30 Jan 2014

Apa Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional ?

PERTANYAAN : Ustadz, saat ini banyak tumbuh berkembang bank syariah di perkotaan, yang juga diikuti dengan koperasi syariah atau BMT di kecamatan dan desa. Sebagai seorang muslim, tentu saya tertarik dan bersemangat untuk menabung di koperasi syariah tersebut, namun yang saat ini masih membuat saya ragu, adalah pendapat sebagian teman saya yang mengatakan bahwa sama saja saat ini antara yang syariah dan yang tidak. Karena itu, untuk menjawab keraguan tersebut, mohon kiranya bisa dijelaskan apa sebenarnya titik perbedaan antara bank/koperasi syariah dengan yang konvensional. Maturnuwun
JAWABAN :Terima kasih atas pertanyaannya, semoga semangat menuntut ilmu dan melakukan segala sesuatunya dengan penuh ilmu dan keyakinan bisa terus dipertahankan, karena beramal tanpa ilmu, sebagaimana ungkapan Umar bin Abdul Aziz, akan lebih banyak merusak dari pada memperbaiki.

Kebanyakan pendapat yang mengatakan bahwa bank atau koperasi syariah sama saja dengan yang lainnya, biasanya dikarenakan dua hal. Pertama, sebagian nasabah koperasi konvensional yang sudah terbiasa dan tahu seluk beluk praktik peminjaman koperasi konvensional, lalu saat berhubungan dengan koperasi syariah mereka tidak melihat ada hal yang berbeda, sama-sama pinjam uang dan ada tambahan. Mereka hanya tahu : pokoknya kami butuh sekian-sekian dan siap mengangsur sekian-sekian dalam pengembaliannya, tanpa mengetahui –atau tidak mau tahu- akad apa yang dipakai dalam transaksi tersebut, dan bagaimana syarat serta ketentuannya.

Sementara sebagian yang kedua, menganggap sama antara koperasi syariah dengan yang lainnya dikarenakan  mereka yang memahami tentang ilmu ekonomi syariah, lalu melihat aplikasi sebagian bank/koperasi syariah yang tidak sesuai dengan apa yang semestinya dilakukan dalam akad-akad syariah. Misalnya tertuang akad jual beli, ternyata dalam aplikasi tidak ada barang yang diperjualbelikan. Hal semacam ini bisa saja terjadi karena faktor SDM atau kurangnya pengawasan di beberapa bank atau koperasi syariah, namun secara umum tidak bisa diartikan bahwa secara umum sama antara koperasi syariah dan yang lainnya.  Memang pandangan ini sepenuhnya juga tidak bisa disalahkan, dan layak menjadi bahan evaluasi pihak bank atau koperasi syariah untuk meningkatkan kualitas kepatuhan syariahnya, khususnya dalam hal aplikasi. Kalau tidak, maka akan mudah masyarakat memberikan stigma sama antara syariah dan konvensional, karena bukankah karena nila setitik rusak susu sebelanga ?

Kembali ke pertanyaan saudara, apa point perbedaan antara koperasi syariah dan yang lainnya. Saya coba ringkaskan bahasan tersebut dalam tiga hal, yaitu tentang : akad tanpa riba, produk & usaha yang halal, dan pengawasan syariah berbasis fatwa MUI.

Pertama, Akad tanpa Riba : 
Kemunculan bank syariah sendiri atas dasar upaya menyelamatkan umat dari sistem ribawi bank konvensional yang telah menggurita dan mengakar kuat dalam masyarakat. Riba dengan segala bentuknya telah jelas dilarang dan dilaknat dalam Al-Quran dan Sunnah, bahkan bukan hanya kedua belah pihak yang bertransaksi saja yang terlaknat, namun juga organisasi atau lembaga yang bekerja dengan sistem ribawi, sebagaimana riwayat dari Jabir ra, beliau berkata : Rasulullah saw telah melaknat pemakan riba, yang diberi makan dengan riba, pencatat riba dan dua orang saksi dalam riba, dan beliau berkata semuanya adalah sama dalam dosanya (HR Muslim). Karena itulah sudah semestinya hal ini tertancap kuat dalam benak setiap muslim, hingga kemudian berhasil menghadirkan kemunculan sistem perbankan yang syariah.

Maka jika pada bank konvensional, ada istilah peminjaman yang berbasis bunga, dimana seorang nasabah meminjam dana maka akan dikenakan tambahan dalam pengembalian sebesar sekian persen dari pokok terhutang setiap modalnya, demikian seterusnya hingga nasabah tersebut berhasil melunasinya. Sehingga bisa jadi uang yang ia pinjam Rp 10 juta dari bank, maka dalam satu tahun ia harus melunasi secara mengangsur dengan jumlah total 11 atau 12 juta. Tambahan yang disyaratkan sejak awal akad peminjaman ini jelas masuk kategori riba yang diharamkan, sebagaimana sudah banyak difatwakan oleh para ulama dunia dan juga fatwa MUI tahun 2004 tentang bunga bank.

Adapun di bank syariah, tidak mengenal istilah pinjam meminjam dan tambahan ribawi atas pinjaman tersebut. Koperasi /bank syariah akan memberikan layanan yang tidak jauh sifatnya dari tiga hal yaitu : jual beli (murobahah), investasi atau kerjas sama modal (mudhorobah), atau sewa-menyewa atau pengupahan ( ijaroh). Dari tiga hal layanan di atas bank/koperasi syariah juga akan mendapat keuntungan yang halal dan tidak bersifat ribawi. 

Dalam jual beli (murobahah), maka nasabah yang membutuhkan barang seperti sepeda motor pesan ke bank/koperasi, lalu kemudian pihak koperasi akan menyediakan sepeda motor tersebut dengan cara dibeli dari dealer, untuk kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan mengangsur. Dalam murobahah bank mendapatkan masukan dari keuntungan (margin) antara harga sepeda motor yang dibeli dari dealer, dan yang dijual kepada nasabah.

Adapun dalam mudhorobah, nasabah yang memiliki usaha riil dan produktif mengajukan penambahan modal usaha, maka koperasi syariah setelah melakukan pengecekan dan mempelajari prospek usaha tersebut, akan memberikan modal tertentu dalam batas waktu tertentu, dengan hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi dua (bagi hasil) dengan nisbah yang telah ditentukan prosentasenya sejak awal, seperti 60%-40%  atau 70%-30% sesuai kesepakatan tiap bulan atau tiap periode tertentu. Disini tentu diperlukan kejujuran dan profesionalitas nasabah dalam pencatatan laporan keuangannya. Nasabah kemudian mengembalikan modal tersebut pada akhir masa akad, atau boleh dengan sistem mengangsur sebelumnya untuk meringankan nasabah jika diperlukan.

Adapun dalam ijaroh atau upah mengupah dan sewa menyewa, lebih sederhana karena dalam hal ini koperasi mempunyai layanan yang memudahkan bagi nasabah, kemudian nasabah membayar biaya (fee) sebagai gantinya. Misalnya dalam hal pembayaran listrik, telepon dan yang semacamnya, nasabah yang menggunakan fasilitas koperasi syariah untuk pembayaran tersebut, dikenakan biaya fee tambahan.

Ketiga jenis akad tersebut adalah yang paling banyak dilakukan di koperasi syariah, meskipun sebenarnya masih banyak lagi produk akad-akad syariah yang bisa juga diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.

Kedua : Produk & Usaha yang Halal. 
Sebagaimana sama kita ketahui bahwa syariat mengharamkan segala bentuk transaksi dan jual beli yang berkenaan dengan barang haram, maka begitu pula yang terjadi di koperasi syariah. Tidak setiap permintaan pembelian barang dengan akad murobohah disetujui, sebagaimana tidak setiap permintaan investasi dana untuk usaha disetujui. Pihak koperasi syariah akan meneliti lebih jauh jenis barang yang diminta, dan untuk apa barang tersebut, begitu pula dengan jenis usaha yang dilakukan nasabah, apakah sesuai dengan aturan syariah atau melanggar. Karena dalam bahasan fiqh klasik pun dikenal hal seperti ini, misalnya larangan menjual anggur kepada mereka yang dikenal sebagai pembuat khamr, dan banyak contoh lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT :  “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. [Al Maidah :2].

Ketiga : Adanya Pengawasan Syariah. 
Manusia tidak pernah luput dari dosa dan kesalahan, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits ada yang sore beriman dan pagi hari kafir, begitu pula sebaliknya. Iman manusia terkadang naik dan turun, sehingga demikian pula dalam menjalankan ekonomi syariah. Sehingga salah satu pembeda utama antara bank syariah dan konvensional adalah adanya pengawasan syariah, yang meneliti dan memastikan bahwa seluruh transaksi yang dijalankan lembaga keuangan tersebut sudah sesuai dengan aturan syariah atau belum. Dalam hal ini pengawasan syariah pada bank/koperasi syariah tidak melaksanakan “ijtihad” secara pribadi karena hal tersebut di luar kemampuannya. Namun mengambil landasan dari fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dalam bidang ekonomi syariah. Pengawas syariah lah yang memastikan bahwa fatwa-fatwa DSN MUI tersebut bisa dilaksanakan dengan baik dan teknis di lingkungan koperasi syariah.

Nah, demikian setidaknya tiga hal utama yang semoga bisa memberikan gambaran tentang perbedaan antara bank syariah dan bank lainnya. Dengan catatan tentu saja, bahwa bank  dan koperasi syariah pun tentu harus dituntut untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerjanya, agar pandangan masyarakat yang menyamakan antara syariah dengan konvensional lambat laun bisa terbantah melalui aplikasi dan bukti nyata. Semoga Allah SWT memudahkan. Wallahu a’lam bisshowab

*artikel dimuat dalam Rubrik Konsultasi Majalah Insani BMT Bina Insan Mandiri, Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar