5 Des 2016

Indahnya Persatuan dan Perdamaian

Membangun sebuah masyarakat dengan karakter majemuk di dalamnya tentu tidak mudah. Hal ini juga diketahui persis oleh Rasulullah SAW ketika berhijrah ke Yatsrib untuk membangun negeri indah bernama Madinah. Di Yatsrib saat itu setidaknya ada tiga golongan besar, masing-masing golongan Auz dan Khajraj, serta golongan Yahudi dengan perkampungan-perkampungan besarnya, dan ditambah dengan kedatangan kaum Muhajirin yang mayoritas dari suku Qurays Mekkah. Masing-masing golongan mempunyai karakter yang beragam.

Menarik sekali jika kita mengkaji pidato pertama Rasulullah SAW saat menginjakkan kaki di Madinah, beliau menekankan pada perdamaian dan kepedulian. Beliau bersabda saat orang-orang berkerumun menyambutnya : " Wahai sekalian manusia,  sebarkanlah salam , berikan makanan, pelihara silaturrahim dan lakukan shalat (malam) pada saat manusia sedang tidur. Niscaya kalian sekalian masuk surga dengan selamat” (HR. Ibnu Majah).  Kemudian setelah itu beliau pun melakukan langkah-langkah mempersatukan negeri dengan : membangun masjid sebagai pusat ruhiyah dan kemasyarakatan, serta  mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan Anshor.

Bukan hanya itu saja, Rasulullah SAW juga menetapkan Piagam Madinah, sebagai sebuah aturan yang mengikat seluruh warga Madinah, dan golongan Yahudi tak terkecuali pun memiliki kewajiban dan hak di dalamnya. Pada awalnya masyarakat Yahudi menjalani kehidupan bertetangga dan bermasyarakat dengan kaum muslimin di Madinah, kemudian mereka melanggar perjanjian dan memusuhi kaum muslimin, menjadikan sebagian besar dari mereka harus angkat kaki dari Madinah.

Namun demikian masih banyak diantara golongan Yahudi yang tidak berkhianat tetap tinggal di Madinah dan hidup bermasyarakat dengan baik. Rasulullah SAW saja pernah memiliki seorang pembantu anak muda dari golongan Yahudi, bahkan saat beliau meninggal, tercatat beliau masih memiliki tanggungan hutang bahan makanan kepada seorang Yahudi, dengan jaminan baju besi yang beliau miliki. Inilah salah satu gambaran perdamaian yang tumbuh dalam masyarakat Madinah yang majemuk.

Di tengah upaya membangun Madinah, ujian perdamaian juga menjumpai kaum muslimin dari kalangan Anshor. Adalah kaum Auz dan Khazraj, dua suku yang bertetangga di Madinah namun pada masa jahiliyah  adalah musuh bebuyutan, mereka terlibat perang berkepanjangan selama 120 tahun yang disebut dengan perang Buats. Ketika Islam datang mereka pun bersatu padu di Madinah dibawah bimbingan Rasulullah SAW. Namun ada musuh-musuh Islam yang tidak menginginkan persatuan dua suku besar Anshor ini. Dia menyuruh seorang penyair untuk membangkitkan kenangan perang Buats, sekaligus menggelorakan kembali permusuhan di antara Auz dan Khazraj. Upaya ini hampir berhasil, bahkan masing-masing pihak sudah bersiap untuk kembali mengangkat senjata bertempur satu sama lain.

Beruntunglah dalam situasi krisis tersebut, Rasulullah SAW tampil mendamaikan sekaligus mengingatkan mereka. Ayat Alqurán pun turun mengabadikan, dimana Allah SWT berfirman :  “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai …” [Ali ‘Imran:103]. Maka kegentingan itu pun berakhir dengan perdamaian yang indah,  bahkan satu sama lain saling berpelukan memohon maaf dengan sepenuh penyesalan.

Rasulullah SAW sangat bersemangat dalam mengupayakan perdamaian. Peristiwa perjanjian Hudaibiyah menjadi salah satu gambaran nyatanya, dimana dengan golongan musuh pun beliau membuka peluang perdamaian. Namun di luar itu semua, beliau tidak pernah mau “berdamai” dalam masalah penegakan hukum dalam arti pembiaran atas pelanggaran. Pernah dalam suatu masa di Madinah muncul keresahan di kalangan orang-orang Qurays, karena salah satu dari wanita terhormat mereka ketahuan mencuri. Mereka pun berusaha melobby Rasulullah SAW untuk “berdamai” dalam arti memaafkan sang wanita itu dari ancaman hukuman potong tangan. Tidak tanggung-tanggung, mereka pun meminta Usamah bin Zaid -kesayangan Rasulullah SAW- untuk memintakan maaf kepada Rasulullah SAW.

Namun jawaban tegas Rasulullah SAW membungkam semua kebingungan dan meredam keresahan tersebut, beliau menyatakan secara jelas  : “Sesungguhnya telah binasalah orang-orang sebelum kalian,karena jika orang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya, dan sekiranya yang mencuri itu orang lemah di antara mereka, maka mereka menegakkan hukuman atas dirinya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya kupotong tangannya.”(HR Bukhari). Pelajaran bagi kita semua, bahwa indahnya sebuah perdamaian dalam masyarakat, tentu harus diawali dan diimbangi dengan penegakan hukum yang setara bagi semua. Wallahu a’lam bisshowab

*Artikel dimuat pada Rubrik Tausiyah Suara Merdeka Suara Solo, terbit pada Jumat, 2 Desember 2016 bertepatan dengan Aksi Bela Islam III di Monas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar