10 Feb 2014

Inspirasi Pemimpin yang Menolak Fasilitas & Pelayanan

Jika kita bicara tentang segala sifat dan ciri kepemimpinan dalam literatur manajemen modern, semuanya akan dengan mudah kita temukan berserak dalam paparan siroh nabawiyah, peristiwa demi peristiwa. Salah satu yang akan kita ambil inspirasinya kali ini adalah kisah persiapan keberangkatan pasukan muslimin dalam perang Badar. Kita semua sama tahu, peperangan Badar adalah peperangan besar pertama kali yang dihadapi kaum muslimin di Madinah, melawan kaum kafir Qurays di Mekkah. Bahkan rencana awal peperangan yang berupa operasi penyergapan kafilah dagang Abu Sufyan, berubah menjadi berhadap-hadapan dengan pasukan besar kaum kafir Qurays, yang berjumlah 1300 pasukan dengan kelengkapan perang dan logistik yang berlipat-lipat.

Sungguh berbeda dengan kondisi pasukan muslim, yang hanya membawa sekitar 300-an prajurit lebih sedikit, yang bukan hanya minim secara jumlah, namun juga peralatan, sarana pengangkutan perang. Hanya ada sekian unta dan sedikit kuda yang tentu saja masih jauh sangat kurang dari jumlah yang semestinya diharapkan. Belum lagi medan perang Badar yang terpampang cukup jauh dari Madinah sekitar 230 km, dengan cuaca panas yang bisa melumerkan semangat orang-orang kebanyakan.

Namun tentu hal tersebut tidak berlaku bagi kaum Anshor dan Muhajirin, yang sejak awal telah melekat kuat semangat terpatri dalam dada, ikut bersama Rasulullah SAW kemanapun menyongsong surga. Mereka tak sudi disamakan dengan Bani Israil pengikut nabi Musa as, yang dengan penuh kesombongan dan kemalasan berteriak kepada pemimpin sekaligus nabi-nya : " pergilah Anda dan Tuhan Anda untuk berperang,  sungguh kami disini saja duduk-duduk menunggu "(QS Al Maidah 24).  Karenanya, meskipun sedikit perbekalan dan minimnya kendaraan, merekapun tetap teguh melanjutkan perjalanan.

Untuk efektifitas keberangkatan pasukan, maka kemudian dibagilah kendaraan yang ada, dimana seekor onta untuk jatah tiga sampai empat orang, untuk ditunggangi bergantian, sementara yang lainnya berjalan kaki. Tentu saja seekor unta tidak bisa dipaksakan untuk dinaiki tiga atau empat orang sekaligus, maka pembagian giliran berupa dua orang naik onta, dan satu orang berjalan. Begitu bergantian seterusnya hingga sampai di tujuan.

Saat pembagian tersebut, tercatat Rasulullah SAW ikut dalam rombongan pembagian unta bersama Ali bin Abi Tholib dan Abu Lubabah. Kita berhenti sejenak di sini. Ini bukan hal yang biasa dan sederhana, apalagi dilihat dari logika dan kepemimpinan yang terserak hari ini. Rasulullah SAW tidak melihat dirinya sebagainya pemimpin besar yang harus disediakan fasilitas berlimpah nan berbeda. Jangan bayangkan pesawat kepresidenan atau air force one, bahkan untuk tunggangan seekor unta nan bersahaja pun beliau siap berbagi. Dalam logika sederhana kita, bisa saja beliau meminta jatah satu unta yang terkuat nan hebat, dan tidak ikut dalam pembagian pasukan. Namun beliau tidak melakukannya, karena kondisi kekurangan yang ada pada waktu itu salah satunya. Memang dalam perkembangan zaman berikutnya, saat kaum muslimin telah berkembang dari semua sisinya, termasuk perekonomian dan perlengkapan perangnya, beliau memang memiliki kuda nan gagah yang dijuluki dengan al-qoshwa.

Apa yang terjadi kemudian saat perjalanan pasukan sepanjang 230 km itu mulai bergerak. Saat tiba giliran Rasulullah SAW untuk berjalan kaki, maka dengan serta merta Abu Lubabah dan Ali bin Abi Tholib berebutan menawarkan diri untuk menggantikan Rasulullah SAW dalam berjalan kaki. Keduanya tak rela dan segan jika harus naik unta sementara pemimpin dan nabi mereka berjalan disamping. Lalu apa jawab Rasulullah SAW melihat dua sahabat mudanya bersemangat menggantikan dirinya berjalan kaki ? Sejarah mencatat jawaban sederhana beliau penuh keakraban : " Kalian berdua ini belum tentu lebih kuat dari diriku, dan aku juga masih butuh pahala sebagaimana kalian berdua ". Bisa kita bayangkan, di saat usia beliau menapaki 55 tahunan, sementara Ali bin Abi Tholib 38 tahun lebih muda, tak terbersit dalam pikiran beliau untuk memanfaatkan ketulusan sang prajurit.

Pemimpin yang tidak ingin berlimpah dalam fasilitas, dan juga ingin merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya, tidak tenggelam dalam lautan harta dan fasilitas kemudahan yang memabukkan. Kita tentu semua merindukannya. Kita mulai dari diri kita, dengan mengambil inspirasi dari sekelumit kisah kepemimpinan Rasulullah SAW di atas. Semoga bermanfaat dan salam optimis.

2 komentar:

  1. semoga pemimpin Indonesia (kelak) ada seperti itu ya :)

    BalasHapus
  2. kita harus turun tangan mendukung orang-orang baik di pilpres 2014 nanti, saya yakin jika kita mau turun tangan, indonesia bakalan punya pemimpin yg amanah

    BalasHapus