15 Okt 2015

Romantisme Perjuangan : Dulu dan Kini

Apa yang kita terlintas dalam fikiran kita melihat gambar di atas ? Sebuah romantisme perjuangan yang sekilas mirip dengan yang sering kita saksikan di film-film yang mengupas tentang perang dunia. Tidak jauh berbeda, foto ini menggambarkan suasana kedatangan prajurit Siliwangi di Stasiun Yogyakarta, Februari 1948 karena perintah "hijrah" dari Panglima Besar Sudirman, sebagai bagian tak terpisahkan dari hasil Perjanjian Renville.

Kedatangan para prajurit itu disambut dengan penuh suka cita oleh gadis-gadis Jogja berkepang dua yang terlihat dari senyum manisnya nan lugu. Tidak ada cerita lebih lanjut apakah diantara mereka ada yang berjodoh dan melanjutkan episode romantisme perjuangan, sebagaimana juga tidak diketahui apakah para tentara siliwangi yang terlihat dalam foto itu juga "panjang usia' hingga bisa turut kembali ke kampungnya Jawa Barat, mengingat betapa berat waktu-waktu yang mereka hadapi saat itu, sebagaimana digambarkan dengan rinci oleh Haji Johanes Cornelis (HJC) Princen dalam bukunya "Gerilya yang Tak Pernah Selesai".

Romantisme Perjuangan juga menjadi tema menarik bagi Ismail Marzuki dalam menyusun lagu-lagu perjuangan. Lagu "Sepasang Mata Bola" yang juga mengambil latar stasiun kereta dan perjumpaan dua sejoli adalah salah satu yang paling indah dikenang. Presiden Soeharto menjadikan lagu itu sebagai salah satu favorit karena mengingatkan kisah cintanya dengan Ibu Tien. Begitu pula Presiden Habibie dengan terus terang mengakui dan suka menyanyikan lagu "sepasang mata bola". Lagu yang ditulis tahun 1946 tepat disaat perpindahan ibu kota dari Jakarta menuju Jogja, sebenarnya merekam "romantisme perjuangan" antara Ibu Rachmi dan Bung Hatta, yang saat itu mereka baru datang dari Jakarta, dan bung Hatta langsung turun menghampiri Sri Sultan HB IX yang telah menyambutnya, meninggalkan ibu Rachmi yang kemudian mencari-cari sang suami. Demikian setidaknya menurut Sri Edi Swasono, menantu Bung Hatta.

Episode "romantisme perjuangan " juga dialami oleh Bung Tomo, ia bertemu dengan istrinya Sulistina benar-benar saat masa pergolakan revolusi kemerdekaan. Sulistina adalah anggota PMI Malang yang harus bertugas ke Surabaya, dan disanalah mereka berdua bertemu. Bahkan akhirnya mereka pun menikah pada tahun 1947 dengan ijin dari korps nya Bung Tomo BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia) dengan perjanjian untuk tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-isteri sebelum ancaman terhadap kedaulatan Negara dan Rakyat dapat dihalaukan. 

Episode "romantisme perjuangan" Bung Tomo malah terus berlanjut hingga usia tua, dan diabadikan dengan rapi nan indah oleh sang istri dalam buku-bukunya, diantaranya “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan.” Diantara puisi-puisi itu ada sebait Indah yang berbunyi :
" Ini Hari Kartini, Dik!
Terbayang wajahmu nan cantik
Penaku kini henti sedetik
Terlintas semua jasamu
Sejak kita bertemu "

Hmmm .... saya yakin sepenuhnya, tentu sangat banyak kisah tentang "Romantisme Perjuangan" yang ditorehkan oleh banyak pejuang kita terdahulu, yang diantaranya bisa jadi adalah kakek dan nenek kita. Dari kisah-kisah itu kita belajar bahwa sebuah perjuangan dilakukan oleh manusia-manusia biasa yang penuh cinta, sebagaimana kita juga belajar bahwa sebuah romantisme tidak hanya terpaku pada masa-masa nan berlimpah kenyamanan dan kemewahan. Romantisme bisa kita upayakan dan ciptakan dalam setiap kondisi, bahkan dalam sebuah perjuangan.

Jika kita mengalami masa-masa kehidupan yang sulit nan terhimpit, atau "perjuangan" kita dalam menyebarkan kebenaran dan kebaikan menghadapi masa-masa gentingnya, - setelah berdoa kepada Allah- ingatlah ada seseorang yang menyediakan bahunya untuk disandari, tangan untuk digenggam, punggung untuk dipeluk. Bersama mereka ciptakan episode-episode baru "romantisme perjuangan", agar terus bersemangat menghadapi tantangan kehidupan.
Semoga Allah SWT memudahkan

sumber foto : http://www.kaskus.co.id/thread/5449bd7260e24bac338b4567/biarlah-foto-yang-berbicara/

1 komentar: