21 Feb 2021

Catatan Pra Poligami untuk Para Suami, Emak-emak dilarang Baca !

Bagi sebagian bapak-bapak saat berkumpul bersama kaumnya, mengobrol topik poligami adalah soal prestisius tersendiri. Di dalamnya seolah tersirat pengakuan dan testimoni tentang banyak hal : lelaki bijak yang berlimpah kasih sayang, kelebihan likuiditas nafkah sehingga perlu saluran baru yang indah berpahala, atau eksistensi sebagai lelaki sejati nan perkasa penuh energi berlimpah. 

Memang biasanya hanya selesai di wacana saja, karena yang benar-benar berpoligami justru biasanya memilih jalan  ninjanya sendiri yang sunyi : nikah siri. Ragu-ragu mempublikasikan pernikahan kedua memang tidak berarti itu pelakunya menganggap hal itu aib yg harus disembunyikan, tetapi mungkin lebih menjaga perasaan banyak jomblo yang sering gagal, mentok hanya sampai taaruf saja. 

Lepas dari perbincangan, sebagian kecil berlanjut ke praktek poligami dengan banyak motifnya. Ada yang sosial ideologis, yaitu ketika mereka melihat poligami sebagai salah satu alternatif menggandakan pahala dengan memasukkan janda dan anak yatim di dalam susunan kartu keluarga. Ada juga yang berpoligami dalam rangka menjaga kehormatan diri, mengingat gejolak dan hasrat masih berlipat sementara pendapatan juga terus meningkat, maka membuka cabang syariah adalah salah satu alternatif yang sayang untuk terlewat. 

Tentu selain hal-hal di atas, kita tidak menutup mata ada juga yang memang ‘terpaksa’ poligami setelah berawal dari godaan kemaksiatan yang diperturutkan, dan akhirnya memilih pernikahan sebagai ikhtiyar pertaubatan atau bentuk pertanggungjawaban. 

Terlepas apapun motifnya, saya yakin para ibu-ibu tidak akan pernah setuju, apalagi jika terjadi pada suaminya. Maka saya tidak akan berbusa-busa menjelaskan soal poligami ini kepada kaum wanita, apalagi soal tim Khadijah atau tim Aisyah, tapi catatan ini justru lebih menyasar kepada para bapak-bapak, khususnya yang memang sudah menyusun agenda poligami sebagai salah satu “challenge” dalam kehidupannya, sehingga semoga lebih bijak saat benar-benar akan melangkah dan tak harus viral dulu baru mengaku. 

PERTAMA : Poligami berbeda dengan poliganti, yaitu Anda mau nikah lagi begitu saja tanpa mengkondisikan hati sang istri dengan bijak terlebih dahulu. Sehingga saat tahu dan menyadari, sang istri langsung angkat kaki meluncur ke Pengadilan Agama untuk mendaftarkan gugat cerai. Maka model seperti ini sama sekali bukan prestasi, karena Anda membangun kebahagiaan dengan meruntuhkan dan menggusur bangunan lain yang sudah ada. 

Memang tidak mudah mengkondisikan dan memahamkan wanita manapun soal poligami, tapi jika ketidakpahaman itu terus membesar sampai pada kesimpulan “ pilih aku atau dia”, maka sungguh ini bukan “win-win solution”, bahkan “break even point” juga tidak. Hal semacam ini sudah lama diabadikan dalam peribahasa kita : “Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”. Cukuplah sinetron Si Doel jadi pelajaran bagi kita, sosok anak betawi yang kerjaannya sembahyang mengaji tapi tak berani poligami, hingga harus memilih antara tim Sarah atau tim Zaenab.  

KEDUA : Sebagai lelaki sejati, berpoligamilah secara ksatria. Memang para istri tidak punya otoritas dalam melarang suaminya menikah lagi, tidak ada syarat pernikahan seorang laki-laki adalah ijin dari istri pertama, sebagaimana dulu saat awal menikah juga tidak mensyaratkan ijin dan keridhoan dari sang mantan. Tetapi tidak minta ijin bukan berarti tidak memberitahukan, agar Anda tidak terjebak dengan kebohongan demi kebohongan, dan lebih buruk lagi kezaliman demi kezaliman. Anda akan mulai berbohong dari hal teknis : mengaku meeting rapat padahal sedang kulineran dengan si dia, mengaku ada training sepekan padahal mendampingi si dia bersalin, bahkan sampai mulai menyembunyikan sebagian “take home pay” dan memark-up beberapa pos biaya agar si dia juga mendapatkan hak-nya. 

Karenanya, jujur dan berterusteranglah sejak awal pada istri pertama, siapa tahu ada keajaiban istri pertama mendukung bahkan rela berbagi apa saja termasuk harta. Hal indah seperti ini memang belum pernah terbayangkan oleh para penulis skenario sinetron Indosiar sekalipun. 

KETIGA : Poligami bukanlah suatu usaha pelarian. Yaitu ketika Anda merasa kecewa dengan istri, rumah tangga Anda tersapa badai, lalu Anda merasa gagal dan letih untuk terus memperbaiki, tetapi di sisi lain Anda juga tak hendak menceraikan karena memang tak ada alasan yang sepadan. Maka poligami dalam kondisi ini jelas pelarian, semacam kompensasi atau bahkan bisa juga bentuk balas dendam memberi pelajaran yang menyakitkan bagi istri pertama. Ibaratnya pepatah sederhana, mirip-mirip “air susu dibalas dengan air tuba”. Perlu diingat juga, pernikahan berikutnya juga sama berpotensi menimbulkan masalah dan badai baru, karena setiap keluarga punya masalahnya tersendiri. Jadi langkah tidak tepat jika berpoligami sebagai pelarian. 

Berpoligamilah sebagaimana prinsip membuka satu usaha, ketika tengah sukses di satu tempat, maka barulah berpikir untuk membuka cabang baru yang potensial di tempat lain.  Berpoligamilah dengan penuh syukur atas anugerah istri pertama, jangan berpoligami hanya karena tidak bersabar atas tingkah polah istri pertama.  

KEEMPAT : Poligami pada dasarnya halal, dan sebagaimana objek halal yang lainnya, pada beberapa orang bisa menjadi tidak “toyyib”. Lemak daging kambing tentu halal dan lezat, tetapi bagi para kolektor kolesterol tentu bisa mengundang marabahaya, apalagi jika sudah muncul fatwa peringatan dari dokter. Begitu pula poligami, meski halal sangat mungkin tidak tepat dan tidak solutif bagi banyak orang. 

Dari sisi ekonomi misalnya, poligami ibaratnya membuka akad “musyarokah” dengan mitra baru, maka harus diperjelas dulu aset-aset perusahaan lama dan modal awal perusahaan baru. Sehingga dengan jelas ini akan mudah mengukur standar adil, sekaligus nyaman bagi semua. Dalam syariat kita begitu akad tertunaikan dengan sah, maka hak istri setara tak beda istri tua dan muda, apalagi terkait warisan. Istri pertama yang menikah tiga puluh tahun akan punya “jatah waris” yang sama dengan istri kedua yang baru tiga puluh hari menikah. Jadi sederhananya, kalau gaji, tunjangan dan fasilitas yang kita berikan pada para istri saat ini masih standar UMR, maka rasa-rasanya perbincangan tentang poligami masih akan terasa mengasyikkan, tapi menjadi mumet ketika benar-benar dipraktekkan.

Akhirnya sekali lagi, soal poligami adalah soal syarat dan ketentuan berlaku. Tiap orang bisa berbeda permasalahan dan berbeda solusinya. Saya pun di sini tak hendak menghakimi apalagi merekomendasikan. 

Kalau ada yang bertanya bagaimana sikap saya terkait poligami ?. Jujur saja secara pribadi belum ada niat dan keinginan. Tema pendidikan anak-anak, investasi akhirat, serta agar sehat dan survive dari pandemi tentu lebih mendominasi fikiran dan perhatian saat ini. Namun entah kapan, jika sang istri tampaknya membutuhkan mitra dan teman untuk berbagi dan melayani, lalu menawarkan sepenuh keikhlasan … maka saya hanya bisa menjawab dengan lantunan tembang lawas : “ Kamulah satu-satunya, yang ternyata mengerti aku …… “ . 

Dan setelah itu tak berapa lama satu doa segera menyusul terucap  “ alhamdulillahilladzi ahyaanaa bakda maa amatanaa wa ilaihii nusyuur “.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar