9 Agu 2016

Konsultasi : Bolehkah Menerima Komisi dari Rekanan atau Pelanggan ?

PERTANYAAN : Assalamu alaikum. Afwan ust. Saya seorang  guru sekolah yang juga diamanahi sebagai kepala perpustakaan. Ternyata dari anggaran skolah yang saya belanjakan buku ke penerbit saya diberi komisi 5 % dan dari penerbit juga masih memberi  ke pihak sekolah dengan prosentase yang lebih besar. Apakah komisi 5% buat saya itu halal? Mengingat juga saya tidak mendapat honor atas amanah sebagai kepala perpustakaan. Jazakumullah khairon.

JAWABAN :
Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh
Terima kasih atas pertanyaannya yang sangat menarik sekali, mengingat sehari-hari permasalahan yang saudara hadapi tersebut bisa juga dialami oleh banyak orang, baik yang berbisnis, bekerja maupun mereka yang di birokrasi. Ada banyak istilah yang menggambarkan seputar fenomena tersebut, dari mulai risywah, hadiah, upah (komisi), hingga yang populer sekarang disebut dengan gratifikasi. Kita perlu mengkaji lebih mendalam masalah ini, agar tidak mudah mengharamkan dan menuduh sana-sini tanpa dalil, sebagaimana juga agar kita tidak terlalu menggampangkan masalah dengan membolehkan secara membabi buta.

Dalam masalah yang saudara sebutkan yaitu pengadaan barang,  berarti menunjukkan adanya transaksi jual beli, yang kemudian pihak penjual memberikan komisi. Maka disini terdapat tiga kemungkinan yang masing-masing bisa berbeda secara pandangan hukumnya.

Kemungkinan Pertama :  Broker atau Makelar
Kondisi seorang menjadi perantara, atau makelar/broker, dimana dia bukan dari pihak penjual atau pembeli, dan mempertemukan keduanya lalu mendapatkan komisi atas transaksi jual beli yang terjadi. Komisi itu bisa berarti dari pembeli, penjual atau bahkan keduanya.

Dalam syariat Islam akad perantara seperti ini disebut dengan samsaroh dan pelakunya disebut simsaar, dimana mayoritas para ulama menegaskan kebolehannya memperoleh upah/komisi atas pekerjaannya tersebut. Dalam kitab Al Mudawwanah, Imam Malik ketika ditanya tentang upah bagi simsar (broker) mengatakan : “tidak ada masalah dengan hal itu”. Imam Bukhori juga menjelaskan pendapat para ulama masalah ini, beliau menyebutkan  dalah Kitab Shahinya : “ Ibnu Sirin, Atho’, Ibrahim an-Nakh’i, Hasan al Bashri, mereka tidak melihat ada masalah dalam upah bagi Simsar (broker)”.

Pekerjaan samsaroh secara umum sebenarnya sangat bermanfaat, mengingat banyak orang tidak mengetahui dengan baik jenis dan kualitas suatu barang tertentu atau bahkan harga pasaran. Karenanya seorang broker/simsar yang baik semestinya adalah mereka yang ahli atau berpengalaman dalam jual beli barang tertentu.

Samsaroh ini bisa berasal dari permintaan pihak penjual, sebagaimana diungkapkan ibnu Abbas ra : “ Tidak masalah seorang mengatakan : (Tolong) Jualkan pakaian ini, yang lebih dari sekian sekian maka itu (komisi) untukmu “. Sebagaimana juga samsaroh bisa berasal dari permintaan pihak pembeli, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni : “ boleh seorang mempekerjakan/mengupah seorang simsar untuk membelikan baju baginya, boleh juga dengan batasan waktu tertentu, atau jika ia menjadikan setiap 1000 dirham komisi tertentu yang jelas, itu juga boleh.

Akad samsaroh ini menurut para ulama masuk dalam kategori akad ji’alah, yaitu semacam janji memberikan upah tertentu atas suatu pekerjaan tertentu, yang berdasarkan firman Allah SWT: “Penyeru-penyeru itu berkata, 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.'” (QS Yusuf : 72).

Kebolehan akad samsaroh ini juga harus diikuti dengan akhlak yang baik dalam menjalankannya, agar lebih berkah dan tidak merugikan salah satu pihak. Syaikh Sholeh Al Munajjid menjelaskan, “Hendaklah si broker (makelar) adalah orang yang paham terhadap info yang ia dapat dari penjual atau apa yang diinginkan pembeli. Sehingga dari sini ia tidak merugikan penjual atau juga pembeli, yang awalnya disangka ia punya info, tak tahunya hanya bualan belaka. Si broker juga harus memiliki sifat amanah dan jujur. Si broker tidak boleh hanya menguntungkan salah satu dari keduanya (merugikan lainnya). Jika ada ‘aib (kejelekan) dari produk yang dijual, ia harus menerangkannya dengan amanah dan jujur. Ia pun tidak boleh melakukan penipuan kepada penjual atau pembeli .

Kemungkinan Kedua : Utusan atau Wakil Insidental
Seorang pegawai atau karyawan swasta yang dimintai tolong atau ditugaskan oleh lembaga/perusahaan/organisasi untuk membeli barang tertentu ke suplier, lalu mendapatkan komisi dari pihak penjual/suplier. Perlu dicatat bahwa tugas ini bukan menjadi pekerjaan utama sang pegawai dimana ia digaji karena hal itu.

Maka dalam hal ini sang pegawai bertindak sebagai wakil dari perusahaan/instansi dimana ia ditugaskan. Dalam kaidah disebutkan bahwa seorang wakil tidak boleh bertindak selain yang diwakilkan kepadanya. Imam Syafi’I mengatakan : “Jika seseorang mewakilkan pada seorang yang lain dalam sebuah akad wakalah, dan tidak mengatakan bahwa wakilnya boleh menetapkan, negosiasi, menghapuskan atau menghadiahkan sesuatu, maka wakilnya tersebut tidak berhak untuk melakukan itu semua. Jika ia (wakil) melakukan hal tersebut, maka itu semua menjadi batal (tidak berlaku).”

Karena itu dalam kondisi ini, pemberian komisi bisa disamakan sebagai cash back atau diskon yang harus dilaporkan kepada lembaga yang memberinya tugas dengan transparan. Dengan kata lain, ketika  sang pegawai menerima komisi/hadiah dari suplier atas pengadaan barang yang telah ia fasilitasi, maka hukum boleh tidaknya berpulang atas ijin sang pemberi tugas, yaitu dari pihak lembaga atau instansinya.

Kita bisa mengambil inspirasi dari Kisah Muadz bin Jabal. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wassalam mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, kemudian pada pemerintahaan Abu Bakar , beliau mengirim Umar pada musim haji ke Mekkah. Ketika sedang di Arafah Umar bertemu dengan Muadz bin Jabal yang datang dari Yaman membawa budak-budak.
Umar bertanya kepadanya: “Itu budak-budak milik siapa ? “ Muadz menjawab : “ Sebagian milik Abu Bakar dan sebagian lagi milikku “. Umar berkata : “ Sebaiknya kamu serahkan semua budak itu kepada Abu Bakar, setelah itu jika beliau memberikan kepadamu, maka itu hakmu, tetapi jika beliau mengambilnya semuanya, maka itu adalah hak beliau ( sebagai pemimpin ).” Muadz berkata : “ Kenapa saya hartus menyerahkan semuanya kepada Abu Bakar, saya tidak akan memberikan hadiah yang diberikan kepadaku.“

Kemudian Muadz pergi ke tempat tinggalnya. Pada pagi hari Muadz ketemu lagi dengan Umar dan mengatakan: “Wahai Umar tadi malam aku bermimpi mau masuk neraka, tiba-tiba kamu datang untuk menyelematkan diriku, makanya sekarang saya taat kepadamu. “ Kemudian Muadz pergi ke Abu Bakar dan berkata : “ Sebagian budak adalah milikmu dan sebagian lain adalah hadiah untukku, tapi saya serahkan kepadamu semuanya.” Kemudian Abu Bakar mengatakan : “ Adapun budak-budak yang dihadiahkan kepadamu, saya kembalikan kepadamu

Dr. Ahmad Zain Najah mengomentari atsar di atas dengan mengatakan : “Atsar di atas menunjukan bahwa jika seorang pegawai di dalam menjalankan tugasnya mendapatkan hadiah, hendaknya dilaporkan secara transparan kepada lembaga yang mengirimnya. Kemudian apakah lembaga tersebut akan mengijinkannya untuk mengambil hadiah itu atau memintanya untuk kepentingan lembaga, maka ini diserahkan kepada aturan dalam lembaga tersebut”.

Contoh riil dalam hal ini misalnya : Seorang pengurus masjid yang ditugaskan oleh pengurus lainnya untuk membeli kambing kurban dalam jumlah yang banyak pada hari Raya Idul Adha oleh panitia Qurban, maka dia tidak boleh mengambil uang discount atau komisi dari penjual atas pembelian tersebut, kecuali harus melaporkan kepada pengurus secara transparan terlebih dahulu, dan menunggu kebijakan dari pengurus soal tersebut. 

Kemungkinan Ketiga : Pegawai menjalankan Tugasnya
Seorang pejabat, birokrat, pegawai negeri atau karyawan sebuah lembaga/perusahaan yang melakukan transaksi jual beli atau pelayanan sebagai bagian tak terpisahkan dari tugas utama dan kesehariannya, dan dia digaji karena hal tersebut. Maka ketika penjual atau konsumen memberikan komisi atau hadiah kepada yang bersangkutan, hukumnya haram menerima komisi/hadiah tersebut.

Hal ini berdasarkan riwayat shohih dari Rasulullah SAW dalam Bukhori Muslim : Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda : ” Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali. “ (HR Bukhori Muslim)

Para ulama memandang larangan menerima hadiah dalam hadist ini sebagai bentuk saddu dzariah atau pencegahan agar tidak masuk dalam delik risywah atau menyuap. Seorang petugas zakat atau pajak misalnya, dilarang menerima hadiah dari muzakki atau wajib pajak, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi dalam pelayanan dan mengurangi kewajiban sang wajib pajak. Begitu pula seorang Hakim dilarang menerima hadiah dari mereka yang bermasalah, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi dalam menetapkan hukum.  Imam Bukhori dalam salah satu babnya menyebutkan ungkapan Umar bin Abdul Aziz : “ Dahulu hadiah pada masa Rasulullah SAW adalah hadiah, tapi hari ini adalah risywah”.

Sebagian ulama membedakan antara hadiah dan risywah dari sisi kebiasaan, maksudnya adalah jika seorang memberi hadiah pada seorang hakim atau pejabat adalah sebuah kebiasaan sejak dahulu karena hubungan antar pribadi, jauh sebelum yang diberi hadiah menjabat jabatan tertentu, maka hukum hadiah tersebut menjadi boleh. Ada juga yang melarang sepenuhnya dalam hal ini untuk kehati-hatian. 

Barangkali menarik juga untuk dicermati perbedaan penyikapaan pada atsar dari Muadz bin Jabal, dengan hadits Rasulullah SAW tentang penarik pajak. Hal ini bisa dianalisa sebagai berikut : Muadz bin Jabal diutus Rasulullah SAW bukan dalam konteks penarik pajak secara khusus, tetapi sebagai utusan Rasulullah SAW sekaligus dai secara umum menyebarkan keislaman di masyarakat Yaman, sehingga Abu Bakar melihat hadiah tersebut bisa diterima oleh Muadz kaitannya sebagai dai dan utusan Rasulullah SAW. Sementara pada hadits Rasulullah SAW, jelas pelarangan menerima hadiah karena terkait tugas khusus yang dibebankan yaitu menarik pajak, dimana mereka para amilin sudah mendapatkan bagian (nishob) tersendiri dari hasil pekerjaannya tersebut.

Karena itulah terkadang antara sektor pemerintah dan swasta atau bisnis, bisa berbeda cara pandang dan hukum terkait menerima komisi ini. Meski tidak seketat kaitannya dengan status birokrat dan pejabat negara, dalam sektor swasta dan bisnis, pelarangan menerima komisi atau hadiah atas pekerjaan yang sudah menjadi tugas utama seseorang juga diperlukan untuk mencegah dari hal-hal negatif. Misalnya : karyawan  akan lebih “pilih kasih” melayani para konsumen atau klien yang sering memberi hadiah, sehingga mengakibatkan standar pelayanan sangat subjektif dan turun standarnya, selain juga menumbuhkan sikap mengharap-harap hadiah yang akan menurunkan harga diri seorang muslim. Namun dalam konteks ini, bisa jadi memang lembaga atau perusahaan swasta mempunyai aturan tersendiri dalam hal ini karena merupakan suatu fenomena yang berulang dan terjadi terus-terusan, maka dikembalikan pada kebijakan dan aturan perusahaan yang disepakati, sebagaimana dalam kasus kedua di atas. 

Akhirnya, setelah kita membahas tiga kemungkinan seseorang menerima komisi atas jual beli pengadaan barang di atas, maka melihat apa yang Saudara tanyakan dimana Anda ditugasi untuk pembelian buku, sementara tugas sebagai kepala perpustakaan tidak mendapat honor secara khusus, maka lebih dekat pada kemungkinan kedua, yaitu hukumnya boleh atas ijin atau sepengetahuan pihak sekolah yang memberi Anda tugas. Jika pun harus diberikan pada pihak sekolah untuk kepentingan umum lainnya, maka Saudara harus patuh dan insya Allah terbuka rizki dari hal lain. Wallahu a’lam bisshowab

Hatta Syamsuddin, B.A., M.H.I

1 komentar: