4 Jun 2013

Film Sang Kiai : Membuka Sejarah Jihad Kaum Santri

Mengenal sejarah perjuangan bangsa kini tak lagi melalui buku-buku tebal biografi di pojok-pojok perpustakaan, namun juga melalui karya film anak-anak bangsa. Sederetan film telah dan akan dibuat yang mengisahkan tentang sosok pahlawan bangsa ini, sebut saja kisah KH. Ahmad Dahlan melalui film Sang Pencerah, yang sekarang sedang beredar yaitu Sang Kiai yang menceritakan tentang sosok Hadratus Syaikh KH. Hasim Asyari. Sebentar lagi kita juga akan menikmati  film tentang Putra Sang Fajar Soekarno, dan Panglima Besar Soedirman. Adapun  film "Jokowi" yang juga akan beredar, saya kira sangat jauh untuk masuk dalam kategori film sejarah dan kepahlawanan.

Belajar sejarah melalui film tentu jauh berbeda dengan menelaah lembaran dokumen-dokumen dan buku-buku sejarah yang barangkali mulai dilupakan masyarakat. Tapi sebagaimana kata pepatah tak ada rotan akar pun jadi. Bisa jadi memang generasi ini perlu disuntik dengan film-film sejarah dan perjuangan terlebih dahulu agar tertarik membaca buku-buku sejarah. Khusus untuk film sang Kiai, saya memiliki beberapa catatan ringan atau komentar seputarnya, yang semoga bisa menambah pelajaran juga bagi kita.

Pertama : Film Kaledioskop Perjuangan

Masa-masa yang dialami Hadratus Syaikh benar-benar merupakan masa krisis dalam republik ini, dari mulai masa penjajahan belanda, penjajahan jepang, hingga perang revolusi kemerdekaan. Maka film sang Kiai ini pun akhirnya berusaha mereka setiap bentuk detil perjuangan dan kejadian penting yang ada dalam tahun-tahun tersebut. Yang terjadi kemudian adalah, penonton dipaksa untuk melihat versi singkat dari lintasan sejarah yang ada, bahkan peristiwa demi peristiwa per hari-nya dalam kejadian pertempuran Surabaya November 1945. Bagi yang belum banyak menelaah sejarah tentu menjadi hal yang menarik mendapatkan paparan sejarah secara singkat, namun bagi penelaah sejarah tentu akan 'sedikit' kecewa karena peristiwa-peristiwa penting hanya tampil cepat secara permukaan saja. Tapi satu sisi yang saya catat, karena hal ini pulalah film Sang Kiai lebih terasa kental sisi film perjuangan daripada mengangkat sisi NU dan dunia kepesantrenan. Mungkin agak sedikit berbeda dengan film sang Pencerah yang banyak mengupas tentang sejarah Muhammadiyah. Harapan saya akan menikmati nuansa pesantren dalam film tersebut gagal karena hanya dalam tayangan-tayangan awal saja yang tak seberapa.  Bahkan mungkin jauh lebih terasa aura film pesantren yang kita temukan dalam Negeri Lima Menara.

Jika dimaksudkan film ini adalah biografi sang hadratus Syeikh tentu juga masih sangat minim, karena tidak digambarkan bagaimana masa muda saat pengembaraan ilmunya sebagaimana dalam sang Pencerah. Atau setidaknya juga gambaran perjuangan awal beliau saat mendirikan ponpes Tebu Ireng dan mendirikan Nadhlatul Ulama. Hal lain yang kurang ditampakkan adalah bagaimana banyaknya pemikiran dan diskusi KH Hasyim Asy'ari yang bahkan sudah berbentuk buku yang begitu banyak dan bermanfaat. Memang film sang Kiai ini lebih pas disebut film perjuangan santri daripada biografi hadratus syaikh.

Kedua : Sejarah Jihad Kaum Santri
Pada awal masa perang kemerdekaan saat negara dan tentara belum tertata sepenuhnya, sementara musuh telah benar-benar ada dihadapan mata, maka yang menjadi tumpuan untuk membangkitkan semangat rakyat bertempur tak lain adalah tak bukan para Kyai dan santri-santrinya. Inilah yang sekarang ini banyak dilupakan orang, bahwa sejatinya sejak awal para santri, kyai, dengan Brigade Hisbullah dan Sabilillah telah menyiapkan diri untuk bertempur membela tanah air dari musuh penjajah. Bahkan yang paling nyata adalah saat munculnya Resolusi Jihad yang berisi fatwa untuk berjihad mengusir penjajah yang dikeluarkan Hadratus Syeikh Hasyim Asyari pada tanggal 22 Oktober 1945. Bahkan yang tidak disampaikan dalam film tersebut, bahwa pada 9 November 45 sebagai bentuk balasan terhadap ancaman Inggris, Hadratus Syaikh kembali menekankan dan menguatkan wajibnya mengangkat senjata bagi mereka yang berada dalam radius 94 km dari Surabaya. Fatwa inilah yang menggerakkan rakyat dan santri dari sekitar Surabaya seperti Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, dan bahkan ke daerah-daerah yang lebih jauh seperti Probolinggo, Jember, Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Rembang, bahkan Cirebon, malam itu bergerak menuju Surabaya.

Hal inilah yang menyembabkan gelombang perjuangan rakyat yang terus menerus berdatangan mempertahankan Surabaya. Des Alwi dalam bukunya pertempuran Surabaya menuliskan kesaksian bahwa sejatinya tentara Inggris telah banyak menembak mati rakyat dalam pertempuran tersebut, tapi setiap kali berguguran datang dibelakangnya gelombang massa yang lebih banyak lagi, dan demikian seterusnya hingga benar-benar tentara Inggris dibuat kewalahan karenanya.

Akhirnya, secara umum film ini sangat padat karena memuat rangkaian peristiwa sejarah yang begitu banyak, meskipun hanya sekilas, termasuk perjuangan KH Zainal Musthofa yang akhirnya berakhir dengan ekskusi mati oleh pemerintahan Jepang. Film perjuangan sejarah ini nampaknya juga cukup berani untuk bermain di wilayah yang sensitif seperti tentang kematian Brigader Jendral Mallaby, -yang sampai saat ini telah banyak ditulis berbagai macam versi dan analisanya- dalam film ini dengan gamblang dilakukan oleh Harun sang Santri Tebu Ireng. Apakah ini sebuah keberanian membuka sejarah atau memang untuk mengidentifikasikan bahwa film ini tetaplah sebuah fiksi sejarah ? Wallahu a'lam bisshowab. 

1 komentar:

  1. mantap.. super sekali tulisannya.. kebetulan sya juga sdh pernah nonton filmnya, waktu awal2 rilis..

    harapan sya ke depan adalah:
    semoga ada film2 sejenis, terutama yg menggambarkan sosok tokoh NU..

    BalasHapus