Setelah dalam postingan sebelumnya kita telah menerawang gambaran umum suasana Masjid Longgang Chung Li, maka mari kita lebih jauh melihat cara peribadatan yang dilakukan serta hal-hal unik di dalamnya.
Bangunan dua lantai yang terletak di tengah-tengah kawasan masjid adalah bangunan utama yang terdiri dari aula tempat pertemuan (lantai satu) serta masjid ruang peribadatan di lantai dua. Begitu memasuki masjid kita akan dihadapkan tiga pilihan, masuk terus memasuki ruang aula, atau menaiki tangga sebelah kiri atau kanan yang keduanya menuju masjid di lantai atas. Sebelumnya naik tangga kita harus melewati pintu geser kaca otomatis, yang nampaknya digunakan untuk ‘mengamankan’ sistem pendinginan udara di lantai atas. Masjid di lantai dua sebenarnya mempunyai pendingin khusus (AC), namun digunakan hanya saat sholat jumat saja. Pada hari-hari biasa, kipas angin yang berjajar tertempel di dindinglah yang menjadi panglima untuk mengalirkan hawa sejuknya.
Menapaki lantai dua kita akan disambut dengan sebuah lemari kayu setinggi bahu orang dewasa yang rapat bersandar di dinding belakang masjid. Lemari itu terdiri dari dua bagian, dimana setiap bagian terdiri dari empat laci bertingkat dari atas ke bawah. Di lemari kayu ini sekian keunikan terjadi yang barangkali tidak terjadi di negeri kita Indonesia. Laci-laci tersebut berisi peci-peci dengan berbagai macam ukuran dan warna.
Yang paling mendominasi adalah warna putih. Nah, lalu apa maksudnya ? Ternyata itu memang khusus disiapkan untuk para jamaah masjid yang tidak membawa peci dan berkenan memakai peci. Bahkan termasuk imam masjid sekalipun, terkadang dari luar tidak membawa peci lalu ambil di laci dan memulai sholat. Selesai sholat peci kembali diletakkan di laci. Demikian seterusnya dan berulang setiap hari. Artinya, para jamaah sangat tertib dalam hal ini. Tidak ada peci yang kemudian dibawa pulang atau berebutan sebagaimana yang saya bayangkan jika fasilitas ini dimunculkan di negara kita.
Keunikan lainnya masih ada pada lemari kayu itu. Sisi lemari paling atas ternyata saat waktu sholat berjamaah berubah menjadi semacam tempat penitipan barang, agar tidak mengganggu saat sholat. Bisa dibayangkan di tempat yang terbuka semacam itu, mereka hanya menaruh barang-barang seperti handphone, kunci motor, tas pinggang di atas lemari tersebut, untuk kemudian diambil kembali saat mau keluar dari masjid. Nah silahkan membayangkan jika ada hal semacam itu terjadi di Indonesia. Lemari bagian belakang dipenuhi jajaran hape dengan berbagai macam jenisnya. Siapa coba yang berani menjamin akan utuh begitu saja ?
Kita lanjutkan di ruangan utama masjid, lantai kayu yang dipoles plitur kinclong mendominasi bagian ini. Mengingatkan kita pada dojo-dojo untuk tempat latihan karate dan sebagainya. Namun bedanya ada shof-shof yang ditandai dengan karpet berukuran setengah meteran memanjang disela-selanya. Disitulah jamaah sholat berbaris rapi sesuai karpet yang ada. Jadi lantai kayu pada akhirnya menjadi tempat menaruh dahi saat kepala bersujud. Bahkan pada dua shof pertama dari depan, karpet itu diganti dengan semacam busa setinggi sekitar tiga sentimeter yang dibalut kain tebal mirip terpal yang halus. Jadi mereka yang berdiri di shof pertama kedua setidaknya akan menikmati keempukan busa tersebut, saat berdiri dan khususnya saat duduk dalam sholatnya. Pada diluar waktu sholat, untuk tidur pun insya Allah sudah cukup nyaman.
Keunikan lainnya ada pada adzan dan iqomah, yang tidak menggunakan speaker khususnya di waktu malam hari dan shubuh. Mungkin ditakutkan mengganggu kawasan sekitar yang tidak tahu apa itu adzan. Namun pada siang hari, adzan bisa gagah dikumandangkan karena hiruk pikuk kawasan luar sehingga tidak akan terlampau jauh terdengar. Begitu pula penggunaan speaker bagi imam masjid, pada waktu shubuh tidak digunakan cukup dengan suara manual saja. Tentu saja mengingat pada waktu itu orang-orang Taiwan di luar sana sedang sibuk terlelap. Pelafalan amin pun terkesan sangat rendah, nyaris tidak ada suara koor tinggi sebagaimana di Indonesia.
Hal menarik berlanjut saat sholat telah usai. Setelah salam, hampir sebagian besar makmum tak membutuhkan waktu lama untuk beranjak dari tempat sholatnya, lalu mencari posisi yang pas ditempat lain untuk melaksanakan sunnah bakdiyah (kecuali saat ashar dan shubuh tentunya). Begitu pula imam, dengan sedikit menggeser tempat sholat ia memulai kembali sholat sunnah dua rekaat. Tidak ada dzikir sebagaimana di masjid kita. Dzikir justru ada setelah sholat sunnah dua rekaat. Imam memimpin dzikir yang sederhana, dan menutupnya dengan berjamaah. Usai berdoa, jamaah serempak mengucapkan assalamu’alaikum kepada imam, lalu berbondong-bondong menyalami imam satu persatu.
Menarik juga untuk disebutkan, masjid disana efektif digunakan untuk sholat saja. Sedikit yang menggunakannya untuk tilawah, pengajian pun rasanya tak ada. Dan rasanya aneh bukan, setelah setiap usai sholat, kembali ruangan masjid di lantai dua menjadi ruangan mati. Jendela kembali ditutup, kipas angin dan lampu di matikan. Bahkan hal ini pun terjadi di waktu setelah sholat maghrib. Jangan dibayangkan ada aktifitas macam-macam. Ruangan masjid akan gelap gulita tanpa penghuni, dan baru akan dihidupkan lagi saat isya menjelang.
Inilah warna-warni bentuk peribadatan di masjid Chung Li. Rasanya untuk pelaksanaan ibadah sholat Jumat tak banyak perbedaan, khususnya bagi saya sendiri. Tidak di Indonesia tidak di Taiwan, sama-sama terantuk kantuk saat khotib berkhutbah, apalagi kali ini memakai bahasa Jet Li ! Wallahu a’lam
Bangunan dua lantai yang terletak di tengah-tengah kawasan masjid adalah bangunan utama yang terdiri dari aula tempat pertemuan (lantai satu) serta masjid ruang peribadatan di lantai dua. Begitu memasuki masjid kita akan dihadapkan tiga pilihan, masuk terus memasuki ruang aula, atau menaiki tangga sebelah kiri atau kanan yang keduanya menuju masjid di lantai atas. Sebelumnya naik tangga kita harus melewati pintu geser kaca otomatis, yang nampaknya digunakan untuk ‘mengamankan’ sistem pendinginan udara di lantai atas. Masjid di lantai dua sebenarnya mempunyai pendingin khusus (AC), namun digunakan hanya saat sholat jumat saja. Pada hari-hari biasa, kipas angin yang berjajar tertempel di dindinglah yang menjadi panglima untuk mengalirkan hawa sejuknya.
Menapaki lantai dua kita akan disambut dengan sebuah lemari kayu setinggi bahu orang dewasa yang rapat bersandar di dinding belakang masjid. Lemari itu terdiri dari dua bagian, dimana setiap bagian terdiri dari empat laci bertingkat dari atas ke bawah. Di lemari kayu ini sekian keunikan terjadi yang barangkali tidak terjadi di negeri kita Indonesia. Laci-laci tersebut berisi peci-peci dengan berbagai macam ukuran dan warna.
Yang paling mendominasi adalah warna putih. Nah, lalu apa maksudnya ? Ternyata itu memang khusus disiapkan untuk para jamaah masjid yang tidak membawa peci dan berkenan memakai peci. Bahkan termasuk imam masjid sekalipun, terkadang dari luar tidak membawa peci lalu ambil di laci dan memulai sholat. Selesai sholat peci kembali diletakkan di laci. Demikian seterusnya dan berulang setiap hari. Artinya, para jamaah sangat tertib dalam hal ini. Tidak ada peci yang kemudian dibawa pulang atau berebutan sebagaimana yang saya bayangkan jika fasilitas ini dimunculkan di negara kita.
Keunikan lainnya masih ada pada lemari kayu itu. Sisi lemari paling atas ternyata saat waktu sholat berjamaah berubah menjadi semacam tempat penitipan barang, agar tidak mengganggu saat sholat. Bisa dibayangkan di tempat yang terbuka semacam itu, mereka hanya menaruh barang-barang seperti handphone, kunci motor, tas pinggang di atas lemari tersebut, untuk kemudian diambil kembali saat mau keluar dari masjid. Nah silahkan membayangkan jika ada hal semacam itu terjadi di Indonesia. Lemari bagian belakang dipenuhi jajaran hape dengan berbagai macam jenisnya. Siapa coba yang berani menjamin akan utuh begitu saja ?
Kita lanjutkan di ruangan utama masjid, lantai kayu yang dipoles plitur kinclong mendominasi bagian ini. Mengingatkan kita pada dojo-dojo untuk tempat latihan karate dan sebagainya. Namun bedanya ada shof-shof yang ditandai dengan karpet berukuran setengah meteran memanjang disela-selanya. Disitulah jamaah sholat berbaris rapi sesuai karpet yang ada. Jadi lantai kayu pada akhirnya menjadi tempat menaruh dahi saat kepala bersujud. Bahkan pada dua shof pertama dari depan, karpet itu diganti dengan semacam busa setinggi sekitar tiga sentimeter yang dibalut kain tebal mirip terpal yang halus. Jadi mereka yang berdiri di shof pertama kedua setidaknya akan menikmati keempukan busa tersebut, saat berdiri dan khususnya saat duduk dalam sholatnya. Pada diluar waktu sholat, untuk tidur pun insya Allah sudah cukup nyaman.
Keunikan lainnya ada pada adzan dan iqomah, yang tidak menggunakan speaker khususnya di waktu malam hari dan shubuh. Mungkin ditakutkan mengganggu kawasan sekitar yang tidak tahu apa itu adzan. Namun pada siang hari, adzan bisa gagah dikumandangkan karena hiruk pikuk kawasan luar sehingga tidak akan terlampau jauh terdengar. Begitu pula penggunaan speaker bagi imam masjid, pada waktu shubuh tidak digunakan cukup dengan suara manual saja. Tentu saja mengingat pada waktu itu orang-orang Taiwan di luar sana sedang sibuk terlelap. Pelafalan amin pun terkesan sangat rendah, nyaris tidak ada suara koor tinggi sebagaimana di Indonesia.
Hal menarik berlanjut saat sholat telah usai. Setelah salam, hampir sebagian besar makmum tak membutuhkan waktu lama untuk beranjak dari tempat sholatnya, lalu mencari posisi yang pas ditempat lain untuk melaksanakan sunnah bakdiyah (kecuali saat ashar dan shubuh tentunya). Begitu pula imam, dengan sedikit menggeser tempat sholat ia memulai kembali sholat sunnah dua rekaat. Tidak ada dzikir sebagaimana di masjid kita. Dzikir justru ada setelah sholat sunnah dua rekaat. Imam memimpin dzikir yang sederhana, dan menutupnya dengan berjamaah. Usai berdoa, jamaah serempak mengucapkan assalamu’alaikum kepada imam, lalu berbondong-bondong menyalami imam satu persatu.
Menarik juga untuk disebutkan, masjid disana efektif digunakan untuk sholat saja. Sedikit yang menggunakannya untuk tilawah, pengajian pun rasanya tak ada. Dan rasanya aneh bukan, setelah setiap usai sholat, kembali ruangan masjid di lantai dua menjadi ruangan mati. Jendela kembali ditutup, kipas angin dan lampu di matikan. Bahkan hal ini pun terjadi di waktu setelah sholat maghrib. Jangan dibayangkan ada aktifitas macam-macam. Ruangan masjid akan gelap gulita tanpa penghuni, dan baru akan dihidupkan lagi saat isya menjelang.
Inilah warna-warni bentuk peribadatan di masjid Chung Li. Rasanya untuk pelaksanaan ibadah sholat Jumat tak banyak perbedaan, khususnya bagi saya sendiri. Tidak di Indonesia tidak di Taiwan, sama-sama terantuk kantuk saat khotib berkhutbah, apalagi kali ini memakai bahasa Jet Li ! Wallahu a’lam
Ehmmm.......Seandainya saya tidak berada disini, mungkin saya ingin ke Taiwan hanya untuk merasakan pengalaman unik seperti yang digambarkan Ustadz diatas. Alhamdulillah Allah telah memberi kesempatan itu ketika pertama merasakan sujud diatas lantai kayu "kinclong" itu saat Hari Raya Haji 1430H yang lalu.
BalasHapus