8 Des 2015

Memilih Pemimpin berdasarkan Standar "Money Politik"


Menjelang pilkada salah satu yang sering mengemuka adalah perbincangan seputar “money politik” atau juga sering disebut dengan istilah serangan fajar. Fenomena ini terus berulang setiap kali ada pemilihan, dari pemilu, pilpres hingga pilkada. Bahkan di pemilihan kepala desa pun, soal bagi-bagi uang dan sembako bukan lagi hal yang dianggap aneh. Uniknya, ketika ada delik dan pembahasan soal “money politik”, pihak yang sering dianggap sebagai satu-satunya yang bersalah biasanya adalah pihak pemberi, calon kepala daerah atau calon anggota legislatif. Masyarakat yang menerima melihat hal tersebut sebagai sebuah kewajaran.

Padahal sebagaimana dikatakan, “ada gula ada semut”, tidak ada asap jika tidak ada api. Bagi sebagian pemilih yang “buta politik” dan tidak mengenal calon, atau yang apatis, maka standar mereka untuk memilih hanya berdasarkan siapa yang datang membawa uang atau membagi sembako. Itu saja. Sebagian masyarakat sudah sangat apatis dengan janji-janji, dan juga tak paham visi-misi pasangan, untuk mengenal lebih jauh terkadang sosialisasi juga tak menjangkau wilayah mereka.
Karenanya fenomena “no piro wani piro” sangat mungkin menjadi acuan sebagian masyarakat. Hari-hari ini mereka “stand by” menunggu dan menanti, jika ada yang memberi amplop berisi uang maka bersegara memilih. Jika tidak, maka tetap tinggal di rumah tak peduli apa yang harus dilakukan. 

Inilah yg kemudian mengundang para calon untuk merogoh kocek lebih dalam untuk menggerakkan mereka ke TPS agar memilih dirinya, tanpa alasan apapun kecuali sudah menerima amplop uang.
Sebagai bagian dari nasehat sesama muslim, maka kami mengingatkan bahwa sikap “nomor piro wani piro” itu, atau memilih calon pemimpin hanya karena sudah diberi uang “money politik” atau sembako, maka ternyata hal tersebut bisa membuat konsekuensi berat bagi kita di akhirat.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dimana Rasulullah SAW bersabda : ada tiga golongan di mana Allah SWT tidak akan memandang mereka pada hari kiamat, tidak pula mereka akan disucikan dan bagi mereka siksaan yang pedih, dan salah satu dari tiga kelompok tersebut adalah :
وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا سَخِطَ
seseorang yang tidak mengangkat dan memilih pemimpin kecuali oleh karena dorongan dunia, jika ia memberinya, maka ia ridha dan jika ia tidak memberinya maka ia marah (HR Bukhori)

Maka persoalan menerima uang money politik ternyata bukan urusan sederhana. Apalagi jika benar-benar kita menjadikannya sebagai standar dan alasan kita dalam memilih seseorang, maka ancaman siksaan akhirat ternyata telah menunggu di hadapan. Karenanya, mari satukan barisan untuk menolak pemberian “money politik” dari pasangan calon, jika perlu segera laporkan kepada pihak-pihak terkait. Sehingga harapan kita, fenomena “ada gula ada semut” ini tidak akan terus berkelanjutan pada pemilihan-pemilihan berikutnya.

Mari jangan jadikan pemberian harta sebagai standar memilih seorang kepala daerah, namun dari sisi kemampuan dan kepribadian. Kita bisa mengikuti petuah ulama, yang dihasilkan pada Sidang Ijtima’ Komisi Fatwa MUI di Padang Panjang tahun 2009, dimana salah satu kesimpulannya menyebutkan dengan jelas : Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shiddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kecerdasan (fathonah) dan MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN UMAT ISLAM, hukumnya adalah WAJIB.

Akhirnya, marilah menjadi seorang muslim yang cerdas dan sadar akan kewajibannya dalam memilih pemimpin. Jangan pernah ada keraguan untuk memilih pemimpin yang siap memperjuangkan kepentingan umat Islam, serta didukung dan diawasi oleh para ulama. Semoga Allah SWT memberikan keberkahan dan kemenangan.

sumber gambar : hariantangerang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar