11 Mei 2015

Pilihan-pilihan Rumit dalam Kehidupan

 Suatu ketika saya naik Taksi, sepanjang perjalanan sang sopir panjang lebar memberikan nasehat-nasehat sederhana tentang kehidupan. Saya menyimak sambil sesekali mengangguk-anggukan kepala. Di akhir ia seolah memberi sebuah kesimpulan yang sekilas baik dan benar, “ daripada kita kaya maksiat, kan lebih baik miskin taat. iya kan pak ? “. Bapak sopir tersebut memberikan sebuah pilihan yang sulit dan aneh, antara miskin taat dan kaya tapi maksiat. Barangkali dalam kehidupan, pilihan-pilihan rumit nan aneh semacam itu mungkin sering kita hadapi bahkan kita jalani. Contoh lainnya mungkin saat bersedekah, kita terkadang diberi pilihan : lebih baik sedekah sedikit tapi ikhlas, dari pada sedekah banyak tapi tidak ikhlas.

Pilihan-pilihan semacam ini tanpa disadari menjadikan kita berfikir minimalis, sehingga akhirnya menjadikan kita tidak produktif, seperti : merasa cukup dengan kemiskinan yang ada tanpa berupaya untuk bekerja dan berusaha lebih baik lagi, atau merasa cukup dengan bersedekah kecil-kecilan sepanjang hidup.

Tanpa kita sadari, seolah-olah kita hanya dihadapkan pada dua pilihan ‘dilematis’ itu semata, sementara pada kenyataannya agama Islam yang mulia menginginkan kita mendapatkan kebaikan demi kebaikan dengan baik dan seimbang, dunia dan akhirat. Agama Islam juga menginginkan kita bertakwa dengan sebenar-benar taqwa, sesuai dengan daya kemampuan kita untuk mencapai derajat yang terbaik.

Kembali soal pilihan antara kaya maksiat dan miskin taat, saya teringat begitu gamblangnya Rasulullah SAW menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan manusia dalam hal ini. Beliau bersabda dalam hadits yang diriwayatkan imam Tirmidzi , dimana beliau membagi manusia kaitannya di dunia dalam empat golongan. Golongan Pertama,  seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu kemudian ia bertakwa kepada Rabb-nya, menyambung silaturrahim dan mengetahui hak-hak Allah (dalam harta itu), inilah kedudukan yang paling mulia. Golongan Kedua, seorang hamba yang dikaruniai ilmu tapi  tidak dikaruniai harta, kemudian dengan niat yang tulus ia berkata: ‘Jika seandainya aku mempunyai harta, maka aku akan beramal seperti amalannya si fulan itu.’  Dengan niat seperti ini, maka pahala antara ia dan golongan pertama sama.

Adapun Golongan Ketiga,  seorang hamba yang dikaruniai harta namun tidak diberi ilmu, lalu ia membelanjakan hartanya secara serampangan tanpa dasar ilmu, , ia tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak menyambung silaturrahim, dan tidak mengetahui hak-hak Allah, maka ia berada pada kedudukan paling rendah. dan terakhir adalah Golongan Keempat, seorang hamba yang tidak dikaruniai harta dan juga ilmu oleh Allah ta’ala, lantas ia berkata: ‘Kalau seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Maka ia dengan niatnya itu, menjadikan ia mendapatkan dosa sama dengan golongan ketiga. Ibaratnya pepatah, barangkali inilah yang disebut sudah jatuh tertimpa tangga.

Jika kita melihat tingkatan-tingkatan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas, maka cukup jelas bahwa seorang muslim dituntut untuk terus berupaya memperoleh kebaikan demi kebaikan, baik harta maupun ilmu dan akhlak tanpa terkecuali.  Tidak boleh berdiam diri dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki hari ini. Sungguh cukup banyak profil baik di kalangan sahabat, maupun tokoh-tokoh hari ini, dimana mungkin mereka bergelimang harta, tapi hal tersebut tidak mengurangi sedikitpun semangat dalam ketaatan, sedekah, dan berlomba kebaikan. Allah SWT berfirman : “dan untuk yang demikian itulah hendaknya orang berlomba-lomba”. (QS.Al-Muthaffifin :26).

Nah, yang mana pilihan Anda; jadi kaya maksiat, miskin taat, atau kaya taat ?  Semoga Allah SWT memudahkan.

*artikel dimuat pada Rubrik Tausiyah Suara Merdeka Suara Solo, Jumat 8 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar