5 Des 2018

Reuni 212 : Sehari penuh Cinta di Ibukota

Keberangkatan ke Jakarta kali ini beda dengan biasanya. Saya sempat ragu untuk berangkat karena Sabtu siang sd ashar masih ada agenda, sementara teman2 sudah pada berangkat siang itu bahkan pagi harinya. Belum sehari sebelumnya ada permintaan tugas safar di pekan depan yg mengharuskan saya bersiap lebih awal dan juga menjaga fisik agar tetap fit. Namun setelah niat membulat, akhirnya Sabtu jelang siang selembar kode tiket KA sudah ada di tangan. Alhamdulillah.
Ada sekian hal yg kemudian membuat akhirnya saya berniat bulat berangkat. Pertama, seperti dikatakan Ibnu Umar ketika ditanya mengapa engkau mau berdesak-desakan saat mau mencium hajar aswad, dia menjawab kurang lebih : karena hati saya senang berdesak-desakan dengan mereka yg mempunyai niatan yg sama mulia. Kedua, saya selalu berpikir : jika untuk hal semacam ini saya banyak beralasan udzur, bagaimana jika ada tuntutan "berjuang" yang lebih berat lagi kelak ?. Dan yang ketiga, ini yang unik : yaitu saya ingin mengenalkan sejak dini pada anak2 agar belajar untuk berkorban & berjuang demi persatuan & kejayaan umat. Mungkin terlalu bombastis atau lebay, namun dengan mereka ingat bahwa ayah mereka pernah berangkat dlm hal2 semacam ini, saya ingin kelak mereka mengingatnya dan menjadikan itu motivasi bagi mereka untuk turut mengikuti "aksi2" semacam itu di masa depan.
Begitu keluar dari stasiun Senen, langsung disambut rombongan dengan panji2 tauhid yang sedang longmarch menuju Monas, diwarnai senandung sholawat bersama yang syahdu. Kami langsung larut dalam rombongan jalan kaki tersebut, yang nuansanya tidak berlebihan jika disebut mirip antrian melempar jumroh aqobah paska wukuf di arofah. Tampaknya berbeda dengan dua tahun lalu, kali ini meski baru jam setengah enam, jalanan kwitang menuju tugu tani sudah tak bisa dilewati mobil dengan baik. Semua terhenti dan parkir mendadak di jalanan, larut menjadi peserta aksi. Sampai disini, segala keraguan untuk ikut aksi yang sempat menggelayut di dada rasanya hilang seketika.
Sehari di Jakarta saat aksi & paska aksi reuni 212, bertemu banyak orang dan kisah yang semua layak jadi inspirasi bagi kita. Ada bapak2 tua dari Ciledug yg akhirnya berangkat sendirian, karena malu saat melihat berita bahwa yg dari jauh-jauh luar Jawa bersemangat hadir ke Monas. "Masak saya yg dekat malah gak hadir mas ?" serunya sambil menikmati bekal makan siang yg disediakan keluarganya. Dia juga bercerita ada 3 anak usia 13-15 tahun (awal SMP) dari Sukabumi ikut aksi ke Monas, hanya bermodal numpang beberapa kendaraan yg ada di jalan, kadang truck kadang mobil box, hingga akhirnya sampai di Monas juga. Luar biasa. Ketika mereka ditanya ongkos buat makan, dijawab " jangan khawatir untuk urusan makan pak, banyak saudara2 di sini membagikan makanan, kami juga alumni 212 dua tahun yg lalu kok" ujar mereka bangga. Bayangkan anak usia segitu bertiga, dari Sukabumi ke Ibukota dengan niatan mulia & segepok keberanian, bukan untuk main2 kelayapan sebagaimana dilakukan anak sebaya mereka.
Saya juga bertemu bapak tua lainnya berasal dari Maluku Utara, sendirian dia berangkat khusus untuk datang aksi tersebut, dimana pesawat memerlukan waktu hampir 4 jam dari Ternate ke Jakarta. Tentu membutuhkan biaya dan tenaga yang jauh lebih besar dari yang saya jalani.
Hal unik yang banyak saya temui di lapangan Monas adalah, sepasang suami istri yg saya kira mereka telah mencapai usia pensiun, dari tampilan mereka sekilas adalah dari golongan menengah ke atas. Mereka rela berpanas2 dan berpeluh2 bersama anak2 muda lainnya. Asyik menggelar tikar dan membuka bekal dari rumah, wajah mereka terlihat sangat puas dan teramat bahagia bertemu saudara seiman dengan semangat yg mulia. Kalau dipikir lebih dalam, alasan apa yg membuat mereka mau meninggalkan segala kenyamanan yang tersedia di rumah, lalu harus berpanas-panasan dan berdesak-desakan di Monas ? Kalau ada yang menyebut peserta mendapat bayaran sekian ratus ribu, rasanya itu hanya mengucapkan yg ada dalam fikirannya sehari-hari, bahwa mengumpulkan masa sama dengan menggelontorkan dana.
Yang lebih unik justru ketika naik Gojek menuju stasiun Senen untuk kembali ke Solo. Abang gojek ternyata lebih galak dari penumpangnya soal menyikapi kondisi politik terkini. " pokoknya kalau dia kepilih lagi, bisa hancur negeri ini mas ", serunya bak analis politik kawakan. Ketika saya tanya alasannya, tanpa ragu bapak itu menjelaskan dengan runtut. "Pertama, yg jelas2 saja ya mas, PLN .... dulu 100rb cukup sebulan, sekarang 350rb mas saya habisnya. itu belum yg lain2. Kedua, soal kehidupan beragama, ini kita dipecah belah, dinistakan ... gak boleh terpilih lagi pokoknya", ujarnya masih dengan penuh semangat. Saya terharu, dan ujungnya sebelum berpisah kami saling mendoakan semoga ke depan semua menjadi lebih baik.
Akhirnya, reuni akbar 212 bisa menjelaskan begitu gamblang, betapa umat mencintai negeri ini sepenuh hati. Tak ingin ada ketidakadilan dan kebohongan dalam mengelola negeri indah ini. Semoga setelah ini tak ada lagi terdengar kasus2 penistaan agama manapun, apalagi sampai ada keputusan pengadilan yang melecehkan, dimana pembakar bendera Tauhid hanya diganjar 10 hari penjara dan denda 2ribu rupiah, seperti hukuman maling bakwan di kantin sekolahan.

Hatta Syamsuddin
*ditulis di KA, perjalanan pulang Jakarta-Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar