11 Feb 2010

Tragedi sang Demonstran

 

Sebuah melodi indah terdengar menyibak keheningan ruang perpustakaan kampus. Para pecinta buku serempak menoleh ke arah Wisnu, sang pemilik HP. Agaknya mereka merasa terganggu. Dengan sigap Wisnu mengambil HP Nokia 3310 dari saku celananya, dan berjalan ke luar menuju lobby perpustakaan.

“ Assalamu’alaikum .. ya, ini Wisnu. Sama siapa nih ? “
Dari seberang ada sahutan berlatar belakang suara yang cukup berisik, “ Wa’alaikum salam, ini Danu. Kita cuma melaporkan perkembangan, persiapan demo sudah rapi. Perijinan, pamflet, tim acara, tim negosiasi dan keamanan sudah standby di markas. Kita tinggal tunggu perintah selanjutnya”

“ Teman-teman semua sudah tahu tempat dan waktunya kan ? “
“ Everything in the control Capt, kita akan bergerak setelah sholat Jumat “
“Oke, I’ll be there on time, keep the spirit of reformasi. Assalamu’laikum “

Dengan bergegas Wisnu mengemasi seluruh peralatan perkuliahannya, ia melangkah menuju gerbang kampus. Wisnu setahun lalu adalah ketua BEM di kampusnya yang asri di belahan selatan Jakarta. Kini ia memegang kendali di sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus di Jakarta. Organisasi tersebut intens menyuarakan seruan-seruan, dan kritikan terhadap pemerintah tentang jalannya reformasi. Di perkuliahan, Wisnu cukup mampu bersaing dengan teman-temannya satu jurusan. Ia mahasiswa tingkat akhir di jurusan Hubungan Internasional (HI).
Bus yang ditunggu Wisnu berhenti tepat di gerbang kampus. Meskipun penumpang di dalamnya sudah mencapai batas maksimal, sang kondektur masih semangat berteriak-teriak menawarkan jasanya. Dengan sigap, Wisnu melompat kecil, tangannya akhirnya sukses meraih besi pintu bus yang kuat terpasang. Bus berjalan sebagaimana biasa, Wisnu sang aktifis masih sibuk bergelanyutan di pintu belakang bus. Sesekali ia masih menerima beberapa panggilan dari Hpnya. Ia kini menuju masjid Istiqlal, untuk kemudian memimpin demo di depan rumah seorang pejabat tinggi negara.

**************************

“ Capt , siaga satu ! Beberapa provokator lolos masuk barisan “, suara Danu sang korlap demo terengah-engah menuju Wisnu yang masih asyik membaca koran di dalam sebuah bajaj. Beberapa meter di depan mereka adalah kerumunan besar para mahasiswa demonstran yang membawa bendera dan spanduk. Jumlah mereka diperkirakan 3000 orang. Mereka sedang berdemo di depan rumah seorang pejabat tinggi negara, yang kebijakannya jauh dari aspirasi rakyat. 

“ Berapa orang pastinya ? “
“sekitar tiga orang, dua diantaranya intel polisi “
“ amankan, jangan sampai ketahuan mahasiswa. Kalo digebukin, demo kita tercemar, perjuangan kita ternodai “

“ siap Capt ! Satu lagi, satu kompi brimob datang dengan peralatan lengkap. Mereka bikin border ketat. Tim negosiasi masih tertahan di luar “
Wisnu sang Jendral lapangan berpikir sebentar. Dahinya terlihat berkerut tajam, seperti biasa ia harus ambil keputusan yang cepat dan tepat.

“ Kita bikin border juga !Terus pressure .. maju perlahan-lahan. Kalau sampai terjadi dorong mendorong, adu otot, usahakan Cuma lima menit. Setelah itu mundur sebentar. Setelah mundur sebentar, pressure lagi. Teman-teman kalau lagi adu otot jangan banyak teriak. Jaga konsentrasi ! Biar orator saja yang mengacaukan konsentrasi petugas.”
Danu segera tanggap dengan arahan Wisnu. Dengan cepat ia berlari ke kerumunan mahasiswa. Mereka masih semangat meneriakkan yel-yel dan nasyid-nasyid perjuangan. Situasi makin memanas, datang dua truk personel tambahan dari Polisi. Mereka segera menyusun border di depan. Adu ketegangan tak terelakkan. Terjadi dorong mendorong selama beberapa waktu.

“ Yaa… buat mahasiswa yang cinta negeri ini .. mundur satu langkah !!!”, teriak Danu dari atas mobil pick up pengangkut sound system. Teriakan disambut para mahasiswa dengan gerakan mundur teratur.

“ Juga bapak polisi, yang cinta negeri ini … mundur satu langkah graak !!”, teriak Danu kembali. Sebagian polisi ikut patuh mundur ke belakang. Sebagian yang lain masih ngotot dengan posisi di depan. Terjadi kesalahpahaman di antara para polisi, mereka terlihat kurang kompak.

“ Huuuu, yang gak mundur gak cinta Indonesia “, para mahasiswa menertawakan para aparat yang masih berselisih. Ketegangan agak mencair. Tapi kejadian tersebut tak berlangsung lama. Sejurus kemudian, terjadi lagi ketegangan. Kembali para mahasiswa dan polisi sibuk mengadu otot. Dorong depan, kanan, kiri, mundur sedikit, maju lagi, dorong dan begitu seterusnya. Peluh mulai bercucuran dari kedua belah pihak. Kadang-kadang teriakan Danu membuat suasan mencair. Tapi terkadang teriakannya juga membuat suasana memanas.

Wisnu berjalan tenang ke arah para demonstran. Ia memakai jaket berwana hitam gelap. Sejurus kemudian ia bergabung dalam barisan border, ikut berdesakan bersama yang lain. Tak berapa lama dering telpon genggam dari sakunya mengganggu konsentrasi Wisnu. Ia segera melesat keluar dari barisa menuju beberapa penjual the di seberang jalan.

“ Wisnu, ini Rudi. Emergency ! ada info tingkat satu , demonstrasi kita kemasukan beberapa mahasiswa preman anti reformasi. Sebentar lagi jumlah mereka akan bertambah. Mereka kini diam-diam bergerak dari bundaran HI. Mereka menyaru dengan simbol dan yel-yel yang sama dengan kita. Bahaya, sebagian mereka membawa batu-batu dan bom molotov “

Wisnu terlihat serius menerima informasi penting dari rekannya, Rudi. Ia adalah bagian intel di satuan KRC ( Kampus Reaksi Cepat). Wisnu mengandalkan informasi dari Rudi setiap kali ada perkembangan terbaru. Baik tentang perpolitikan ataupun gerakan mahasiswa. 

Dengan cepat sang jendral lapangan itu menyeberang jalan. Bergabung kembali bersama para demonstran. Ia segera menarik Danu dari posisi border depan.
“ Ada apa capt ! “, tanya Danu siap menerima perintah terbaru.
“ mundur total tapi teratur segera ! , kita kemasukan barisan preman anti reformasi. Mereka berniat mengacaukan dan menodai gerakan kita ! Hubungi semua koordinator kampus “
“ Siap Capt ! Kita akan bersihkan tempat ini dalam sepuluh menit ! “

Kerumunan demonstrasi itu mulai bergerak mundur secara teratur. Sebagian besar demonstran berjalan kembali ke arah masjid Istiqlal. Namun masih terlihat sekitar seratusan mahasiswa masih berjaga di depan rumah pejabat tersebut. Nampaknya informasi dari Rudi. Mereka adalah barisan mahasiswa preman anti reformasi. Tiba-tiba …….
“ Praaang !!! “

Beberapa kaca depan mobil polisi pecah berantakan. Sejurus kemudian, salah satu mahasiswa tersebut melempar bom molotov ke arah truk polisi. Ledakan sedangpun terdengar. Api segera membakar habis truk tersebut. Barisan mahasiswa anti reformasi itu bubar total tak terkendali lagi. Wisnu dan teman-temannya melihat ledakan tersebut dari atas bus yang mereka tumpangi. Wajahnya terlihat geram, tangannya terkepal keras.

“ Danu, anak-anak kiri itu bikin gara-gara lagi. Lain kali kita harus bersihkan mereka terlebih dahulu ! “

“ Benar Capt, kita sudah terlalu sering bersabar. Mereka selalu bikin ulah dan kekacauan. Kita akan beri mereka pelajaran ! “

Dering HP Wisnu kembali berdering, kali ini dari Andre, rival politiknya di kampus. Selain itu, Andre juga komandan anak-anak kiri di kawasan Jakarta.

“ Selamat Bung ! Demo lu sukses bakar-bakar mobil cops, ini bakal jadi berita besar  ! “, terdengar tawa mengejek dari seberang pembicaraan. Wisnu menarik nafas panjang, dadanya bergemuruh hebat. Dengan tegas ia menjawab, “ Ini fitnah Bung, kalau gue mau .. sekarang juga markas temen-temen lu sudah gua ratakan dengan tanah ! “

“ Haa… haa.. cepat sebelum ente ketangkap polisi ! “. Pembicaraan tertutup sejenak terdiam. Ia merasa hari-hari ke depan akan lebih banyak tantangan. Teman-temannya yang lain masih asyik meneriakkan yel-yel dan lagu perjuangan. Bus yang mereka tumpangi terus menuju kawasan selatan Jakarta.
ooooo00000ooooo

“ Hati-hati Wis ! kemungkinan sebentar lagi you ditangkap. Kalau yang nangkap cops mungkin you Cuma akan diadili. Ana takut yang nangkap nanti intelijen gelap yang berjalan sendiri tanpa komando. Mereka punya daftar para aktifis yang most wanted. You termasuk urutan prioritas bagi mereka.. “

    Wisnu ingat pesan Rudi tengah malam tadi. Ia kini memang harus ekstra hati-hati. Penangkapan aktifis mulai merebak dimana-mana. Seminggu lalu dua temannya dijerat polisi dengan pasal karet tentang penghinaan presiden. Apalagi dengan kejadian pembakaran truk polisi kemarin, dalam pandangan polisi, Wisnu adalah penanggung jawab kejadian tersebut.

    Telepon genggam Wisnu kembali berdering keras. Terdengar suara Danu dari arah seberang.

“ Wisnu, rumah kost you sudah disatroni sama polisi berpakaian preman. Mereka cari-cari you atau entah Cuma gertak sambal saja. Beberapa teman sempat kena pukul. Sekarang yang penting you sembunyi dulu. You tahu rumah paman ane yang pensiunan jendral kan ? Saya tunggu disana secepatnya !! “

    “ Thanks, just wait for minutes …. “

Dengan sigap Wisnu kembali masuk ke kamar kost temannya yang ditumpanginya malam tadi. Ia membereskan beberapa buku catatan dan pakaiannya ke dalam tas punggung lusuhnya. Tak lama berselang ia sudah berada sebuah bus menuju kampungnya. Wisnu bersikeras untuk mampir di kampus terlebih dahulu. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu, sebelum ia mengasingkan diri.

    Bus berhenti di gerbang kampus. Serombongan mahasiswa turun berurutan. Serombongan yang lain berebutan segera naik. Wisnu turun dengan langkah tenang. Ia menoleh kanan dan kiri untuk memastikan suasana aman. Wisnu terus berjalan dengan perasaan tidak enak. Satpam yang biasanya ramaha menegurnya tiba-tiba diam seribu bahasa. Dengan cepat ia melangkah menuju sekretariatnya di sebelah kanan gedung serba guna. Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul dua orang berbadan tegap, yang satu gondrong dan yang satu lagi berambut cepak.
Bahkan nyaris gundul. Mereka berbaju kaos dan celana jeans yang ketat. Mereka langsung menghampiri dan mencengkeram lengan wisnu yang sedang menerima telpon. Wisnu protes dan berteriak.
    “Mau dibawa kemana saya Pak!”
    “Kamu itangkap karena melangar peraturan!!”, jawab seorang dari mereka.
    “ Kalau begitu mana surat penangkapannya….?”
    “ Sudah diam! Ikut saja kalau mau selamat…!!!”, bentak sorang yang lain.

    Dua orang menggelandang Wisnu menuju sebuah sedan yang sudah dipersiapkan. Kedua mata Wisnu kini ditutup dengan kain gelap. Tangannya terikat rapat dengan sebuah borgol besi. Mobil sedan itu meluncur keluar dari kampus menuju arah luar kota. Wisnu terdiam, seribu satu pertanyaan muncul dibenaknya. Dalam hati ia senantiasa berdoa memohon keselamatan dari Allah. Ia yakin, Allah akan menolong orang-orang yang berjuang untuk kepentingan umat.

                    *******************

    Ruangan itu tidak terlalu luas. Ukurannya sekitar enam kali empat persegi. Udara terasa pengap dan lembab. Cahaya dan udara hanya masuk melalui celah ventilasi kecil jauh diatas jangkaun manusia. Wisnu duduk lemah terkulai disebuah kursi. Tangannya masih erat terborgol. Ia masih sadarkan diri, namun sekujur tubuhnya terasa nyeri. Sejak kedatangannya ditempat itu sekitar enam jam yang lalu, paling tidak sudah tiga orang  yang datang memukulinya dan mencaci maki. Perut Wisnu juga terasa keroncongan. Tadi pagi ia tak sempat makan nasi uduk langganannya di kampus. Wisnu mengaduh dengan lirih-lirih. Sesekali ia menyebut nama Allah dan berdzikir.

    Wisnu masih sibuk berdzikir ketika tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Seorang berusia empat puluh tahunan berbadan tegap masuk. Ia berpakaian rapi dan tidak seperti orang-orang yang sebelumnya. Penampilannya pun berwibawa. Gaya bicaranya tegas dan datar. Wisnu mencoba menenangkan perasaannya. Ia tahu persis sekarang ia berhadapan dengan pimpinan kawanan yang menculiknya.

    “ Selamat sore Saudara, maaf atas perlakuan anak-anak saya tadi…”    “ Sore. Ya…mereka kan Cuma melaksanakan tugas Pak !” jawab Wisnu dengan nada sedikit mengejek.
    “ You tau kesalahan yang membuat you ada disini ?”   
    “ Saya tahu, karena saya membela rakyat, memperjuangkan reformasi, menuntut pemerintahan bersih, menuntut TNI keluar dari parlemen. Begittu khan Pak..?”

    Bapak tadi tersenyum agak kaget. Dia tak mengira anaka muda dihadapannya itu begitu berani dan tenang menjawab pertanyaannya.

    “ Salah!!! You  ditangkap karena mengkoordinir mahasiswa untuk merongrong pemerintahan yang sah. Selain itu, demo-demo yang you bikin selalu bikin ribut. Entah itu penghinaan terhadap pejabat tinggi negara, sampai yang terkahir kemarin pembakaran mobil polisi…” Dengan cepat Wisnu memotong..

    “ Demo-demo kami selalu bersih. Ada usaha-usaha untuk mencemarkan aksi-aksi kami.Selain itu, apakah mengkritisi dan menyuarakan aspirasi rakyat sama dengan merongrong pemerintahan…?” Bapak itu mulai agak gusar meskipun ia masih mencoba berbicara dengan tenang.

    “ You nggak usah sok jadi pahlawan. You  masih muda, punya ortu dan keluarga. Jangan susahkan mereka dengan aksi-aksimu. Lebih baik you  berhenti berdemo, kuliah yang bener. Kami sanggup nguliahin  you  sampai doktor kalau you agree”

    “ Ini perjuangan Pak! Ini untuk kepentingan rakyat, bukan saya pribadi…”

    “ Diam!!! You akan tau apa akbibatnya kalau you  menolak tawaran saya!! Bapak tadi cukup kesal dengan jawaban-jawaban Wisnu. Dengan cepat ia berbalik kebelakang, dibantingnya pintu ruangan itu cukup keras.

                      *****************

    Setahun berjalan dengan cepat. Kondisi perpolitikan negri ini masih tak tentu arahnya. Wisnu tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya. Danu dan teman-teman merasa kehilangan. Berbagai cara sudah ditempuh untuk mencari Wisnu. Rekan-rekannya sudah melapor ke kepolisian, LSM, namun hasilnyanihil. Pihak polisi menolak tudingan adanya penculikan terhadap sang aktifis tersebut.

    Suatu sore sehabis sholat Ashar,  Danu dan beberapa aktifis lain duduk-duduk di serambi masjid kampus. Mereka asyik berdiskusi tentng perkembangan terakhir perpolitikan negri ini. Tiba-tiba keasyikan mereka dikejutkan dengan kedatangan seorang pemuda berambut gimbal dan berjenggot panjang. Pakaian yang dikenakannya menandakan ia telah melakukan perjalanan yang sangat jauh. Ia memberi salam dengan nada mengejek dan tertawa-tawa. Sejurus kemudian ia mulai menyanyi-nyanyi tak karuan. Kadang-kadang pemuda itu bergaya seperti orang sedang berorasi.

    Danu terkejut bukan kepalang. Ia yakin bahwa pemuda dihadapannya sekarang adalah Wisnu, sang aktifis yang hilang sejak setahun yang lalau. Begitu pula teman-temannya yang lain. Mereka segera mengelilinginya untuk memastikan hal tersebut.

    “Wisnu, kamu Wisnu kan?? Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi??”. Tanya danu sambil mengguncang-guncangkan tubuh Wisnu, sahabatnya. Yang ditanya malah tersenyum mengejek.

    “ Wisnu siapa? Aku bukan Wisnu! Aku tentara yang setia terhadap negara dan bangsa! Ha…ha..ha..Aku intelijen! Ha….ha….Tangkap aku!! Cepat! Kalau berani..” kembali pemuda berammbut gondrong itu tertawa terbahak-bahak. Giginya kuning menyeringai menambah suasana semakin menegangkan.

    “Wisnu, ini kami…teman seperjuangmu! Masih ingat ketika kita demo dulu di Trisakti…saat butiran peluru menyerempet lenganku? Kamu dulu yang menyelematkanku…” Danu kembali berteriak-teriak di depan telinga Wisnu, yang hanya menatap kedepan dengan pandangan kosong.

    “ Ha..ha..ha.. kalian siapa? Aku aparat negera yang bersih dan berwibawa…ha…ha… jangan ganggu aku.Aku mau sholat!” , teriak pemuda lusuh tadi dengan tegas. Sejurus kemudian pemuda lusuh gondrong itu melakukan takbir, ruku’, sujud, …sampai lengkap sholat ashar empat rekaat. Danu dan teman-temannya hanya memperhatikan dengan tatapan mata bertanya-tanya.nu dalam menuntut keadila

    Setelah selesai sholat, pemuda itu seolah nampak khusyuk berdo’a. Ada butiran-butiran air keluar dari pelupuk matanya. Tiba-tiba nafasnya mulai tak beraturan. Pandangannya masih kosong kedepan. Tubuhnya oleng tersungkur kedepan menimbulkan suara berdebum. Danu dan teman-temannya segera menghampiri tubuh pemuda itu yang tak bergerak lagi.

    “ Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun….”, ucap seorang teman setelah memastikan detak jantung pemuda lusuh itu telah berhenti. Pemuda lusuh itu meningal bukan saja karena tekanan jiwa. Tapi juga beberapa organ tubuhnya telah mengalami pendarahan yang cukup hebat. Danu tak kuasa dan tak percaya melihat kejadian dihadapannya.danu berteriak histeris, ia pingsan tak sadarkan diri. Teman-temannya yang lain tertunduk lesu. Tak ada yang mampu menahan air mata mereka. Semuanya menangis tersedu-sedu. Mereka bukan saja kehilangan seorang Wisnu, lebih dari itu, mereka baru saja mendapat pelajaran nyata tentang resiko perjuangan.

    Perjuangan Wisnu dalam menuntut keadilan menjadikannya diculik, disiksa, dan dicuci otaknya hingga menjadi gila. Sang Aktifis itu kini diam, jasadnya tersungkur diserambi masjid yang dulu pernah ia tinggali selama bertahun-tahun. Ia meninggal setelah sholat Ashar. Senyuman teduh masih tersisa dari wajahnya. Ia menghadap pemimpin besarnya di langit sana. Untuk melaporkan apa yang telah ia lakukandemi keadilan dimuka bumi ini. Selamat jalan sang Aktifis….
* ditulis di Khartoum tahun 2003, memenangkan lomba cerpen islami yang diadakan kerja sama antara Dharma Wanita Persatuan KBRI Khartoum dan FLP Sudan.

1 komentar:

  1. Subhanallah mas..
    tapi sayang ceritanya sad ending..
    mungkin kalo nunggu sang demonstran lulus kuliah,
    kemudian memiliki kedudukan di pemerintahan,
    ceritanya bisa berbeda ya..

    BalasHapus