6 Okt 2011

Optimalisasi Pengawasan Syariah di BMT (Bagian 3)

PROFIL PENGAWASAN SYARIAH DI BMT

Optimalisasi Pengawasan Syariah di BMT dimulai dengan mewujudkan Profil Pengawasan Syariah yang ideal dan legal. Setidaknya ada tiga unsur pokok yang harus mendasarinya, yaitu : sisi legalitas, kapasitas dan otoritas DPS KJKS/BMT.

Pertama : Legalitas Kedudukan Dewan Pengawas Syariah BMT
Dalam Ketentuan Umum Kepmenkop dan UKM no 91 tahun 2004 tentang KJKS, disebutkan pengertian : Dewan  Pengawas  Syariah  adalah  dewan  yang  dipilih  oleh  koperasi  yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota  dan beranggotakan alim ulama yang  ahli  dalam  syariah  yang  menjalankan  fungsi  dan  tugas  sebagai  pengawas syariah  pada  koperasi  yang  bersangkutan  dan berwenang memberikan  tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan  Dewan Syariah Nasional. 

Secara legalitas, kedudukan Pengawas Syariah dalam BMT/KJKS menjadi kuat melalui mekanisme keputusan rapat anggota. Keputusan Rapat Anggota ini bisa berarti mengesahkan nama yang diajukan, atau memilih dari beberapa yang diajukan, atau juga merekomendasikan kepada Pengurus untuk memilih seseorang untuk diangkat sebagai Dewan Pengawas Syariah. Atas dasar inilah, sebagai bentuk pertanggungjawaban maka di dalam Rapat Anggota Tahunan KJKS/BMT perlu adanya laporan tahunan dari sisi Pengawasan Syariah untuk memberikan catatan dan penilaian secara umum tentang kesesuaian operasional KJKS BMT dengan prinsip-prinsip  dan nilai syariah.

Selain memberikan laporan pada Rapat Anggota KJKS BMT, DPS juga secara legal mempunyai kedudukan tersendiri untuk melaporkan hasil pengawasannya kepada Pemerintahan dalam hal ini Kementrian Koperasi. Disebutkan secara jelas dalam Pasal 32 KepMenKop no 91 tahun 2004 , bahwa : Dewan Pengawas Syariah bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan usaha Koperasi  Jasa  Keuangan  Syariah  /  Unit  Jasa  Keuangan  Syariah    berdasarkan  prinsip-prinsip syariah dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Pejabat.

Kedudukan DPS menjadi kuat di hadapan  internal pengelolaan KJKS/BMT karena pada perkembangan berikutnya, laporan Dewan Pengawas Syariah KJKS BMT bisa menjadi pertimbangan utama bagi pejabat yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi atau bahkan membubarkan sebuah KJKS. Masih dalam peraturan yang sama, pada pasal 42 disebutkan : Pejabat berwenang membubarkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau koperasi yang  mempunyai Unit  Jasa Keuangan Syariah  jika Koperasi yang bersangkutan, berdasarkan penilaian Dewan Pengawas Syariah telah terbukti melanggar prinsip-prinsip syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Selain laporan pada Rapat Anggota dan Pejabat Pemerintahan, Dewan Pengawas Syariah KJKS BMT pada tataran ideal, secara legal merupakan wakil DSN MUI yang juga berkewajiban melaporkan kegiatan usaha serta perkembangan lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun. (Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI).  Kedudukan DPS KJKS BMT sebagai wakil DSN MUI tentu diawali dengan syarat bahwa sebelumnya nama DPS tersebut diajukan oleh KJKS untuk kemudian disahkan atau direkomendasikan oleh DSN-MUI. Ini adalah hal ideal yang pada tataran realita masih sangat sulit diwujudkan, kecuali nanti pada saat porsi fokus dan perhatian DSN MUI pada BMT atau KJKS meningkat lebih besar dari sebelumnya.

Kedua : Kapasitas Dewan Pengawas Syariah BMT
Profil ideal yang perlu diwujudkan dalam pemilihan DPS adalah kapasitas yang mumpuni untuk melakukan pengawasan syariah, karenanya beberapa regulasi menyebutkan kriteria alim-ulama sebagai syarat personil DPS. Dalam Standar Operasional Prosedur (KJKS) disebutkan : “Dewan Pengawas Syariah (DPS) harus terdiri dari para alim-ulama di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum di bidang “baytut tamwiil” (keuangan bank dan atau koperasi). Persyaratan lebih lanjut mempertimbangkan ketentuan Dewan Syariah Nasional (DSN). “

Untuk optimalnya pengawasan syariah di BMT, DPS setidaknya memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, antara fiqh dan ushul fiqh muamalah dengan ilmu ekonomi keuangan Islam modern. Hal yang menjadi permasalahan terbesar saat ini adalah, banyaknya KJKS BMT yang mengangkat DPS karena ketokohan dan kepopuleran di tengah masyarakat, bukan karena penguasaan keilmuannya di bidang-bidang tersebut. Tidak optimalnya pengawasan syariah dimulai dari kurangnya kapasitas personil DPS yang ada. Kemungkinan penyimpangan bisa terjadi pada dua kutub yang berbeda. Pada satu sisi mungkin terlampau bebas dengan membolehkan semua jenis akad dan transaksi tanpa meneliti lebih lanjut dasar syariah dan aplikasinya, atau pada sisi yang lain justru menghambat gerak laju KJKS BMT karena masih terpaku pada akad-akad klassik tanpa mencoba menelaah Fatwa-Fatwa terbaru dari DSN MUI misalnya. Kedua permasalahan ini sama berpotensinya mengurangi kepercayaan masyarakat pada sisi kesyariahan BMT.

Dalam klausul “Persyaratan lebih lanjut mempertimbangkan ketentuan Dewan Syariah Nasional (DSN) “, secara aplikatif bisa berupa rekomendasi secara khusus dari DSN-MUI ataupun mengikuti sertifikasi Dewan Pengawas Syariah yang juga secara rutin digelar oleh DSN MUI. Dalam Pedoman Rumah Tangga
DSN-MUI syarat pengangkatan DPS diperjelas dalam pasal yang menyebutkan :
-    Setiap calon anggota DPS dipilih dari para ulama, praktisi dan pakar di bidangnya masing-masing yang berdomisili dan tidak berjauhan dengan lokasi lembaga keuangan syari'ah yang bersangkutan.
-    Calon DPS dapat diajukan oleh lembaga keuangan syariah bersangkutan, sekurang-kurangnya satu orang disertai rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia untuk mendapat pengukuhan DSN.

Untuk konteks KJKS dan BMT yang berjumlah ribuan, maka syarat pengangkatan DPS melalui mekanisme rekomendasi MUI untuk mendapatkan pengukuhan DSN tentunya akan sangat sulit, kecuali pada masanya nanti dimana DSN-MUI sudah digelar di daerah-daerah untuk melayani pengawasan syariah di skala yang lebih kecil.  Maka hal yang paling memungkinkan saat ini adalah :
1)    DPS KJKS BMT mengikuti sertifikasi Dewan Pengawas Syariah yang secara rutin digelar oleh DSN-MUI dua kali pertahun. Meskipun Sertifikasi tersebut secara umum diperuntukkan oleh DPS BPRS, bukan tidak mungkin jika KJKS BMT bisa menembusnya mengingat Sertifikasi tersebut dilakukan secara terbuka.
2)    DPS KJKS BMT diharapkan meningkatkan kapasitas keilmuannya baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Secara formal dengan mengikuti perkuliahan paska sarjana ekonomi syariah misalnya, yang mulai marak di berbagai Universitas di Indonesia. Maupun secara formal dengan mengikuti pelatihan-pelatihan ekonomi syariah yang digelar asosiasi atau organisasi pegiat ekonomi syariah. Dengan demikian, basic keilmuan yang sudah dimiliki bisa terus dikembangkan untuk menyesuaikan problematika dan perkembangan ekonomi syariah terkini.

Ketiga : Otoritas Dewan Pengawas Syariah BMT
Meskipun DPS dipilih dengan persyaratan kapasitas keilmuan yang baik, namun itu tidak berarti DPS KJKS BMT mempunyai otoritas dan kewenangan dalam berfatwa. Karena fungsi mengeluarkan fatwa telah ditangani olehh DSN-MUI sejak awal, untuk mencegah terjadinya perbedaan fatwa yang ada antara DPS lembaga keuangan syariah, yang nantinya akan merugikan dan membingungkan masyarakat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa otoritas dan kewenangan pengawasan syariah tidak boleh keluar dari fatwa-fatwa yang sudah ada oleh pihak yang berwenang, bukan memutuskan fatwa tersendiri.
Hamzah Abdul Karim Hamad dalam Makalahnya  “ Riqobah Syar’iyyah fil Mashorif Islamiyah” menyebutkan, bahwa Pengawasan Syariah adalah: “Proses memastikan sejauh mana kesesuaian operasional Lembaga Keuangan Syariah dengan hukum-hukum syar’i sesuai Fatwa-fatwa dan Keputusan yang telah dikeluarkan pihak yang berwenang “. Pihak berwenang di Indonesia untuk masalah fatwa ekonomi syariah ada pada DSN-MUI.

Kewenangan dan otoritas DPS KJKS BMT diperjelas dalam Peraturan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor :  35.2/Per/M.Kukm/X/2007 Tentang Standar Operasional Prosedur KJKS, yang menyebutkan identitas Jabatan DPS antara lain :
-    Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan yang dibentuk untuk melakukan fungsi pengawasan kesyariahan. Oleh karena itu badan ini bekerja sesuai dengan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia, dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN)
-    Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN dalam rangka kesesuaian produk atau jasa KJKS dan UJKS Koperasi dengan ketentuan dan prinsip syariah Islam.

Maka DPS KJKS BMT tidak mempunyai otoritas untuk berfatwa dalam pengesahan sebuah produk atau akad baru, namun hanya menterjemahkan Fatwa-fatwa DSN MUI dalam aplikasi akad syariah di LKSnya. Ini sangat bersesuai dengan definis DPS dalam Ketentuan Umum KepMenkop & UKM no 91 tahun 2004 yang menyebutkan : Dewan  Pengawas  Syariah  adalah  dewan  yang  dipilih  oleh  koperasi  yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota  dan beranggotakan alim ulama yang  ahli  dalam  syariah  yang  menjalankan  fungsi  dan  tugas  sebagai  pengawas syariah  pada  koperasi  yang  bersangkutan  dan berwenang memberikan  tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan  Dewan Syariah Nasional. 

Adapun jika dalam temuan permasalahan di lapangan DPS KJKS BMT merasa perlu membuat sebuah produk baru yang bersifat benar-benar baru yang belum ada landasan fatwa dari DSN-MUI, maka dalam hal DPS KJKS BMT wajib untuk mengangkat rumusan tersebut agar mendapatkan pengesahan dari DSN. Yang dimaksud pengesahan ini tidak harus selalu berwujud Fatwa Pleno DSN namun juga pemberian Opini dari DSN-MUI.  Disebutkan dalam Pedoman Rumah Tangga DSN MUI, salah satu tugas pokok DPS Lembaga Keuangan Syariah adalah : sebagai mediator antara lembaga keuangan syariah dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari lembaga keuangan syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.

DSN-MUI juga menegaskan kewajiban DPS Lembaga keuangan syariah antara lain : DPS berfungsi sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada lembaga keuangan syari’ah wajib  mengikuti fatwa DSN, (dan) merumuskan permasalahan yang memerlukan pengesahan DSN. (Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI)


Bersambung Bagian 4 : Tugas Pokok Pengawasan Syariah di BMT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar