17 Jan 2011

Memahami Syariah dengan Lebih Luas dan Luwes

Ada sebuah kisah menarik tentang sosok Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafi yang dikenal dengan analisanya yang tajam dan mengasah fikir kita. Saya temukan cuplikan kisah ini di sebuah kalender berbahasa Arab di kantor, jadi untuk meneliti ulang rujukan utamanya belum sepenuhnya saya lakukan.
Dikisahkan bahwa ada seorang bertanya kepada Abu Hanifah : wahai abu hanifah, seandainya saya mandi di sungai dan melepaskan pakaian saya, ke arah manakah saya harus menghadap ? apakah boleh atau tidak saya menghadap atau membelakangi arah kiblat ?

Maka Abu Hanifah pun menjawab dengan ringan : yang paling afdhol adalah engkau menghadap ke arah tempat pakaianmu berada, agar tidak dicuri oleh orang lain.
Kisah diatas sebenarnya begitu ringan dan mampu membuat kita menyunggingkan senyuman di wajah kita. Namun sebuah makna besar saya meyakini terkandung di dalamnya, setidaknya sebuah pelajaran tentang cara kita memandang dan melihat syariah selama ini. Bisa jadi sebagian kita mirip dengan kondisi laki-laki yang bertanya kepada Abu Hanifah, yaitu bersemangat dalam masalah menjalankan syariah dari sisi yang selama ini diyakini. Maka masalah mandi di sungai menjadi bagian yang harus diperjelas secara syariah, apakah boleh menghadap kiblat atau tidak ?

Yang terjadi kemudian adalah, jawaban abu hurairah yang unik dan menggelitik, tetapi sebuah jawaban syar’I yang mendalam, yaitu : menghadap ke arah pakaian mu agar tidak tercuri orang.  Mengapa syar’I ? karena jika pakaian orang tersebut dicuri, maka apa yang terjadi seterusnya adalah hal-hal yang memalukan dan tidak diinginkan semua orang untuk mengalaminya.

Inilah cara pandang yang benar tentang syariah kita, yaitu tidak terpaku dan terbatas pada simbol semata, namun juga melihat realita dan kondisi setiap orang yang bisa saja berbeda-beda. Tidak hanya terpaku pada hal-hal yang dhohir saja, namun ternyata secara konten tidak banyak membawa manfaat. Jika cara pandang kita masih seperti ini, maka wajar saja banyak yang dibuai dengan cerita-cerita sinetron islami, yang mengedepankan simbol seperti judul dan busana, sementara kontennya tidak jauh berbeda dengan sinetron lainnya. Begitu pula mungkin yang terjadi di lembaga keuangan syariah, yang senantiasa menghidupkan simbol-simbol syariah, itu semua tidaklah tepat jika kemudian produk-produk yang dihasilkan ternyata sama saja dengan rentenir di pasar-pasar.

Mari berusaha menunjukkan Islam sebagai ajaran yang solutif dan bermanfaat, bukan sekedar simbol dan tradisi tanpa makna. Inilah syariah yang kita, yang digambarkan dalam sebuah kaidah : mata wajadal maslahah faqod tammat syariah … dimana ditemukan maslahat, maka disitulah nilai syariah. Saya sering mengulang-ulang sebuah kalimat yang unik : syariah kita adalah syariah yang luas dan luwes, bukan sempit dan senantiasa membuat kita bergidik. Wallahu a'lam.

2 komentar:

  1. Yassiru Wala tu'assiru

    Permudahlah jangan dipersulit :)

    BalasHapus
  2. kemarin dapat suntikan seperti kisah diatas, eh ternyata mbacanya dari sini...syukran ustadz...salam optimis

    BalasHapus