15 Sep 2013

Fiqh dan Adab Menyambut Kelahiran (Bagian 3 - Habis)

5.    Memberikan Nama
Sebagaimana hadits terdahulu, disunnahkan juga pada hari ketujuh memberi nama bayi dengan nama yang baik. Hal ini disebabkan bahwa nama bukan sekedar ciri identitas seseorang namun juga memuat harapan dan doa terhadap bayi tersebut di masa depannya. Karena itulah Rasulullah SAW beberapa kali mengganti nama bayi yang dirasa buruk dan tidak mencerminkan doa yang baik. Dalam riwayat Bukhori, Rasulullah SAW bertanya pada seseorang, "Siapa namamu?" Aku jawab, "Hazin." (kesedihan) Nabi berkata, "Gantilah Namamu  dengan Sahl. (kemudahan)". Orang tadi menolak dan berkata, "Aku tidak akan merobah nama pemberian bapakku." . Maka dikisahkan bahwa orang tersebut senantiasa bersikap keras . Dalam riwayat lain juga disebutkan Rasulullah SAW merekomendasikan beberapa nama dan juga melarang beberapa nama. Dari Ibnu Umar Ra ia berkata: Rasululloh SAW bersabda, "Sesungguhnya nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman" (HR. Muslim)

6.    Menyusui Bayi selama 2 tahun
Islam memuliakan bayi yang baru lahir dengan anjuran untuk dipenuhi kecukupan gizinya melalui ASI, Allah SWT berfirman : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, iaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf” (QS Al Baqoroh 233). Secara kesehatan sudah terbukti bagaimana manfaat dan kegunaan ASI bagi bayi, karenanya bagi para orangtua untuk berupaya kuat dan sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan tersebut, meskipun dengan cara menyusukan pada orang lain, khususnya dalam kondisi ibu bayi tersebut berhalangan untuk menyusui atau mengeluarkan ASI.  Bahkan juga disebutkan dalam riwayat shahih Ibnu Khuzaimah, tentang ancaman bagi wanita yang tidak mau menyusui anaknya tanpa alasan yang syar’i.

7.    Mengkhitankan Anak
Imam Ahmad meriwayatkan dari Syaddad bin Aus r.a., bahawa Nabi s.a.w. bersabda, “Khitan itu merupakan sunnah bagi kaum lelaki dan kemuliaan bagi kaum wanita.” Dalam hal ini tidak ada perbedaan signifikan seputar hukum khitan bagi anak laki-laki, dimana jumhur ulama menyatakan tentang wajibnya hal tersebut. Adapun bagi wanita, madzhab syafi’i menyatakan wajib sementara tiga imam yang lainnya menyatakan sebatas sunnah. Yang perlu diluruskan disini bahwa ada salahpaham yang menganggap bahwa khitan wanita yang disyariatkan adalah bentuk kedzaliman dan kekerasan terhadap anak. Ada hal berbeda antara yang disebutkan WHO sebagai FGM (Female Genital Mutilatoon) yang terlarang. Keduanya adalah hal berbeda, karena khitan wanita yang syar’i tidak menggambarkan hal tersebut. Bahkan secara prosedural, di Indonesia dikenal adanya Permenkes dan Fatwa MUI seputar hal tersebut yang mengatur dengan ketat teknis khitan wanita yang jauh dari kesan kekerasan dan kezaliman.

Akhirnya, bahasan diatas sebenarnya terlalu ringkas untuk bisa dimuat dalam artikel sederhana seperti ini. Masih banyak detil bahasan yang belum terangkum sehingga ada baiknya jika masing-masing kita meluangkan waktu untuk bisa mengkaji lebih dalam agar lebih bermanfaat dan yakin dalam pelaksanaannya. Wallahu a’lam bisshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar