7 Sep 2011

Catatan Lebaran 1432 H (4) : Benarkah Menteri Agama Melakukan Kebohongan Publik ?

Beberapa jam setelah keputusan sidang itsbat tentang istikmal Ramadhan menjadi 30 hari, dan lebaran ditetapkan pada Rabu 31 Agustus, di media beredar kabar dan statemen tentang kebohongan publik yang dilakukan oleh Mentri Agama Suryadarma Ali dalam sidang istbat tersebut. Berita kebohongan publik ini mulai beredar setelah adanya keputusan pemerintah kerajaan Malaysia, dan menyusul Kerajaan Saudi bahwa kedua negara tersebut berlebaran tanggal 30 Agustus, tidak sebagaimana dikemukakan oleh Mentri Agama yaitu sama dengan Indonesia Rabu 31 Agustus.

Maka berita kebohongan Mentri Agama ini pun menggelinding bak bola salju dan kian memanas. Tentu saja hal ini tidak bisa lepas dari kekecewaan atas hasil sidang itsbat yang terkesan “mengundurkan” lebaran dari yang tertera pada kalender.  Media pun tak kalah sibuk sounding seputar hal ini dengan menanyakan pada beberapa tokoh dan akademisi.  Bahkan bukan hanya kebohongan yang dibahas, namun juga mengarah pada tuntutan mundur dari jabatan menteri dan proses hukum. Sungguh cepat kabar berputar.

Situs Rakyat Merdeka Online misalnya, memuat statemen keras dari Dahnil Anzar, seorang dosen dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), yang menyatakan  sudah sepatutnya SDA turun dari jabatannya.  “Kita menghormati perbedaan. Selama perbedaan itu dibangun dengan pondasi kejujuran dan argumentasi ilmiah dan diterima secara syariat. Tetapi apabila perbedaan dibangun dengan kebohongan dan menegasikan kejujuran tidak pantas SDA dan ulama yg menyampaikan kebohongan tadi malam disebut sebagai pimpinan umat,” ujar Dahnil Anzar, sang dosen, kepada Rakyat Merdeka Online, Selasa siang (30/8).
Begitu pula Detik.com yang terlihat begitu bersemangat hingga menanyakan pada pakar syariah di Belanda, menuliskan : “Sungguh sangat kuat alasan bagi polisi untuk memproses Menteri Agama secara hukum, karena ini bukan delik aduan, tapi murni pidana yang merugikan dan menyesatkan umat.

Hal itu disampaikan pakar syariah Prof. Dr. Sofjan Siregar, MA dari De Nederlandse Raad voor Ifta (Dewan Fatwa Negeri Belanda, red) kepada detikcom Den Haag, Jumat (2/9/2011), menanggapi pemberitaan Menteri Agama telah berbohong dalam penentuan Idul Fitri.

Menurut Sofjan, jika berita di media benar bahwa Menteri Agama RI Surya Darma Ali mengatakan Malaysia berhari raya pada Rabu, 31 Agustus 2011, padahal faktanya Malaysia berhari raya pada Selasa, 30 Agustus 2011, maka polisi yang profesional akan memprosesnya secara hukum. "Sebab ini bukan delik aduan, tapi murni pidana yang merugikan dan menyesatkan umat," ujar Sofjan.

Begitulah pemberitaan di media dan diskusi di banyak komunitas online mengarah pada tudingan keras bahwa kementrian agama melakukan kebohongan publik. Meski saat ini media sudah adem-adem saja tidak lagi mengangkat hal tersebut, namun benarkah apa yang dituduhkan tentang kebohongan publik tersebut ?

Saya akan mencoba menjawab dengan pengalaman saya pribadi saja, selama satu jaman kurang lebih menyaksikan seluruh rangkaian proses sidang itsbat, rasanya saya tidak menemukan yang disebut dengan kebohongan publik tersebut yang menyatakan bahwa Malaysia dan Saudi berlebaran 31 Agustus sementara kenyataannya adalah 30 Agustus.  Ada memang penjelasan yang ‘mengarah’ ke hal tersebut dan bisa disalah pahami bagi kalangan awam bahwa itu sebuah kebohongan publik, namun sejatinya sama sekali bukan.

Sepanjang yang saya tahu, yang terjadi adalah staf kemenag dalam sidang itsbat tersebut membacakan penghitungan hisab / almanak yang dilakukan berbagai instansi baik dalam negeri maupun luar negeri. Sekali lagi perlu digaris bawahi, membacakan penghitungan hisab ! bukan membacakan keputusan pemerintah negara-negara tersebut ! Maka kemudian dibacakan dari mulai Hisab Muhammadiyah, Almanak NU, Menara Kudus, Persis, bahkan hingga kriteria MABIMS ( Mentri-mentri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) dan Arab Saudi juga disebutkan.

Jadi yang dikatakan kebohongan tentang lebaran Malaysia, adalah saat staf kemenag tersebut membacakan berdasarkan kesepakatan MABIMS tahun 1994 yang menyebutkan imkanur rukyat dua derajat, maka sesuai kriteria tersebut maka keempat negara tersebut semestinya berlebaran 31 agustus karena hilal tidak mungkin untuk terlihat.

Nah adapun pada kenyataannya ternyata kerajaan malaysia mempunyai metode penghitungan hisab dengan kriteria berbeda dengan yang disepakati di MABIMS, ( Malaysia menggunakan usia bulan lebih dari 8 jam ijtimak sudah masuk bulan baru), maka hal tersebut adalah hal berbeda yang tidak menunjukkan kebohongan mentri agama. Karena sekali lagi staff Menag hanya membacakan analisa lebaran berdasarkan kriteria hisab MABIMS, bukan update keputusan kerajaan Malaysia. Bahkan dari metode yang digunakan Malaysia (hisab berdasarkan usia bulan) maka sesungguhnya pemerintah Indonesia jauh lebih konsisten dengan kesepakatan yang telah ditorehkan tahun 1994 tersebut.

Begitu pula saat menyebutkan saudi berlebaran tgl 31, bukan membacakan keputusan pemerintah Saudi (yang belum terjadi), namun juga analisa berdasarkan penghitungan hisab karena di wilayah saudi juga hilal kurang dari kriteria imkanur rukyah , alias tidak dapat dilihat. Namun jika kenyataan di Saudi, ternyata pengamat hilal bisa menyaksikan dan menemukan “hilal”, dan secara metode rukyat itu sudah sah, maka kemudian Saudi lebaran tanggal 30 agustus, maka disitu juga tidak ada relevansi dengan yang disebut tuduhan kebohongan.
Perlu diketahui pula –sebagaimana dalam tulisan saya terdahulu- bahwa ‘hilal’ yang dilihat di Saudi banyak disebut oleh kalangan astronomi bukan sebagai hilal falaky, tapi ‘yang diklaim sebagai hilal”. Sebagaimana hilal yang terlihat di Cakung, juga disebut sebagai ‘hilal imajiner’ oleh kalangan hisab imkanurrukyat Indonesia.

Artinya, yang terjadi dalam sidang istbat sebenarnya adalah murni objektif pembacaan kriteria, bukan menyatakan keputusan pemerintah kerajaan Malaysia dan Arab Saudi. Jadi tidak ada namanya pembohongan publik secara sistematis, yang ada adalah kekecewaan sebagian masyarakat –yang belum memahami detil sidang istbat- yang diolah dengan baik oleh media online dengan tagline” kebohongan publik “.  Kita harus kritis terhadap pemerintah adalah hal yang semua orang setuju, namun bukan berarti dengan membombardir dengan tuduhan yang tidak berdasar. Semoga kita terhindar dari tuduhan tanpa alasan tersebut. Wallahu a’lam bisshowab,

Tambahan Referensi

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=37956
http://www.detiknews.com/read/2011/09/02/161748/1714707/10/prof-sofjan-polisi-seharusnya-proses-menteri-agama
http://www.detiknews.com/read/2011/08/29/182749/1713334/10/mayoritas-sistem-hisab-tunjukkan-awal-syawal-jatuh-pada-31-agustus

Bersambung : Catatan Lebaran 1432 (5) : Bolehkah berlebaran saat ada yang telah berhari raya ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar