26 Sep 2009

Mengupas Kata Mudik

Entah kenapa akhir-akhir ini sedikit tertarik untuk menyelami akar kata dari istilah-istilah tertentu. Meski tidak menggunakan ilmu bahasa tertentu, lumayan cukuplah untuk sekedar memuaskan hati dan menjawab rasa penasaran yang terbersit di dada. Pada note sebelumnya, tepatnya di hari kedua lebaran, sempat saya mengupas secara ‘ngawur’ tentang perluasan turunan kata Lebaran. Meskipun ngawur, alhamdulillah respon yang muncul menunjukkan ada manfaat yang didapat pembacanya, walau tak seberapa.

Nah kali ini saya ingin mengulang prestasi yang sama. Mengacak-acak turunan kata sebuah istilah untuk disesuaikan dengan fenomena yang ada. Pastilah ada kesan memaksakan sebuah arti atau ‘takalluf’, tapi ini tidak lebih untuk memperluas makna istilah tersebut. Bahasa halusnya memang menyelami atau mengupas makna sebuah istilah. Bahasa kasarnya mungkin ‘memplesetkan’ sebuah istilah, agar klop dengan kondisi atau fenomenanya. Wallahu a’lam.

Mudik misalnya, menjadi fenomena tersendiri menjelang hari raya. Berbagai macam analisa telah banyak dikemukakan seputar aktifitas pulang kampung tahunan tersebut. Tahun 2009 ini saja, tercatat 36-juta orang mudik dengan berbagai sarana transportasi yang ada. Kemacetan jalan, angka kecelakaan dan korban yang jatuh di masa lebaran pun sudah banyak mengisi berita di hari-hari ini. Rasa-rasanya sudah banyak alasan bagi saya untuk ikut menganalisa istilah mudik tersebut.

Tentu saja istilah mudik sudah banyak dikenal orang berasal dari akar kata ‘udik’ yaitu kampung atau desa yg lawan katanya adalah kota. Ini seperti istilah arab ‘ badui’ sebagai lawan dari kata hadhory. Sehingga dengan sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa mudik, adalah kembali ke kampung halaman. Sampai disinilah istilah mudik ini dipahami banyak orang, dan memang itu sudah cukup tepat menggambarkan fenomena yang ada di hadapan kita.

Yang menarik bagi saya, struktur tatanan kata ‘mudik’ sebenarnya sangat tidak aneh dalam bahasa arab. Mereka yang sempat belajar bahasa arab insya Allah akan mudah merasakan bahwa kata ‘mudik’ sangat mungkin berasal dari bahasa arab. Selintas kata mudik akan bisa dikategorikan dalam ism fa’il untuk kata dengan wazan (tata susun) af-‘a-la. Seperti istilah ‘murid’ yang jelas dari bahasa arab, dari kata arooda – yuriidu , sehingga murid berarti “ orang yang menginginkan (sesuatu)” dalam hal ini tentu saja menginginkan ilmu. Nama Tokoh HAM yang gugur “ Muniir”, juga jelas berasal dari kata anaaro-yuniiru, yang arti yang memberikan cahaya atau yang menerangi. Nah, dengan demikian kata ‘mudik’ juga –bisa jadi- berasal dari turunan bahasa arab juga. Apalagi kalau kita hubungkan dengan sejarah bahasa arab, pendatang arab yang sudah mendarah daging di Indonesia turun menurun. Belum lagi banyaknya kata-kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari serapan bahasa arab, rasa-rasanya kesimpulan sederhana itu tidak sepenuhnya asal-asalan. Insya Allah.

Jika kita coba cari padanan katanya (plesetannya-red) dalam bahasa Arab, akan kita temukan beberapa kemungkinan akar kata mudik sebagai berikut.

Pertama : Mudik dari akar kata “ adhoo-a” yang berarti “ yang memberikan cahaya atau menerangi”

Ini bisa dipahami dengan mudah, bahwa mereka para pemudik itu secara khusus memberikan ‘cahaya’ atau menerangi kampung-kampung halaman mereka. Secara umum menerangi fenomena hari raya setiap tahunnya. Maka jadilah lebaran kita khususnya di Indonesia setiap tahun begitu meriah dan ramai. Bisa kita bandingkan dengan lebaran di negara yang lainnya, bisa jadi meriah dan ramai, tetapi tanpa mudik ia menjadi sesuatu yang relatif biasa-biasa saja. Lihat saja di kampung-kampung, kita bisa rasakan dengan mudah hidupnya suasana desa dengan kedatangan sanak saudaranya dari kota. Mobil-mobil banyak diparkir di pinggir jalan dengan plat B menandakan ada keluarga yang meramaikan hari raya kali ini. Mau tidak mau, suka tidak suka , inilah ‘cahaya’ yang menerangi suasan lebaran kita. Jika semua itu diniatkan untuk memeriahkan hari raya, tentu itu sebuah kenikmatan luar biasa. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an : “ dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar (agama) Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati “ (QS Al-Haj 32) .

Kedua : Mudik dari akar kata “ Adhoo-‘a”, yang berarti “ yang menghilangkan “

Analisa selanjutnya, mudik berasal dari bahasa arab yang berarti : orang yang menghilangkan. Hal ini juga akan mudah kita tangkap, bahwa mereka pemudik itu adalah orang-orang perantauan yang dipenuhi beban perasaan kerinduan, dan kesedihan karena jauh dari orangtua, keluarga atau kampung halamannya. Karenanya mereka melakukan aktifitas mudik , dalam rangka ‘menghilangkan’ semua kesedihan tersebut. Mereka ingin menghilangkan semua beban kerinduan akan kampung halaman, dan itu semua tidak akan terpenuhi tanpa benar-benar mereka sampai di kampung halaman, khususnya di hari raya yang memang menjadi momentum legal secara syar’I untuk kita berhari raya. Dari Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda tentang kebahagiaan di hari raya : “ Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan sungguh inilah hari kegembiraan bagi kita “ (HR Bukhori).

Ketiga : Mudik dari akar kata “ adzaa-qo” yang berarti “ yang merasakan atau mencicipi “

Orang yang mudik ke kampung halaman pastilah mereka yang ingin kembali ‘merasakan dan mencicipi’ suasana kampung tempat kelahiran. Bukan pula suasana kehidupan, tentulah juga mereka ingin merasakan kelezatan selera yang disajikan. Ini benar-benar sebuah realita yang tak terbantahkan. Para pemudik itu mungkin banyak yang jenuh dengan suasana perkotaan yang terlampau rumit untuk diceritakan. Kerasnya persaingan kerja dan bisnis menjadi alasan yang cukup kuat bagi pemudik untuk sesekali mengistirahatkan diri, menyempatkan untuk merasakan kembali ketenangan kampung halaman. Mereka juga ingin kembali merasakan kehangatan sapaan dari teman-teman kecil di kampungnya. Karenanya, hari-hari ini lihatlah banyak acara-acara reuni diadakan untuk menjawab keinginan untuk merasakan hal tersebut. Inilah yang juga diisyaratkan oleh Umar bin Khotob, tentang nikmatnya bertemu teman-teman lama untuk saling berbagi kebaikan. Dia berkata : " Seandainya bukan karena tiga hal, niscaya aku ingin menghadap Allah (mati), yaitu karena Aku berjihad di jalan Allah, meletakkan keningku di tanah untuk bersujud kepada Allah, dan duduk bersama orang-orang yang memetik perkataan yang baik, sebagaimana dipetiknya buah yang ranum ".(HR Ahmad)

Akhirnya, istilah mudik dari manapun asalnya, sesungguhnya tetap bisa kita perluas dan selami maknanya dari ‘versi’ padanan kata bahasa arabnya. Mungkin banyak lagi padanan kata arab yang bisa anda semua mencarinya, kali ini saya mencukupkan dengan tiga hal di atas. Sekali lagi, note ini bukanlah tulisan ilmiah atau temuan baru di bidang bahasa dan terminologi. Ia adalah lintasan pikiran sederhana yang saya tuangkan dalam sebuah tulisan, sambil menunggu istri tercinta menyiapkan sarapan pagi (kedua) . Alhamdulillah, semoga bermanfaat dan salam optimis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar