31 Jan 2022

Memilih "Jalan Ninja" para Wali

Manusia diciptakan dalam kondisi lemah, baik secara fisik maupun semangat. Karenanya kita diminta dalam surat Al-Ashr, untuk saling mengingatkan, dan saling menguatkan satu sama lain. Tak kurang Rasulullah SAW memotivasi kita dalam sabdanya : “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah,” (HR. Muslim). Beliau juga mengajarkan agar kita memotivasi diri, setidaknya dengan berdoa : “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, dan rasa malas” (HR.Bukhori). Kalau untuk berdoa saja kita tidak mampu, maka betapa benar-benarnya lemahnya kita.


Karena semua kelemahan itulah, sejatinya yang dituntut bagi seorang muslim paling utama adalah menjalankan yang wajib semata. Namun meski hanya terlihat standar minimalis, ternyata itu mendatangkan kecintaan Allah SWT. Sebuah hadits Qudsi menegaskan hal ini, dimana Allah SWT menyatakan : “Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan baginya" (HR.Bukhori).


Karena itulah, jangan sampai kita meremehkan seseorang yang terlihat mungkin tidak aktif dalam hal yang sunnah, namun mencukupkan diri dengan yang wajib semata. Buat apa kita meremehkan mereka yang mengambil jalan yang terlihat minimalis ini, sementara justru Allah SWT mencintainya dan bahkan Rasulullah SAW menjaminnya dengan surga.


Dari Jabir bin Abdullah Al Anshary radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah dengan berkata, “Bagaimana pendapatmu jika saya melaksanakan shalat yang wajib, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, lalu saya tidak menambah lagi sedikit pun, apakah saya akan masuk surga?” Beliau menjawab, Ya.” (HR. Muslim).


Jika mereka yang memilih menjalankan kewajiban saja tidak boleh kita nyinyiri dan remehkan, maka apalagi mereka yang memilih menambahkan amalan sunnah yang berbeda dengan yang kita pilih ?. Karena sesungguhnya sekali lagi, setiap orang punya keterbatasan, kelemahan sehingga tidak bisa kemudian bersemangat dalam menjalankan semua amalan sunnah.


Tidak diragukan lagi bahwa memperbanyak amalan sunnah tentu adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang bahkan bisa menjadikan seseorang menjadi waliyullah, dalam arti seorang yang dicintai oleh Allah SWT, sebagimana firman-Nya dalam hadits qudsi : “Tidaklah Hamba-Ku senantiasa mendekat diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya” (HR. Bukhori)


Mungkin kita segera bertanya, untuk mendapatkan kecintaan Allah SWT secara lebih cepat dan efektif, harus dicari amalan sunnah terbaik setelah yang wajib. Namun sayangnya tetap saja soal ini menjadi perbedaan di antara ulama, dan ujung-ujungnya amalan terbaik pada setiap orang bisa berbeda tergantung kondisi dan situasinya. Inilah yang dijelaskan begitu gamblang oleh Ibnu Taimiyah dengan menyatakan :


“ Masalah ini (amal sunnah terbaik) bisa berbeda dengan perbedaan orang dan perbedaan kondisi. Tiga hal ini : Sholat, Ilmi dan Jihad, adalah amal yang paling utama secara ijma (kesepakatan) umat, Imam Ahmad menyatakan amalan tathowwu’ yang paling afdhol adalah Jihad, Imam Syafii mengatakan : Sholat (sunnah), dan Abu Hanifah dan Malik mengatakan : Ilmu”. ( Dalam riwayat lain imam Syafii mengatakan ilmu adalah amalan terbaik setelah yang wajib ). Lalu Ibnu Taimiyah menambahkan : Bahwa sejatinya sesuatu ini bisa lebih utama pada satu waktu, dan pada waktu yang lain ada hal lain yang lebih utama. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para penggantinya, mereka melakukan hal ini, dan terkadang hal lain, semua sesuai kondisi berdasarkan kebutuhan dan maslahatnya.” (Minhajus Sunnah)


Maka dengan ini sejatinya setiap orang bisa berbeda dalam memilih “jalan ninja” untuk menjadi wali dalam arti mendapatkan kecintaan Allah SWT. Dan tentu saja biasanya jalan yang dipilih adalah yang sesuai dengan kebiasaan dan pembawaan masing-masing. Dalam hal ini kita bisa mengingat inspirasi dari firman Allah SWT : “Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". (QS Al Isra 84) . Disebutkan dalam tafsir ringkas Kemenag RI, maknanya yaitu : “Katakanlah wahai nabi Muhammad, setiap orang berbuat sesuai dengan keadaannya masing-masing, yakni sesuai pembawaannya, caranya dan kecenderungannya dalam mencari petunjuk dan menempuh jalan menuju kebenaran.”


Maka disinilah kita bisa menemukan, ternyata banyak inspirasi keteladanan generasi salaf yang mungkin sesuai dengan kecenderungan kita untuk kita pilih jadi “jalan ninja” kita, dan yang terpenting tentunya adalah agar kita tidak meremehkan mereka yang memilih jalan taqorrub yang berbeda dengan kita.


Ibnu Mas'ud RA, misalnya, sahabat utama yang tidak diragukan komitmennya, suatu ketika pernah ditanya mengapa jarang menjalankan puasa sunnah. Maka beliau dengan percaya diri mengatakan : "Jika aku berpuasa sunnah aku tidak bisa memperbanyak sholat sunnah. Padahal aku lebih memilih memperbanyak sholat sunnah dibandingkan puasa sunnah ". (Mukhtasar Minhaj Al-Qashidin)


Kisah Imam Malik berbeda lagi, dalam kitab Syiar A’laam Nubala dikisahkan bahwa Abudllah Al Umari seorang ahli ibadah berkirim surat kepada Imam Malik, menasehati dan memotivasinya untuk uzlah dan sibuk ibadah, daripada sibuk mengajarkan hadits sebagaimana telah ia lakukan sepanjang waktu.


Maka dengan bijak Imam Malik menjelaskan melalui balasan suratnya : ‘Sungguh Allah itu membagi amal [baca: amal sunnah] sebagaimana Dia membagi rezki diantara hamba-hamba-Nya. Ada orang yang dimudahkan untuk rajin shalat namun tidak dimudahkan untuk rajin puasa sunnah. Orang kedua dimudahkan untuk ringan berinfak namun tidak dimudahkan untuk rajin berpuasa sunnah. Orang ketiga diringankan untuk berjihad. Dan adapun mengajarkan ilmu agama (bagiku) termasuk amal yang paling utama. Aku rela dengan kemudahan yang Allah berikan kepadaku. Aku tidaklah beranggapan bahwa amal yang menjadi kesibukanku tingkatannya lebih rendah dibandingkan amal yang menjadi kesibukanmu. Aku berharap kita semua dalam kebaikan.” (Syiar A’lam Nubala)


Dari kisah imam Malik kita mendapatkan pelajaran besar, jangan sampai kita meremehkan apalagi nyinyir kepada orang lain yang mungkin tidak terlalu semangat menjalankan amalan sunnah yang kita jalankan, karena bisa jadi ia memiliki prioritas amalan sunnah lain yang sesuai dengan kondisinya.


Jika kita sedang puasa sunnah misalnya, lalu banyak sahabat kita yang terlihat tidak pernah puasa sunnah, maka jangan sesekali terlintas godaan syetan untuk meremehkan, bisa jadi ia adalah pakar sedekah yang justru memilih untuk mentraktir hidangan berbuka bagi temannya yang berpuasa. Bukankah akan lebih berlipat-lipat jadinya.


Bagi para penggemar kuliner, mungkin bisa menjadi salah satu jalan ninja untuk meraih pahala dengan gemar mengajak sahabatnya kulineran bersama.  Dalam kitab Ihya Ulumuddin disebutkan ungkapan Ali bin Abi Tholib RA : “Aku mengumpulkan saudara-saudaraku dalam satu “porsi besar” makanan, sungguh lebih aku sukai daripada memerdekakan seorang budak.”


Mau jalan menjadi wali yang agak berbeda ? Yang ini sering disebutkan oleh Gus Baha, yaitu jalur “bojo galak”, dengan cara bersabar atas segala keburukan perangai sang istri. Dan ini tidak tanggung-tanggung, sudah ditulis satu kitab khusus berbahasa arab yang membahas tentang “ Kisah para Ulama yang istrinya Berperangai Buruk”. Anda tertarik menempuh jalur ini ? Saya akan tuliskan secara khusus jika banyak yang berminat. #Eeh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar