22 Jul 2011

Konsultasi Syariah di Taiwan (2) : Bekerja di Luar Negeri Namun Tidak Bisa Sholat dengan Sempurna

PERTANYAAN : 
Ustadz, Ada beberapa keluhan para BMI (Buruh Migran Indonesia) di Taiwan yang tidak bisa menjalankan kewajiban sholat dengan ideal dan sempurna. Ada yang harus menjamak, ada yang tidak khusyuk dan cepat-cepat, ada yang tidak ideal. Bahkan ada yang menjamak seluruh sholat dalam satu waktu karena dilarang majikannya. Nah dengan kenyataan seperti ini, padahal kepergian mereka ke Taiwan ini kan dalam rangka mencari dunia, kok justru malah mengganggu kepentingan akhiratnya. Jadi bagaimana sebenarnya status dan hukum mereka yang berniat bekerja di luar negeri dengan kondisi semacam itu ? . Dan bagaimana juga dengan hukum menjamak seluruh sholat tadi karena dilarang majikannya untuk sholat ?
( Mas Naryo dkk)
 

JAWABAN :
Terima kasih atas pertanyaan mas Naryo, semoga senantiasa sukses istiqomah di Taiwan. Benar yang Saudara sampaikan bahwa jangan sampai kepentingan dunia ini mengganggu akhirat kita. Karena akhirat jelas jauh berbeda dengan dunia, lebih kekal dan abadi, sementara dunia hanya bersifat sementara. Dalam beraktifitas memang kita harus tetap berorientasi untuk kepentingan kita di akhirat, bahkan menjadikan seluruh aktifitas kita (bukan hanya ibadah sholat) juga dalam rangka mencari tabungan akhirat. Untuk dunia, cukup kita ikuti al-Quran dengan ungkapan “ jangan lupa”. Allah SWT berfirman :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”  (QS Al Qoshos 77)

Maka kalau ada orangtua-orangtua yang melepas anaknya pergi bekerja ke luar negri dengan berpesan “ bekerjalah cari uang yang sungguh-sungguh nak .. ojo lali ngibadah, sholat karo poso” ternyata malah kurang pas dengan anjuran al-Quran yang disebutkan ayat di atas. Semestinya anjuran para orangtua adalah “ ngibadah sing istiqomah nang ... ojo lalo golek duwit yo “. 

Nah ketika seorang berniat bekerja keluar negeri untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka ini adalah niatan umum yang baik, dan keberangkatannya keluar negeri tentu saja adalah boleh dan sah-sah saja. Dia tidak tahu akan bertemu jenis pekerjaan seperti apa dan dengan model majikan seperti apa juga. Maka hukumnya tetap pada kebolehan dalam hal ini. Bahkan bisa jadi mendapat pahala tambahan jika ia juga meniatkan untuk berdakwah menyebarkan syiar di daerah luar negeri seperti Taiwan yang muslimnya minoritas misalnya.

Namun jika dia berniat keluar negeri sementara tahu persis dan yakin bahwa model pekerjaannya termasuk kategori yang tidak syar’i , ataupun tahu bahwa model majikannya tidak akan membolehkannya sholat, maka dalam hal ini tentu komitmen keimanan dan ibadahnya perlu dipertanyakan. Seorang muslim mestinya berusaha mencegah hal-hal yang akan merugikan aqidah dan keislamannya. Ini sebagaimana larangan dalam hadits Riwayat Bukhori dan Muslim tentang bepergian membawa mushaf ke negeri kafir, karena ditakutkan akan dirusak dan dilecehkan. Namun jika hal itu tidak diyakini maka larangan itu bun tercabut dengan sendirinya.

Nah, jika ada kondisi seorang pekerja yang mendapati majikannya ternyata melarangnya untuk sholat atau membatasi waktunya untuk beribadah, sementara ia terikat kontrak yang sangat mengikat, maka yang terpenting disini adalah menguatkan tekatnya untuk tetap sholat entah dalam keadaan bagaimanapun. Yang paling mungkin dilakukannya adalah melakukan jamak antara ashar dan dhuhur, maghrib dan isya. Tentu saja dengan mencuri-curi waktu disela lengahnya majikannya. Syariat sholat jamak karena sebab kesibukan dan ketakutan, bahkan dalam kondisi tertentu secara umum dibolehkan, sesuai hadist : Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallohu ‘anhuma, beliau menceritakan: Bahwa dahulu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak antara sholat Zhuhur dengan ‘Ashar dan antara sholat Maghrib dengan ‘Isyak di kota Madinah dalam keadaan bukan karena situasi takut dan bukan karena hujan. Maka Ibnu ‘Abbas pun ditanya ‘Untuk apa beliau (Nabi) melakukan hal itu ?’ maka Ibnu ‘Abbas menjawab: ‘Beliau bermaksud agar tidak memberatkan ummatnya.’ (HR. Muslim dan lain-lain)

Namun jangan lupa untuk tetap berusaha mengkomunikasikan hal ini kepada pihak-pihak yang terkait, agar ada langkah yang tegas dan kuat untuk melindungi hak-hak pekerja khususnya dalam masalah ibadah. Dan yang bersangkutan harus terus mencari langkah terbaik agar bisa lepas dari belenggu ‘penjajahan’ semacam itu. Adapun tentang sholat jamak seluruh waktu, maka yang dimaksud tentu saja adalah mengqodho bukan menjamak. Karena jamak hanya berlaku untuk sholat ashar dan dhuhur, serta maghrib dan isya. Namun penting untuk disadari bahwa syarat qodho sholat tentu cukup berat. Apakah benar-benar tidak bisa melakukan dan mencuri-curi waktu, atau ternyata kita yang bermalas-malasan memperjuangkannya ? Kalau yang ini maka yang harus menjawab adalah keimanan diri kita masing-masing. Wallahu a’lam bisshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar