Jika pada artikel sebelumnya kita bicara tentang mental miskin pengemis jalanan, maka kali ini kita akan bicara tentang mental kaya. Mental miskin secara sederhana berbentuk dalam sikap pemalas, tak mau bekerja keras, dan lebih parahnya adalah mengharap belas kasihan, mengandalkan penghasilan dari meminta-minta dan yang sejenisnya. Adapun mental kaya, bisa saya gambarkan dari kejadian yang saya dapati kemarin malam.
Saat itu saya ada janjian dengan rekan di toko Gramedia, jalan Slamet Riyadi. Di trotoar depan toko, dengan posisi duduk santai kami berbicara tentang hal yang cukup serius. Tiba-tiba datang seorang bapak tua, usia sekitar 60-an tahun ketas mendatangi kami, ia membawa sebuah kaleng di tangannya. Pikiran negatif saya segera berkelebat membayang, ini pengemis jalanan yang bermental miskin padahal berpenghasilaan jutaan. Karena tema pembicaraan saya cukup serius, maka di awal saya sempat menangkupkan telapak tangan kanan ke arah dada sebagai bentuk penolakan yang halus. Bapak itupun hanya tersenyum dan melewati kami berdua yang masih asyik berdialog.
Lalu sekelebat kemudian saya berpikir bahwa bapak tadi bukan pengemis, dia hanya hendak menawarkan sesuatu. Lalu saya jadi teingat banyak tekad sebagian teman - setelah baca tentang mental miskin pengemis jalanan- , yaitu lebih baik membeli barang dari para kakek nenek tua yang mau berusaha, dari pada memberikan ke pengemis. Maka saya pun segera bangkit dan mendatangi bapak tadi, menanyakan apa yang dia jual di dalam kaleng kecilnya. Di bukanya tutup kaleng itu dengan tangannya secara perlahan, lalu dikeluarkannya bungkusan plastik kecil-kecil berisi kacang mete yang tak seberapa isinya. Mungkin per bungkus ukuran 7 x 5cm itu isinya hanya 4-5 butir kacang. Ketika saya tanya harganya berapa, beliau menjawab perbungkusnya Rp 1500,- dan jika beli Rp 10.000,- dapat 7 bungkus. Saya tak tau persis harga kacang mete, tapi saya berpikir akan membeli Rp 10.000 dan hanya mengambil barang 4 atau 5 bungkus mete saja, biar sisanya bernilai sedekah.
Ketika saya berikan selembar uang Rp 10.000, bapak tadi bersegera menghitung bungkus plastik berisi kacang mete untuk diberikan ke saya. Ketika pada hitungan 5 saya sudah berucap : " sudah pak ini saja gak papa " . Tapi nampaknya bapak tersebut tidak mempedulikan. Bahkan yang terjadi di akhir ia memberikan saya 8 bungkus, kelebihan satu bungkus dari yang semestinya sepuluh ribu mendapat 7 bungkus. Serta merta saya pun menanyakan : " Lho pak kok kelebihan 1 bungkus ? ". Bapak tua tersebut dengan senyum tulus mengatakan : " itu bonus buat mas, karena mas adalah pembeli ke-3 di malam hari ini ". Jebreeet !!! Ungkapan ringan bapak tadi bagi saya serasa tendangan Evan Dimas yang merangsek gawang lawan dan menggetarkan jaringnya dengan hebat. Betapa tidak, saya yang awalnya menaruh iba, membeli dengan niatan kasihan, dan ingin bersedekah dengan mengambil hanya 4 bungkus saja dari 7 bungkus yang seharusnya, ternyata malah bapak tadi dengan gagah menambahkan satu bungkus sebagai promosi, sekaligus bonus karena saya adalah pembeli ketiganya malam hari itu.
Bapak tua penjual kacang mete asongan itu saya yakin bermental kaya, meskipun kemiskinan seolah nampak dalam penampilannya yang sederhana. Dia sepertinya menolak kalau orang membelinya karena kasihan, maka ia beri pelajaran dengan mampu memberi bonus tambahan. Kalau pengemis jalanan bermental miskin dengan menolak pekerjaan dan meminta-meminta, maka mental kaya justru menolak pemberian karena belas kasihan, bahkan malah ingin memberi dan berbagi.
Pelajaran mental kaya dalam sejarah juga kita temukan dalam sosok Abdurrahman bin Auf. Saat hijrah ke Madinah, ia tinggalkan semua aset dan perdagangannya di Mekkah sehingga benar-benar memulai dari nol di negeri Madinah. Rasulullah SAW tak tinggal diam, dengan potensi kewirausahaannya, Rasulullah SAW berpikir untuk mempersaudarakannya dengan seorang saudagar Madinah, Saad bin Robi' agar Abduraahman bin Auf bisa mendapatkan modal untuk kembali memutar perdagangannya. Namun apa yang terjadi saat Saad bin Robi' menawarkan 50% aset yang dimilikinya ? Saad bin Rabi dengan tulus menawarkan : " Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh dari hartaku itu". Mental kaya Abdurrahman bin Auf mengisyaratkan untuk menolak tawaran modal nan ikhlas tadi, ia segera mendoakan keberkahan pada harta Saad bin Robi' dan berujar : Tunjukkan aku pasar Madinah. Mental kaya Abdurrahman bin Auf meyakini bukan soal modal, tapi soal kelihaian dan ketekunan dalam berdagang yang akan membuatnya sukses. Sejarah pun kemudian dengan indah membuktikan prestasi Abdurrahman bin Auf di bidang perdagangan, dengan aset total yang ditinggalkan sedikitnya 6,4 Trilyun menurut analisa dari riwayat Ibnu Hajar.
Semoga kita bisa berkaca dari mereka yang bermental kaya, baik yang tertulis dalam tinta emas catatan sejarah, maupun mereka yang ada di sekeliling kita, seperti pak tua penjual mete di depan Gramedia.
Saat itu saya ada janjian dengan rekan di toko Gramedia, jalan Slamet Riyadi. Di trotoar depan toko, dengan posisi duduk santai kami berbicara tentang hal yang cukup serius. Tiba-tiba datang seorang bapak tua, usia sekitar 60-an tahun ketas mendatangi kami, ia membawa sebuah kaleng di tangannya. Pikiran negatif saya segera berkelebat membayang, ini pengemis jalanan yang bermental miskin padahal berpenghasilaan jutaan. Karena tema pembicaraan saya cukup serius, maka di awal saya sempat menangkupkan telapak tangan kanan ke arah dada sebagai bentuk penolakan yang halus. Bapak itupun hanya tersenyum dan melewati kami berdua yang masih asyik berdialog.
Lalu sekelebat kemudian saya berpikir bahwa bapak tadi bukan pengemis, dia hanya hendak menawarkan sesuatu. Lalu saya jadi teingat banyak tekad sebagian teman - setelah baca tentang mental miskin pengemis jalanan- , yaitu lebih baik membeli barang dari para kakek nenek tua yang mau berusaha, dari pada memberikan ke pengemis. Maka saya pun segera bangkit dan mendatangi bapak tadi, menanyakan apa yang dia jual di dalam kaleng kecilnya. Di bukanya tutup kaleng itu dengan tangannya secara perlahan, lalu dikeluarkannya bungkusan plastik kecil-kecil berisi kacang mete yang tak seberapa isinya. Mungkin per bungkus ukuran 7 x 5cm itu isinya hanya 4-5 butir kacang. Ketika saya tanya harganya berapa, beliau menjawab perbungkusnya Rp 1500,- dan jika beli Rp 10.000,- dapat 7 bungkus. Saya tak tau persis harga kacang mete, tapi saya berpikir akan membeli Rp 10.000 dan hanya mengambil barang 4 atau 5 bungkus mete saja, biar sisanya bernilai sedekah.
Ketika saya berikan selembar uang Rp 10.000, bapak tadi bersegera menghitung bungkus plastik berisi kacang mete untuk diberikan ke saya. Ketika pada hitungan 5 saya sudah berucap : " sudah pak ini saja gak papa " . Tapi nampaknya bapak tersebut tidak mempedulikan. Bahkan yang terjadi di akhir ia memberikan saya 8 bungkus, kelebihan satu bungkus dari yang semestinya sepuluh ribu mendapat 7 bungkus. Serta merta saya pun menanyakan : " Lho pak kok kelebihan 1 bungkus ? ". Bapak tua tersebut dengan senyum tulus mengatakan : " itu bonus buat mas, karena mas adalah pembeli ke-3 di malam hari ini ". Jebreeet !!! Ungkapan ringan bapak tadi bagi saya serasa tendangan Evan Dimas yang merangsek gawang lawan dan menggetarkan jaringnya dengan hebat. Betapa tidak, saya yang awalnya menaruh iba, membeli dengan niatan kasihan, dan ingin bersedekah dengan mengambil hanya 4 bungkus saja dari 7 bungkus yang seharusnya, ternyata malah bapak tadi dengan gagah menambahkan satu bungkus sebagai promosi, sekaligus bonus karena saya adalah pembeli ketiganya malam hari itu.
Bapak tua penjual kacang mete asongan itu saya yakin bermental kaya, meskipun kemiskinan seolah nampak dalam penampilannya yang sederhana. Dia sepertinya menolak kalau orang membelinya karena kasihan, maka ia beri pelajaran dengan mampu memberi bonus tambahan. Kalau pengemis jalanan bermental miskin dengan menolak pekerjaan dan meminta-meminta, maka mental kaya justru menolak pemberian karena belas kasihan, bahkan malah ingin memberi dan berbagi.
Pelajaran mental kaya dalam sejarah juga kita temukan dalam sosok Abdurrahman bin Auf. Saat hijrah ke Madinah, ia tinggalkan semua aset dan perdagangannya di Mekkah sehingga benar-benar memulai dari nol di negeri Madinah. Rasulullah SAW tak tinggal diam, dengan potensi kewirausahaannya, Rasulullah SAW berpikir untuk mempersaudarakannya dengan seorang saudagar Madinah, Saad bin Robi' agar Abduraahman bin Auf bisa mendapatkan modal untuk kembali memutar perdagangannya. Namun apa yang terjadi saat Saad bin Robi' menawarkan 50% aset yang dimilikinya ? Saad bin Rabi dengan tulus menawarkan : " Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh dari hartaku itu". Mental kaya Abdurrahman bin Auf mengisyaratkan untuk menolak tawaran modal nan ikhlas tadi, ia segera mendoakan keberkahan pada harta Saad bin Robi' dan berujar : Tunjukkan aku pasar Madinah. Mental kaya Abdurrahman bin Auf meyakini bukan soal modal, tapi soal kelihaian dan ketekunan dalam berdagang yang akan membuatnya sukses. Sejarah pun kemudian dengan indah membuktikan prestasi Abdurrahman bin Auf di bidang perdagangan, dengan aset total yang ditinggalkan sedikitnya 6,4 Trilyun menurut analisa dari riwayat Ibnu Hajar.
Semoga kita bisa berkaca dari mereka yang bermental kaya, baik yang tertulis dalam tinta emas catatan sejarah, maupun mereka yang ada di sekeliling kita, seperti pak tua penjual mete di depan Gramedia.
Inspiratif...
BalasHapus