24 Feb 2009

Lebih Adil tentang Zakat

Zakat di negara kita masih diperlakukan secara tidak adil, baik oleh pemerintah dengan sistem perundang-undangannya maupun oleh individu muslim. Dalam konteks perundang-undangan, zakat masih ditempatkan pada posisi 'anjuran' dengan sistem self assesment dimana muzakki (pembayar zakat) diberikan keluasan untuk menghitung zakat sendiri, menyerahkannya ke amil manapun, atau bahkan mendistribusikannya sendiri sesuai dengan tingkat kedekatannya dengan para mustahiq (penerima zakat). Produk hukum lainnya yang 'seolah' berpihak pada zakat adalah pengurangan penghasilan kena pajak dari pembayaran zakat itu sendiri.Bukan pengurangan 'pajaknya', tapi baru sekedar pengurangan penghasilan kena pajaknya. Untuk lebih lengkap soal permasalahan pengurangan pajak ini bisa lihat disini. Selain semua itu, pemerintah juga baru 'sekedar' mensosialisasikan kewajiban zakat serta memfasilitasi penyaluran dan penerimaan zakat dengan mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ), baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah.

Ini semua bukti sederhana tentang posisi zakat yang masih dianaktirikan dalam produk perundangan kita. Tapi sekali lagi, ini juga tetap harus kita syukuri. Saya tidak sedang mengajak anda untuk pesimis. Di Sudan dimana zakat telah menjadi institusi pemerintahan sendiri, dengan back up penuh dari perundang-undangan syari'ahnya, juga melewati fase perundangan zakat sebagaimana di Indonesia. Arti sederhananya adalah, ini semua adalah sunnatullah sebuah proses. Ketika masyarakat telah meyakini sepenuhnya kewajiban zakat, maka secara bersamaan –insya Allah- akan muncul juga tuntutan untuk melegalkan zakat dalam perundang-undangan yang lebih kuat dan mengikat. Jadi pekerjaan rumah kita masih banyak.

Penjelasan di atas berkaitan dengan pemerintahan dan perundang-undangan. Dalam konteks individu, zakat juga masih diperlakukan secara tidak adil dibanding instrumen pokok ibadah dalam Islam yang lainnya seperti : sholat, puasa, dan apalagi : haji !. Di tingkat yang paling awam, kewajiban zakat hanya dimaknai sebagai 'zakat fitrah' ansich. Ini berarti, banyak orang yang merasa sudah cukup berzakat 'hanya' dengan mengeluarkan 2,5 kg beras pertahunnya. Dalam tataran ini banyak yang memandang bahwa zakat maal hanya berlaku bagi kalangan orang-orang jetset dan konglomerat saja. Anggapan ini muncul dari kesalahan sederhana yang mengartikan emas sebagai perhiasan. Kebiasaan orang Indonesia menganggap 'emas' adalah perhiasan, ini terekam dalam benak kebanyakan masyarakat awam. Sehingga ketika disebutkan nishob emas adalah 85 gram selama setahun penuh, maka mereka segera menganalogikan ke perhiasan emas yang dimilikinya di rumah. Jika melebihi 85 gram maka akan dizakati, dan jika kurang maka akan merasa terbebas dari kewajiban zakat secara mutlak. Ini memang kesimpulan sederhana yang berawal dari arti emas haruslah perhiasan. Padahal sejatinya yang disebut emas dalam zakat, adalah posisi emas dan perak sebagai alat pertukaran di jaman Rasulullah SAW yang lebih dikenal dengan dinar dan dirham. Inilah yang kemudian mewacanakan zakat sebagai kewajiban 'elitis' yang hanya diwajibkan pada kalangan jetset dan konglomerat semata. Mereka lupa bahwa Rasulullah SAW juga mewajibkan zakat pada petani, peternak, penambang bahkan pedagang, terlepas dari apakah mereka memiliki perhiasan emas atau tidak.

Bentuk ketidakadilan yang lain, adalah bagaimana zakat dianggap 'tidak lebih penting' dari ibadah lainnya, khususnya haji. Kita bisa lihat fakta waiting list calon haji yang senantiasa penuh diberbagai daerah. Bukan saja untuk tahun ini, bahkan satu hingga dua tahun ke depan diperkirakan kuota haji di banyak daerah telah terlewati. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan yang menggelitik, apakah mereka semua sudah membayar zakat secara rutin ? atau mungkinkah mereka semua tidak termasuk sebagai 'muzakki' setelah mereka mampu melewati ongkos naik haji (ONH) yang berkisar 30-jutaan dengan mudah ? Tentu logika sederhana manapun akan dengan mudah membantah bahwa mereka tidak termasuk muzakki. Ini tentu di luar konteks mereka yang haji karena biaya dinas atau hadiah.

Mari kita bandingkan beberapa data dan fakta berikut :
• Di Malaysia dengan jumlah penduduk total 27 juta , pada tahun 2003 sudah terserap dana zakat sebesar 408 juta RM, atau sekitar 1,06 trilyun
• Di Indonesia dengan jumlah muslim 180 juta lebih , dana yang terserap pada 2007 baru sekitar 500 M, atau 2% dari potensi zakat total Indonesia yang mencapai 17- 20 Trilyun pertahun (PIRAC institute,Media Indonesia)
Dari data di atas secara kasat mata memang bisa disimpulkan bahwa di Indonesia banyak potensi zakat yang belum terserap, atau dengan kata lain ; banyak orang kaya yang belum membayarkan zakatnya. Ini adalah pekerjaan rumah lainnya yang harus terselesaikan. Jika mau kita telaah, beberapa sebab 'kemungkinan' yang membuat orang dengan potensi muzakki belum juga berzakat, antara lain sebagai berikut :

• Anggapan bahwa sudah cukup dengan banyaknya infak sedekah, sehingga zakat menjadi tidak relevan lagi untuk mensucikan hartanya.
• Anggapan penghitungan zakat yang rumit.
• Lembaga Amil Zakat yang dianggap kurang amanah dan profesional.
• Peraturan Perundangan yang kurang kuat dan mengikat.
• Kesadaran atau daya dukung iman yang kurang kuat.

Untuk anggapan banyaknya infak dan sedekah, mendirikan masjid, membantu pesantren bisa dianggap menggantikan kewajiban zakat, tentu adalah anggapan salah dalam memposisikan prioritas ibadah dalam Islam. Status wajibnya zakat nampaknya sangat 'undebatable' sehingga tidak bisa digantikan dengan hal lainnya yang status kewajibannya lebih rendah atau 'sekedar' sunnah. Begitu pula dengan anggapan penghitungan zakat yang rumit juga bisa diminimalisir jika saja 'calon muzakki' lebih terbuka untuk mempelajari zakat serta melakukan pendekatan pada pihak-pihak terkait. Saat ini software penghitungan zakat juga sudah muncul dalam berbagai versi, jika belum cukup menenangkan kita bisa berkonsultasi dengan ahlinya yang ada di banyak lembaga amil zakat. Ini semua jika dilakukan tentu akan menghapus anggapan bahwa penghitungan zakat adalah rumit. Mengutip kata Rizal Malarangeng dalam iklannya : if there is a will, there is a way !

Sementara itu anggapan bahwa Lembaga Amil Zakat belum amanah dan tidak profesional memang layak untuk dikaji kembali. Bahwa memang ada fakta satu dua LAZ yang salah dalam mengelola dana zakatnya sehingga menimbulkan kesan buruk dalam masyarakat. Tapi alangkah bijaknya jika kita tidak segera menggeneralisir semua LAZ dengan cap tidak amanah dan tidak profesional. Anggapan di atas juga tidak sepenuhnya bisa disalahkan, mengingat kebiasaan masyarakat kita yang meyakini dan mempraktekkan peribahasa :" nila setitik rusak susu sebelanga", atau " panas setahun dihapuskan hujan sehari". Untuk permasalahan Lembaga Amil Zakat yang amanah dan profesional, sepertinya perlu pembahasan yang lebih khusus, begitula pula tentang perundang-undangan yang belum mengikat. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah keimanan dan kesadaran 'calon muzakki' tentu akan banyak yang perlu dibahas secara lebih mendalam. Insya Allah dalam kesempatan posting-posting yang akan datang, kita harapkan bisa mengkaji ulang permasalahan zakat ini. Semoga Allah memudahkan.

1 komentar:

  1. setuju banget kang....
    malah yang lebih herannya kang...
    mereka bersebondong2 memperebutkan tanah wakaf
    dibanding datang berbondong2 berwakaf...!!!

    BalasHapus