21 Jun 2018

5 Alasan Kita Harus Meriahkan Juga Idul Adha, No 4 bikin Kita menangis

Budaya menyambut Idul Adha di negara kita memang berbeda dibanding saat Idul Fitri. Meski keduanya adalah sama-sama anugerah bagi kaum muslimin untuk berkumpul dan bergembira, namun kenyataannya kita terlampau jauh pilih kasih membedakan keduanya. Di jalanan saja jelang Idul Adha, nyaris tak satupun ketemu spanduk ucapan selamat Idul Adha, yang ada malah beberapa baliho besar masih gagah mengucapkan selamat Idul Fitri. Memang soal menyambut hari raya lebih kental nuansa kebiasaan dan budaya. Sebagaimana di Mesir pun Idul Adha disambut sedemikian rupa lebih besar dan meriah dibanding Idul Fitri, maka di negara kita hal yang terjadi sebaliknya.

Lalu jika penyambutan adalah satu budaya, maka sebenarnya tidak ada alasan juga mengapa kita tidak menyambut Idul Adha dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang sama.  Setidaknya, budaya ini bisa dimulai dan dibiasakan agar pada tahun-tahun ke depan bisa lebih meriah atau bahkan sama dengan saat Idul Fitri.  Bukankah Ramadhan & Idul Fitri juga menjadi lebih semarak dan heboh karena kerja-kerja media dan bisnis yang menyemarakkannya, bahkan dari budaya menuju ke arah “festivalisasi”.

Hakikat lebaran adalah bergembira bersama. Ada pepatah berakit-rakit kehulu, berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Mungkin kebahagiaan Idul Fitri lebih terasa, karena diawali dengan “bersakit-sakit” saat Ramadhan sebulan penuh dengan aneka ibadahnya. Sejatinya demikian pula Idul Adha, ada sepuluh hari awal Dzulhijjah yang tak kurang mulia, bahkan sebagian ulama menyebutkan sebagai hari-hari terbaik, dan lebih utama dibanding Ramadhan, kecuali sepuluh hari akhir Ramadhan yang menyimpan malam Lailatul Qadar. 

Hari-hari Dzulhijjah juga dihiasi dengan aneka amal kebaikan yang dicintai Allah SWT, dan ada juga hari Arofah untuk memanjatkan doa-doa dan berpuasa. Sungguh tak kurang dalil tentang keutamaan Dzulhijjah dengan berbagai pembahasan amal-amal di dalamnya yang tak cukup semua diulas disini. Cukup bisa kita renungkan hadits dari Abu Bakrah ra, Rasulullah SAW bersabda : “ Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak akan berkurang. Keduanya dua bulan hari raya: bulan Ramadhan dan bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari dan  Muslim).

Di Mesir sendiri kenapa Idul Adha juga relatif disambut lebih meriah. Ternyata karena masyarakat disana sejak awal juga telah mempersiapkan melalui syiar awal dzulhijjah dengan banyak agenda dan amalan. Beberapa waktu yang lalu seorang teman asli Mesir bercerita bagaimana dia, keluarga dan masyarakatnya berpuasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah. Dan bagaimana pada hari-hari itu masjid juga dipenuhi dengan mereka yang mau beribadah dan itikaf. Dan yang jelas mereka pun mudik berkumpul keluarga saat Idul Adha, bukan Idul Fitri.

Lima Alasan Hari Raya Idul Adha Harus Meriah

Sebenarnya jika kita telaah lebih mendalam, ada empat hal yang menjadikan Idul Adha berpotensi untuk dimeriahkan dengan lebih layak, bahkan lebih baik dari Idul Fitri. Empat hal tersebut adalah :

Pertama, Hari Raya Idul Adha  bagian tak terpisahkan dari ibadah haji. Hari itu jutaan umat muslim berkumpul seluruh dunia di tanah suci. Sejatinya kita layak bergembira dan lega karena di hari itu kita bergembira dengan kesuksesan saudara-saudara kita yang berhaji karena telah melampaui inti ibadah haji yaitu wukuf di Arafah.

Kedua, dalam hari raya Idul Adha disyariatkan penyembelihan hewan qurban, yang berarti menunjukkan perlunya persiapan pendanaan jauh-jauh hari. Serta juga berarti bahwa pada hari itu ada hidangan spesial daging qurban yang nikmat dan membahagiakan. Suatu hal yang saat Idul Fitri tidak secara khusus disyariatkan.

Ketiga, adanya hari tasyrik tiga hari untuk melengkap kebahagiaan hari raya, bahkan didalamnya kita tidak boleh berpuasa. Dari Nubaisyah Al Hudzali, Rasulullah SAW bersabda : Hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no. 1141). Ini berarti isyarat untuk melanjutkan kebahagiaan berkumpul, makan dan minum bersama keluarga secara lebih lama. Jauh lebih lama dari Idul Fitri yang kita hanya diharamkan berpuasa selama satu hari saja pada 1 Syawal semata.

Keempat, jika lantunan Takbiran adalah syiar hari raya yang dinanti-nanti dan menjadi sangat berkesan nan mengharukan di hari raya, maka sungguh momentum dan kesempatan bagi kita melantunkan takbir membentang lima hari lamanya, sejak fajar hari Arofah hingga akhir hari Tasyriq. Silahkan bandingkan dengan Idul Fitri yang hanya dibatasi dari magrib awal syawal hingga Imam dimulainya sholat Ied.

Kelima, secara penyebutan dan penyambutan di beberapa tempat, justru hari raya Idul Adha memang lebih terlihat harus lebih meriah. Secara sebutan di Jawa misalnya, Idul Adha disebut dengan Hari Raya Besar. Begitu pula di Mesir, disebut dengan Ied Akbar, sementara Idul Fitri disebut dengan Ied Ashghor. Di Timur Tengah penyambutan Idul Adha jauh lebih besar dari Idul Fitri, bahkan di Malaysia sekalipun, libur Idul Adha disamakan dengan Idul Fitri. Adapun di Indonesia sendiri, beberapa daerah seperti Madura sudah sejak awal mempraktekkan sebagai tradisi tersendiri dalam memeriahkan Idul Adha. Tradisi mudik saat Idul Adha di Madura sering disebut dengan Toron.

Akhirnya setelah semua renungan dan bahasan di atas, jawaban dari pertanyaan mengapa Idul Adha tak mendapatkan sambutan yang layak dan meriah, tak lain dan tidak bukan karena kita sendiri yang tak bersegera untuk memulai mensyiarkan dan membudayakannya. Memang butuh waktu dan proses untuk itu, tapi harus dimulai agar 10 atau 20 tahun lagi anak-anak kita bisa menikmati suasana yang lebih indah saat ber-Idul Adha.

Banyak syiar Islam yang membutuhkan waktu untuk menjadi populer nan meriah. Membutuhkan proses namun hasilnya pun paten nan indah kita nikmati hari ini. Busana jilbab pada masa orde baru 80-an hampir bisa dikatakan sangat aneh, terlebih lagi bagi istri pegawai dan pejabat. Hanya ibu-ibu pengajian dan dekat pesantren yang menggunakannya. Namun hari ini kita lihat begitu marak, bukan hanya istri pejabat namun polwan dan Kowad juga tak ragu mengenakannya. Begitu pula dengan i’tikaf akhir Ramadhan, tak banyak kita temui 20 tahun yang lampau. Namun hari ini syiar itikaf dimana-mana, bahkan dibuka oleh pejabat sekelas bupati bahkan Gubernur sekalipun.

Begitupula kebiasaan menghafal Al Quran, dahulu semacam hak ekslusif bagi anak pesantren semata. Hari ini banyak program tahfidz dibuka, bahkan menjadi acara TV populer yang dinantikan setiap ramadhan. Banyak yang semangat menghafal AlQuran.

Maka kata kuncinya adalah, mari kita mulai mensyiarkan dan memeriahkan awal dzulhijjah dengan aneka kegiatan dan kebaikan. Tahun depan kita niatkan, dan semoga ada perubahan meski membutuhkan waktu panjang. Wallahu a’lam bisshowab


9 Dzulhijjah 1438 H

3 komentar: