10 Okt 2017

Ada Apa dengan Poligami Ustadz Arifin Ilham ?

Berita poligami hari ini selalu berbuntut kontroversi dan keributan diskusi ala dunia maya. Apalagi jika dilakukan oleh seorang ustadz, terlebih bukan untuk pertama kalinya. Maka serangkaian komentar berbau nyinyir dan tuduhan pun banyak diluncurkan. Dari yang mencoba menanyakan dari sisi sejarah Islam masa Rasulullah, hingga menanyakan bahwa aktifitas “poligami” berarti senang-senang melupakan hakikat perjuangan membela Islam.  Karena beberapa komentar sudah mulai masuk pembahasan sensitif seputar bahasan keagamaan dan siroh Rasulullah SAW, maka ijinkan saya turut sedikit membahasnya secara “ringan”.

Pertama, Kenapa tidak Poligami dengan Janda Tua sebagaimana Rasulullah SAW?

Barangkali bagi sebagian besar kalangan emak-emak, yang menjadi penting adalah seputar dengan siapa sang ustadz berpoligami. Ketika istri ketiga sang ustadz terlihat masih muda dan cantik, maka usianya yang sudah 37 tahun dengan status janda beranak dua pun tak lagi menjadi penting dibahas. Bermunculan lah komentar yang menyatakan bahwa kalau mau mengikuti Rasul mestinya menikah dengan janda-janda tua sekelas nenek-nenek. Bukan dengan yang masih “terlihat” muda dan cantik. Maka komentar pernikahan berdasar nafsu pun menjadi bumbu baru penyedap diskusi yang makin kemana-mana.

Yang menyatakan bahwa kebanyakan istri-istri Rasulullah SAW dulu dinikahi dalam usia nenek-nenek adalah jelas salah. Justru sebaliknya, yang dinikahi oleh beliau dalam usia tua hanya satu yaitu Saudah binti Zam’ah, yaitu dalam usia 66 tahun.  Sementara yang lain dinikahi rata-rata pada usia yang tidak bisa dibilang tua, masing-masing : Khadijah binti Khuwailid pada usia 40 tahun, Hafsah binti Umar pada 21 tahun, Zainab binti Khuzaimah pada usia 30 tahun, Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayyah pada usia 27 tahun, Zainab binti Jahs pada usia 37 tahun, Juwairiyah binti Harits pada usia 15 tahun, Ummu Habibah pada usia 42 tahun, Shofiyah binti Huyai pada usia 17 tahun. Maimunah binti Harits pada usia 27 tahun. Semuanya memang dinikahi dalam status sebagai janda, hanya satu yang dinikahi beliau dalam status sebagai seorang gadis belia, yaitu Aisyah binti Abu Bakar ra. (lihat link sumber). Jelas bukan, usia para istri Rasulullah SAW dinikahi kebanyakan pada usia muda dan matang, bukan pada usia nenek-nenek.

Bagi yang selalu nyinyir dengan Islam, tentu saja mendengar data di atas langsung bersemangat dan mempunyai amunisi bahwa pernikahan Rasulullah SAW adalah berdasar nafsu semata. Perlu diketahui bahwa seluruh fase poligami Rasulullah SAW yang penuh hikmah dan hujjah beliau lakukan pada usia yang tak lagi “muda” yaitu antara umur 52 tahun hingga beliau wafat pada 63 tahun. Sehingga praktis dalam usia 25 tahun hingga usia 52 tahun ( 27 tahun pernikahan) beliau hanya memiliki satu istri yaitu ibunda Khadijah. Semestinya kalau karena nafsu, sejak usia muda tentu beliau sudah berpoligami, bukan menunggu saat usia kakek-kakek. Jadi yang menuduh pernikahan Rasulullah SAW berdasarkan nafsu, lebih baik langsung kembali nyebur ke kolam saja.
Tambahan juga, secara umum pernikahan adalah cara menyalurkan nafsu fitrah manusia sesuai syariah. Jadi kalau ada pernikahan “tanpa nafsu” alias seseorang yang tak punya kemampuan seksual atau tak berminat sama sekali nekat menikah, justru itu salah satu bentuk kezaliman terhadap pasangan yang dilarang syariah.

Kedua, Kenapa Poligami sang ustadz harus diumbar ke khalayak Umum ?

Hal berikutnya yang mengundang komentar bertebaran adalah karena inisiatif sang ustadz – juga istri pertamanya- untuk “mengumumkan” pernikahan ketiga ini ke khalayak ramai via dunia maya. Momen-momen indah pun dipertotonkan, dari mulai pengajian bersama, makan bersama hingga foto akur berempat bersama. Tentu saja banyak yang khawatir kampanye kemesraan poligami ini akan menginspirasi para suami di rumah yang awalnya takut menjadi agak ragu-ragu. Di lain pihak, yang biasa menuduhkan poligami sebagai “perusak kebahagiaan rumah tangga” tentu menganggap foto-foto tersebut berbahaya bagi misinya mendiskredikan ajaran Islam selama ini.

Saya melihat dari sisi pertama, mengumumkan pernikahan ke khalayak ramai, adalah bagian dari ajaran Islam yaitu bentuk memberitahukan kabar gembira “tahadduts bin nikmah”. Pernikahan sejatinya adalah nikmat kebahagiaan perjodohan yang dianugerahkan oleh Allah SWT, dengan dijadikan diantara mereka rasa mawaddah dan rohmah. Maka poligami juga anugerah kebahagiaan bagi seseorang yang terpilih dan mampu menjalankan hak kewajibannya dengan baik.

Adapun khitbah, para ulama menganjurkan untuk dirahasiakan karena masih ada kemungkinan ditolak atau diterima yang berhubungan erat dengan nama baik seseorang dan keluarganya.  Begitu pula khitbah dirahasiakan untuk menjaga perasaan para mantan sekaligus menghindar dari teror dan rongrongan mereka. Siapa tahu diantara para mantan ada yang mendadak psikopat dan punya keyakinan dengan jargon “pantang menyerah sebelum janur kuning melengkung” atau “ kalah rupo menang dupo”, misalnya.

 Adapun dari sisi kedua, adalah menghindarkan fitnah dan suuzhon pada hati seseorang. Bisa kita bayangkan jika suatu ketika sang ustadz jalan mesra bersama dengan seorang wanita yang tidak diketahui siapa dia, bukan istri pertama dan bukan pula kedua. Sejurus kemudian ada yang sok paparazi lalu iseng mengabadikan dan mengirimkan ke admin IG Lambe Turah, maka keesokan harinya diperkirakan akan menjadi gosip tak berkesudahan di dunia maya maupun infotainment media televisi.  Beberapa bahkan akan segera menyusun berita atau chat hoax untuk memperparah keadaan, sekaligus momentum melecehkan seorang ustadz.

Sejatinya, menyampaikan pernikahan akan menghindarkan persangkaan buruk dari teman-teman yang tulus, meski tetap tak bisa menghindarkan nyanyian nyinyir mereka yang tak suka sejak awal. Jangankan seorang ustadz biasa, bahkan Rasulullah SAW sang manusia termulia pun mencegah kemungkinan-kemungkinan asumsi buruk terlintas dalam pikiran sahabatnya. Diriwayatkan dalam hadits Muttafaq Alaih, ibunda Sofiyah ketika itu mengunjungi Rasulullah SAW yang sedang itikaf. Setelah selesai bercakap-cakap, Rasulullah SAW pun mengantar pulang sang istri dalam kegelapan. Mereka bertemu dengan dua orang anshor dari kejauhan yang terlihat mempercepat langkah, entah karena segan atau enggan. Maka Rasulullah SAW pun membuat “pengumuman” untuk mengklarifikasi, dengan menyatakan : “Pelan-pelanlah, sesungguhnya wanita ini adalah Shofiyah binti Huyay (istriku).”. Kedua Anshor tersebut mengucapkan “ Subhanallah ya Rasulullah”, sebagai pertanda mereka tidak bermaksud apa-apa dan tidak menyangka buruk terhadap Rasulullah.  Maka Rasulullah SAW menegaskan alasannya : “Sesungguhnya setan menyusup dalam diri manusia melalui aliran darah. Aku khawatir sekiranya setan itu menyusupkan kejelekan dalam hati kalian berdua.” (HR Bukhori Muslim).

Sisi lain, bahwa pengumuman pernikahan poligami ini sejatinya menunjukkan pada khalayak ramai, bahwa pernikahan ini bukanlah satu aib, dosa apalagi kemaksiatan yang harus ditutup-tutupi, dan membuat seorang malu saat orang lain mengetahui dia menjalankannya. Jelas sama sekali bukan. Ini juga sebuah pernikahan indah sebagaimana orang-orang banyak mengupload foto-foto pernikahan pertama mereka.   

Ketiga : Apakah Poligami seorang ustadz berarti bermewah-mewahan, bersenang-senang dan melupakan perjuangan ?

Komentar yang lain adalah menuduh bahwa pernikahan sang ustadz sampai ketiga kalinya adalah bentuk bersenang-senang, bermewah-mewahan dan melupakan hakikat perjuangan membela Islam yang senantiasa digaungkan oleh sang ustadz. Untuk menjawab seputar kemewahan dan pemborosan kaitannya dengan poligami, maka perlu diperjelas bahwa poligami jelas bukan bentuk kemaksiatan. Terminologi pemborosan disampaikan oleh banyak mufassir, dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan perkataan Mujahid : “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Seandainya seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang dinamakan tabdzir (pemborosan).” Lebih lanjut disebutkan juga tafsiran Qotadah : “Yang namanya tabdzir (pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”. Maka jelas berpoligami dan menafkahi istri bukanlah suatu pemborosan apalagi jalan kemaksiatan.

Seringkali memang kita mengukur orang lain dengan baju kita. Dalam keseharian mungkin banyak yang menjalani pernikahan dengan satu istri saja sudah terengah-engah dalam masalah waktu, fikiran dan tenaga. Lalu kemudian mereka terjebak bahwa tidak mungkin orang bisa menjalani pernikahan hingga beberapa kali kecuali benar-benar memaksakan diri, karena melihat kemampuan diri mereka pribadi. Lantas bagaimana dengan Nabi Sulaiman yang dijelaskan dalam beberapa hadits Shahih memiliki istri banyak sekali, hingga mencapai bilangan 99 istri bahkan lebih. Ditambah keterangan juga bahwa beliau sanggup mendatangi istri-istrinya dalam waktu semalam saja ? Bagi kapasitas kita mungkin itu tak akan pernah bisa tergambarkan, dari sisi nafkah, pembagian waktu dan lain sebagainya. Tapi tidak bagi seorang Nabi Sulaiman yang Allah SWT berikan anugerah banyak kelebihan.

Kemudian jika ada yang menyandingkan pernikahan poligami sebagai bentuk bersenang-senang dan melupakan hakikat perjuangan. Cukuplah Rasulullah SAW adalah sebaik contoh dan jawaban dalam masalah ini. Beliau adalah seorang yang seluruh kehidupannya adalah perjuangan, dan fikirannya tak pernah berhenti memikirkan masa depan umatnya, namun semua itu beliau lakukan dengan baik nan sempurna, dengan memiliki istri-istri terbaik yang mendampingi dakwahnya.

Atau barangkali kita perlu bukti sosok lain yang cukup dikenal di negeri ini, beliau adalah bung Karno salah satu founding fathers negeri ini yang juga berpoligami. Dalam suasana hiruk pikuk penjajahan dan masa revolusi kemerdekaan, bahkan juga masa banyaknya pemberontakan di negeri ini, pada rentang waktu itu bung Karno tetap menjalankan poligami, meski dengan sekian kontroversi. Jadi sekali lagi, jangan ukur orang lain dengan baju sendiri.

Akhirnya, tiada niatan membela membabi buta atas diri seseorang yang tak maksum dari dosa dan cela. Namun tulisan ini hanya sebagai wujud keprihatinan atas pandangan nyinyir berlebihan yang kemudian diaminkan oleh banyak orang, sehingga ujung-ujungnya mencela satu syariat yang nyata dibolehkan bagi mereka yang mampu.  Wallahu a'lam bisshowab

6 komentar:

  1. Cowok yg nyinyirin poligami ada 3 kemungkinan. Kemungkinan pertama (maaf) anu nya kurang kenceng kalo berdiri, kedua, mungkin yg nyinyir ini seorang gay alias homo bin hombreng. Dan yg ketiga, kemungkinan yg nyinyir ini lebih suka berzina.

    BalasHapus
  2. maka hendaklah orang orang beriman mengurangi konsumsi micin, karena kebodohan itu tiada batas

    BalasHapus