31 Des 2021

Belajar Bahasa Arab itu Mudah ( Suka Duka Belajar Bahasa Arab dari Nol)

Niat awalnya menulis soal ini pada tanggal 18 Desember lalu, secara momentum bersamaan dengan peringatan Hari Bahasa Arab Internasional. Namun apa daya tertunda entah karena kesibukan atau sederet alasan lainnya. Yang jelas terngiang lagi untuk menulis soal ini, setelah kemarin sore ada tamu datang ke rumah bersama sang putra, untuk meminta nasehat dan motivasi seputar belajar bahasa arab, ilmu syariah dan kuliah di luar negeri.

Judul di atas jelas hanya soal klik bait, bukan kesimpulan. Agar pembaca tertarik untuk membaca lebih lanjut. Karena sejatinya pasti secara makna debatable dan akan banyak protes, mengingat banyak yang sudah “berguguran” di jalan belajar bahasa Arab, keluar masuk aneka kursus dan komunitas, ternyata belum sesuai harapan.

Jadi tulisan ini hanya sejenak mengenang bagaimana dulu proses pembelajaran bahasa Arab saya, yang tentu saja sampai saat ini masih terus belajar. Setidaknya sampai saat ini saya masih asyik menyimak pembelajaran bahasa arab dari ustadz Ahmad Ridho Hasyim di channel youtube Mahad al-Ilmu Nuurun, diantaranya mengkaji Kitab Tuhfatus Saniyah Syarh Matan Jurumiyah dan juga Kitab Balaghoh Wadhihah. Beliau menjelaskan yang terlihat rumit dengan cara yang bernas, jelas nan cerdas.

Tulisan ini hanya sekedar berbagi inspirasi dan motivasi, khususnya siapa saja yang hampir menyerah belajar bahasa arab, bahwa masih ada jalan dan harapan terbentang insya Allah. Betapa tidak, saya pribadi sampai lulus SMA hanya mengenal bahasa Arab sebatas : afwan, syukron, dan uhibbuki fillah ……#hadeh.  Karena memang sejak SD, SMP hingga SMA saya menempuh pembelajaran umum. Jangankan mondok, pesantren kilat pun malah cuma jadi panitia. Maka jangankan mahir bahasa Arab, bahasa Inggris yang diajarkan sejak SMP pun tidak jelas sisanya kemana.

Awal belajar bahasa Arab adalah saat masih menjadi mahasiswa di STAN Jurangmangu. Ketika itu belajar benar-benar dari awal saja, hanya beberapa orang saja di bawah asuhan ustadz Abdul Hakim, tempatnya di kantor Darut Tauhid depan Bintaro Plasa. Belajar waktu itu menggunakan kitab Al-Muyassar fi Ilmi Nahwi, karangan KH. Aceng Zakaria. Ketika itu saya diajak abang saya, dan kalau tidak salah ada juga mas Sabeth Abilawa dan kang Hari Sanusi turut belajar bersama.

Ketika pembelajaran awal tersendat karena kesibukan ustadznya, sementara hati sudah mulai tertarik dan penasaran untuk belajar bahasa Arab. Maka saya ikut kursus bahasa arab yang lagi viral saat itu yaitu PBAT (Program Bahasa Arab Terpadu), ambil kelas di Al Hikmah Bangka dan diajari oleh ustadz Musbihin dan tentu saja mudirnya, beliau Dr. Sofwan Jauhari yang sekarang menjadi pakar MLM dan Pasar Modal Syariah. Jadi pagi hari saya kuliah di STAN Jurangmangu, lalu siang harinya sepekan dua kali saya segera otw ke daerah Mampang, tentu saja masih setia dengan kopaja 613 sebagai angkutan utama menuju Blok M nya.

Karena rasa tertarik untuk mempelajari bahasa Arab dan Ilmu Syariah semakin kuat, maka saya merasa belajar sepekan dua kali dengan waktu yang sangat singkat sekitar 2 jam saja, terasa kurang. Maklum semangat muda, impian untuk serius belajar bahasa Arab dan bahkan belajar ke timur tengah mulai membahana dalam jiwa (ealaah), dan puncaknya saya memutuskan untuk keluar dari STAN agar bisa mencari pembelajaran bahasa Arab yang intensif, sebagai modal mendaftar ke LIPIA atau ke timur tengah.

Akhirnya pilihan untuk belajar bahasa Arab lebih intensif ada di Mahad Al Manar, kawasan Utan Kayu Jakarta Timur. Model pembelajaran baik waktu maupun referensinya mirip di LIPIA, yaitu belajar intensif Senin sampai Jumat jam 07.00-12.00, menggunakan paduan antara kitab Arobiyatu Linnasyi’in dan Silsiah Taklim Lughoh Arobiyah. Bisa dibayangkan, ketika itu saya masih kost di Pondok Jaya Bintaro Jaya, dan jam 07.00 pagi harus udah siap stand by di kampus al Manar Utan Kayu. Maka yang terjadi setiap shubuh di masjid saya sudah siap semuanya, selesai salam langsung meluncur mengejar Kopaja 613 ke Blok M dan lanjut P57 arah Pulogadung. Agenda matsurotan campur ngantuk menjadi rutinitas pagi hari membelah jalanan ibukota, demi belajar bahasa arab tercinta he2.  Di Almanar, mendapat bimbingan para ustadz yang ramah nan ceria, beliau ustadz Ahmad Syazali, ustd Junaedi, dan banyak ustadz yang lainnya. Di sela belajar bahasa Arab di Al Manar, turut juga mengkaji kitab Nahwu Wadhih dibawah bimbingan ustadz Mahrus Abdurrohim, melalui program khusus sekian pertemuan yang alhamdulillah, tuntas.

Di Almanar saat semester kedua kalau tidak salah, dibuka pendaftaran LIPIA. Saya mendaftar program Idad Lughowy, dimana saingan tentu paling banyak dan sejak dulu sudah dikenal masuk LIPIA itu susah, jangankan yang baru belajar bahasa Arab, yang sejak kecil mondok pun belum tentu sukses di terima. Karena itu, saya ikut program persiapan tes masuk LIPIA selama sepekan kalau tidak salah, yang ketika itu diselenggarakan oleh FAMILY, organisasi mahasiswa LIPIA Jawa Tengah dan bertempat di Ma’ahid Kudus. Sadar akan kekurangan sebagai newbie dalam bahasa Arab maka saya fokus menyiapkan tes masuk bahasa arab di LIPIA dengan sungguh-sungguh, apalagi saat itu mengingat saya sudah ‘status quo”, status sebagai mahasiswa STAN sudah saya tinggalkan, dan harapannya sebagai gantinya harus jadi mahasiswa LIPIA.  

Dan alhamdulillah akhirnya saya diterima di LIPIA Program Bahasa Arab, disaat banyak mahasiswa semester akhir di AlManar yang belum berhasil diterima. Kisah belajar di LIPIA tentu perlu dituliskan secara tersendiri mengingat banyak suka dukanya he2. Yang jelas bersyukur mendapatkan bimbingan dari Ustadz Farhan yang dikemudian hari ternyata menjadi mitra mengajar bahasa arab di Mahad Abubakar UMS Surakarta.

Satu tahun di LIPIA berkesempatan mendaftar kuliah ke Sudan. Ujian seleksinya diselenggarakan di Kedutaan Besar Sudan, meliputi tes tertulis dan tes wawancara. Sang penguji tes wawancara tidak lain dan tidak bukan adalah Dr. Muhammad Thoyyib, yang sehari-hari mengajar kami di LIPIA. Maka saat tes wawancara secara berkelompok 3-4 orang untuk efektifitas, lain semua ditanya saya didiamkan saja. Hanya kalau ada pertanyaan yang terlewat oleh peserta lainnya, saya yang diminta menjawab. Ketika saya tanya : “ ustadz kenapa saya gak ditanya ? “. Beliau menjawab sambil tersenyum : “ saya ngajar kamu setiap hari, saya tahu kemampuanmu “.  Dan alhamdulillah lolos ke Sudan ……

Di Sudan saya langsung masuk perkuliahan Syariah, sehingga porsi mata kuliah bahasa Arab sangat sedikit. Tentu hal berbeda dengan teman-teman mahasiswa LIPIA, yang berkesempatan belajar bahasa Arab sangat mendalam dari mulai I’dad, Takmili bahkan sampai di Syariah pun harus merampungkan kitab Audhohul Masalik Ila Alfiyah Ibn Malik. Satu-satunya yang masih menyisakan harapan bahwa usaha belajar bahasa arab saya tidak sia-sia, adalah karena berkesempatan mendapatkan nilai Mumtaz baik saat semester pertama, maupun saat keluar dan tertuang di ijazah kelulusan S1 Syariah di Sudan.

Pulang ke Indonesia, tidak berapa lama, justru kemudian menjadi guru bahasa Arab di Mahad Abu Bakar UMS selama tiga tahun lamanya 2008-2011. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, kembali menekuni soal pembelajaran bahasa Arab, bahkan ketika ada Program Takmili dan sempat ikut mengajar. Maka “terpaksa” memberanikan diri membaca dan mempelajari kitab-kitab bahasa Arab yang lebih berat untuk kemudian diajarkan di program Takmily. Dan, setiap kali memulai awal perkuliahan di Mahad Abu Bakar, saya selalu sampaikan kepada para mahasiswa : “ Bahasa Arab itu mudah, tapi mempelajarinya membutuhkan kesabaran, nah Sabar itu yang susah ….. “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar