan melalui mimbar dan buku semata. Sudah saatnya kita ikut mengoptimalkan dan membesarkan zakat di sekitar kita, yang pada akhirnya juga akan berdampak pada pemberantasan riba yang berbahaya dan mengakar di masyarakat kita. Bagaimana sesungguhnya cara zakat mampu mempunyai peran signifikan dalam pemberantasan riba, mari kita kaji lebih mendalam. 


Cara yang pertama, adalah dengan Lembaga Amil Zakat memberikan langsung pinjaman modal kepada golongan miskin (mustahiq) dalam bentuk Qardhul Hasan yang sumber dana diambilkan dari dana zakat pos fakir miskin, tanpa syarat pengajuan yang berat dan tentu saja tanpa beban tambahan ribawi apapun. Cara ini tentu membutuhkan kesiapan pihak LAZ dalam mengelola peminjaman, serta pendampingan usaha yang baru mulai dirintis dan tumbuh berkembang.


Adapun cara kedua adalah pihak LAZ bekerjasama dengan pihak BMT atau Koperasi Syariah yang biasa menyalurkan pembiayan modal kepada masyarakat kecil. Pihak LAZ merekomendasikan para mustahiq kepada pihak BMT untuk diberikan pembiayaan sesuai SOP yang berlaku, dengan jaminan khusus dari pihak LAZ. Apabila jika kemudian dalam pelaksanaannya ternyata usaha tersebut tidak berhasil, maka pihak LAZ akan menanggung kerugian atau pelunasan pembiayaan terhadap BMT dengan diambilkan dari pos dana Gharimin, tentu dengan tetap memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan secara fiqih muamalatnya seputar ganti rugi pembiayaan.


Pertanyaan yang biasa dikemukaan kemudian adalah, apakah boleh jika dana zakat dialokasikan untuk dipinjamkan sebagai modal bagi fakir miskin yang membutuhkan untuk memulai usahanya. 


Jika kita menilik ke referensi fiqih klasik yang ada, memang tidak pernah disebutkan alokasi penyaluran dana zakat dalam bentuk peminjaman atau Qardhul Hasan, yang ada adalah penyaluran secara umum kepada mustahiq khususnya faqir dan miskin. Namun dalam pembahasan kontemperor banyak ulama yang sudah mengkaji dan membolehkan penggunaan dana zakat untuk keperluan tersebut. Logika hukum yang dikembangkan antara lain tentang hak mustahiq yang disebutkan dalam AlQuran dengan lafadz huruf “laam” yang menunjukkan kepemilikan. Maka kepemilikin disini tidak harus berarti kepemilikan secara ‘ain atau bendanya semata, namun juga bisa diartikan kepemilikan secara manfaat. Maka meminjamkan dana zakat kepada faqir miskin yang nota bene mustahiq, sama dengan memberikan kepemilikan kepada mereka secara manfaat. 


Logika fiqih yang dikembangkan para ulama berikutnya adalah dengan metode Qiyas Aula. Dalam konteks penyaluran zakat melalui system pinjaman (al Qordhul Hasan), maka jika golongan orang miskin boleh diberikan cuma-cuma dana zakat untuk mengangkat statusnya dari mustahiq menjadi muzakki, maka jika tujuan tersebut dapat tercapai hanya dengan memberikan pinjaman maka itu jelas lebih dibolehkan. Begitu pula dengan jika dana zakat bisa dimanfaatkan lebih dari satu orang dengan dana yang sama, maka tentu akan lebih baik dan bermanfaat.  


Dr. Syauqi Ismail Syihatah misalnya, beliau adalah Anggota Dewan Syariah Internasional untuk Zakat, beliau menyebutkan : “bahwa jika seorang yang berhutang (Ghorimin) boleh diberikan dana zakat untuk membayar hutangnya kepada lembaga (perbankan) lain, maka jika ia diberikan pinjaman dari dana zakat lebih dibolehkan, mengingat uang pinjaman tersebut, akan kembali lagi ke lembaga zakat”. 


Walhasil, banyak ulama’ kontemporer telah membolehkan penyaluran zakat dalam bentuk pinjaman atau al Qordhul Hasan, diantara mereka adalah Syekh Abu Zahroh, Khollaf, Hasan Khan, DR. Muhammad Humaidullah Al Haidar Abadi, DR. Syauqi Ismail Syihatah, DR. Yusuf Qordhowi dan sejumlah ulama’ lainnya. 


Yang menarik adalah, bahkan jika proyek pemberantasan Riba ini sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak, untuk menyelamatkan umat dari jerat ekonomi ribawi, maka bisa jadi kebutuhan untuk memberikan solusi riil di tengah masyarakat bisa diambil dari dana zakat pos fii sabilillah, karena masuk dalam kategori jihad ekonomi pemberantasan riba. Tentu hal ini bisa dikaji lebih lanjut, tapi bagi kita mari bisa kita mulai upaya pemberantasan riba ini dengan juga mensosialisasikan tentang zakat pada masyarakat di sekitar kita. Wallahu a’lam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar