6 Sep 2011

Catatan Lebaran 1432 (1) : Sebuah Pengantar Kegelisahan

Selalu ada hikmah dari setiap peristiwa, termasuk perbedaan lebaran satu empat tiga dua. Salah satu yang mencolok adalah bersemangatnya banyak sahabat untuk mengkaji, membahas dan bertanya seputar permasalahan hisab rukyat. Apalagi tepat setelah berlangsungnya sidang itsbat, puluhan SMS meluncur bebas ke nomor saya, menanyakan secara bersemangat tentang kapan hari raya ? . Sebagian dengan lugu menanyakan kapan saya sholat ied, sebagian lain menunjukkan hujjah-hujjah dan alasan untuk berbeda dengan keputusan sidang itsbat tersebut.  Ada juga yang memprotes hal-hal lain terkait keputusan tersebut. Jujur saja, karena persoalan teknis dan waktu yang belum memungkinkan, saya hanya menjawab singkat : saya orang awam, saya ikut pemerintah.

Jawaban saya  di atas tidak mengada-ada, karena sebelumnya pun saya telah berbagi postingan tentang Alasan saya berlebaran mengikuti pemerintah, dan mendapat banyak tanggapan juga. Nah dalam tulisan kali ini, saya mencoba menjawab dengan singkat dan sederhana saja, beberapa pertanyaan bernada protes yang kerap berulang baik masuk via SMS, FB, maupun yang saya temukan berlalu lalang di komentar-komentar FB di berbagai notes yang ada.


Sekali lagi saya sampaikan –sebagaimana dalam artikel terdahulu - , saya tidak hendak membahas perdebatan metode penetapan lebaran dari mulai hisab wujudul hilalnya Muhammadiyah, atau hisab imkanur rukyahnya Persis, atau rukyah lokalnya, atau rukyah globalnya HTI, karena sudah banyak catatan dan artikel yang membahas perdebatan tersebut. Bahkan kitab-kitab ulama terdahulu pun telah menunjukkan hal yang sama. Saya sekedar berbagi beberapa catatan sekaligus jawaban atas beberapa pertanyaan yang bernada protes seputar lebaran dan khususnya keputusan pemerintah.

Mengapa jawaban semacam ini perlu, karena saya melihat banyak komentar pedas dan pernyataan yang diajukan lebih mewakili pada semangat subjektifitas pribadi, bukan karena pemahaman ilmu yang memadai, namun lebih ke legalisasi pilihan diri untuk berlebaran sesuai keinginan. Semua memang berhak memiliki pendapat dan keyakinan, namun tidak harus dengan menyalahkan pendapat yang berbeda. Semoga kita semua dijauhi dari sikap yang demikian.


bersambung ke Catatan Lebaran 1432 (2) : Mengapa Lebaran di Indonesia Berbeda dengan Banyak Negara Lainnya ?

1 komentar:

  1. AssWrWb
    Yasudah kalo gt kt buat kesepakatan berkiblat ke Ka'bah , karena kita Shollat mengarah Kiblat, yg lain tinggal menyesuaikan dan Kita pun belajar banyak dari yg dicontohkan Rosululloh puasa Ramadhan lbh banyak 29 hari. mengapa dibuat repot sampai-sampai banyak buang tenaga, waktu dan biaya, ketupat basi, sambal goreng basi dan jadwal jadi takpasti padahal Doa Rosululloh pasti terkabul Siapa yg mempersulit umatku , persulitlah ....yg penting kan ibadah itu niat ikhlas dan mengikuti cara Rosululloh.....Rosul pun lbh banyak puasa 29 hari (9 kali puasa hanya 1 kali puasa 30 hari) kok kita yg manusia biasa selama 5 tahun terakhir sdh ijtihat puasa 30 hari tiga kali.gara2 jumlah derajat kurang, mengapa Jaman Rosululloh bisa merukyah kok kita yg ada teropong bintang dan IPTEK canggih hingga satelit kok gabisa lihat hilal. dikasih kemudahan malah cari kesulitan...nah akibatnya kumpulkan sendiri berapa kerugian baik moril, materiil -ketupat pada basi, meninggalkan Shpllat Tarawih berjamaah di masjid hingga sidang/votting isbath yg disaksikan jutaan mata lewat layar kaca kurang memberi pencerahan umat pada bulan yag seharusnya semua kita memulyakannya. Sopan santunm ramah-tamah dan murah senyum serta menyejukkan umat itu yg seharusnya dikedepankan....Smg Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita ...Amin...Hamba Allah

    BalasHapus