1 Jun 2011

Berbagi Tausiyah untuk Aktifis Dakwah

"Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain". (Q.S. Al Insyirah: 7).

Waktu terus berjalan dan kerja-kerja dakwah pun terus menyeruak di hadapan seiring dengan bergantinya hari.  Tidak layak kita terlalu berlama-lama berhenti atas nama evaluasi atau mengambil jeda sejenak untuk beristirahat.  Amal dihadapan terlampau banyak untuk disebutkan, saatnya kembali menyiapkan barisan untuk menyambutnya, karena pada dasarnya setiap satuan waktu bagi seorang kader adalah potensi amal yang akan meningkatkan derajatnya di hadapan Allah SWT.

Sebelum kita melanjutkan amal, mari sedikit kita merenungi beberapa hal  agar kerja-kerja ke depan kita semakin baik dan cermat karena ditopang dengan pribadi-pribadi yang kuat secara pemahaman, kokoh dalam keyakinan akan kebenaran manhaj dakwah dan ikhwan. Ada beberapa hal yang harus disadari oleh seorang kader :

Pertama : Tidak lagi menuduh jama’ah dalam kondisi lemah dan syubhat dalam kebijakan-kebijakannya
Syekh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid dalam kitabnya “ Al-Awa’iq” berpesan :“ Perilaku pertama menyangkut kita aktifis gerakan islam, intinya adalah : agar kita tidak berlebihan dalam menuduh diri kita dengan berbagai macam kelemahan. Kita harus yakin bahwa kita berada dalam kebaikan yang sangat banyak atas karunia dan anugerah Allah SWT. Memang, kebaikan tidak lah sempurna, dan kita tidak bisa menyamai kaum salaf, akan tetapi kita adalah orang-orang yg membawa pelita keimanan. Apabila kita bersalah, maka keimanan itu akan memperbaiki kesalahan kita .

Ini bukanlah ghurur (terpedaya), juga bukan memamerkan sedikit amal yg kita persembahkan untuk islam. Akan tetapi metode tarbiyah yang mesti wajib kita terapkan, agar kita tidak terperosok pada kesalahan sebagian ulama zaman pertengahan, ketika mereka terlalu banyak menyebut rasa takut dan terlalu banyak menyebutkan bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang bisa membatalkan amal, sehingga manusia diliputi oleh keputus asaan yang berlebihan, karena mereka tidak membuka satupun pintu harapan yang akan mengimbangi rasa takut tersebut “

Hari ini selayaknya setiap aktifis dakwah menghentikan asumsi-asumsi negatif terhadap sebuah jamaah dakwah, tidak lagi menuduh jamaah telah keluar dari asholah, atau kebijakan-kebijakan qiyadah yang dipenuhi syubhat. Sikap-sikap itu hanya akan menghambat kerja-kerja dalam dakwah. Kita sudah mempercayakan orang-orang terbaik untuk memutuskan kebijakan dalam dakwah ini. Mereka pun telah berijtihad secara jama’I dalam menghasilkan keputusan-keputusan da’awi dan siyasi.  Karenanya tidak layak setiap kader masih harus berfikir secara infirodi dalam menyambut setiap kebijakan dakwah dan jamaah. Karakteristik keputusan dalam wilayah ijtihad memang selalu menghasilkan polemik, tapi kita tidak sedang dalam posisi yang layak berpolemik dalam masalah ini. Hendaknya kita memahami sebuah kalimat hikmah :

" ليس العاقل هو الذي يعرف الخير والشر , ولكن هو الذي يعرف الخير بين الشرين "
“ Seorang yang pandai (berakal) bukanlah mereka yang mengetahui antara baik dan buruk, tapi yang mengetahui yang paling  baik di antara dua keburukan “

Kedua : Memahami hakikat istiqomah dalam amal serta menjauhi berdiam diri (menganggur) dalam amal
Setiap aktifis dakwah hendaknya memahami bahwa salah satu ajaran Islam adalah istiqomah. Tidak ada jeda dalam melakukan amal kebaikan, karena waktu terus berjalan. Karenanya cukup jelas pesan dalam surat Al-Insyiroh :  Faidza faroghta fanshob !. Jika kita lihat lebih dalam lagi, betapa syariat Islam menginginkan kondisi istiqomah dalam setiap amalan, nyaris tidak ada celah untuk berhenti dalam beramal –kecuali oleh hal-hal yg ditentukan syar’i.  Kita bisa membaca karakteristik istiqomah melalui dalil tentang amal-amalan berikut ini, misalnya :
  • Anjuran untuk berjihad dalam berbagai kondisi. (QS At-Taubah : 41)
  • Anjuran untuk berinfak dan sedekah dalam berbagai kondisi. (QS Ali Imron : 134 )
  • Anjuran untuk berinfak di setiap waktu. (QS Al Baqoroh : 274)
  • Anjuran untuk berdzikir setiap saat sepanjang hari. (QS Thahaa 131 )
  • Anjuran untuk berdzikr dalam berbagai keadaan. (QS Ali Imron 191 )
  • Anjuran untuk tak kenal lelah dalam berdakwah. (QS Nuh 5 )
Begitupula kita dapati makna istiqomah dan berkelanjutan dalam kisah perang ahzab, betapa kemenangan yang diraih oleh kaum muslimin tidak serta merta mengantarkan mereka pada kenyamanan dan jeda istirahat yang panjang. Tetapi yang ada bahkan perintah untuk segera melanjutkan jihad menuju perkampungan bani quraidhah.

Dengan demikian, dakwah sebagai bagian tak terpisahkan dalam amal islami juga membutuhkan keistiqomahan dan berkelanjutan. Sebelum serta sesudah pemilu, bahkan ada atau tanpa pemilu sekalipun. Terlalu lama mengambil jeda atau berdiam diri dalam dakwah, hanya akan menyisakan potensi saling menyerang dan mengganggu sesama kader dakwah.  Kita selami kata-kata hikmah di bawah ini :

العَسْكَرُ الذِي تَسُودُهُ البِطَالَةُ يُجِيدُ المُشَاغَبَاتِ
“ Pasukan yang tidak punya tugas, sangat potensial membuat kegaduhan”

Ketiga : Memahamai hakikat pembebanan individu untuk memunculkan semangat berlomba dalam kebaikan

 Setiap aktifis dakwah hendaknya memahami bahwa setiap amal yang ia kerjakan tidak lain dan tidak bukan akan kembali pada dirinya sendiri. Bahwasanya setiap amal yang dikerjakan dengan adalah peluang untuk mendekatkan diri disisi Allah SWT. Bisa saja sebuah acara sukses dengan baik dan lancar, tapi penilaian amal disisi Allah SWT tidak bisa digeneralisir begitu saja, setiap orang akan mendapatkan pahala sesuai dengan kontribusinya. Karenanya, hendaknya setiap kader memahami bahwa ia harus terus beramal, karena pembebanan ini sifatnya individual, nilainya di akhirat adalah nilai dirinya sendiri, meskipun beramal di dunia secara jama’i. Kita renungkan beberapa dalil berikut ini :
فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ

“ Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri “ (QS An-Nisa 84)
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

“ Barang siapa yang lambat dalam amalnya, maka tidak akan membuatnya cepat nasab (afiliasinya) “ (HR Muslim)

Setelah setiap kader memahami tentang sifat pembebanan dan penilaian yang bersifat individu, maka diharapkan akan memunculkan semangat berlomba dalam kebaikan, sehingga akan menghasilkan amal-amal yang terbaik. Ruuh at-tanafus atau spirit untuk berlomba dalam kebaikan telah banyak diisyaratkan dalam Al-Quranul Karim, diantaranya :  ( QS Al-Maidah 48, QS Al-Baqoroh 148, QS Al-Muthoffifin 26, QS Ali Imron 133)

Keempat : Cermat dan senantiasa berbeda dalam menjalankan tuga
s

Ada banyak kesalahan yang terjadi karena seseorang meremehkan sebuah amal, menggampangkan sebuah taklimat, menyederhanakan sebuah mas’uliyah, dan akhirnya berakhir dengan kegagalan atau cacat dalam melaksakan kerja-kerja dakwah. Setelah kader mempunyai semangat untuk berlomba dalam kebaikan, semestinya hal itu tidak perlu terjadi lagi. Yang ada setelah ini adalah lebih cermat (diqqoh) dalam menjalankan setiap tugas, tabayun jika menemukan kejanggalan, dan berusaha untuk berbeda dan berprestasi dalam mengerjakan tugas-tugas dakwah. Sesungguhnya jiwa yang besar senantiasa akan enggan untuk mengerjakan sesuatu dengan kualitas yang standar dan biasa-biasa saja. Kita renungkan hadits berikut ini :

قَالَ رَسُولُ اللهِ: (إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ مَعَالِيَ الأُمُورِ، وَأَشْرَافَهَا، وَيَكْرهُ سَفْسَافَهَا)

Rasulullah SAW bersabda : “ Sesungguhnya Allah SWT mencintai urusan-urusan yang berkualitas lagi mulia, serta membenci yang rendah  (remeh-temeh) “ ( HR Baihaqi dan Thobroni, dishahihkan oleh Albani)

Dalam siroh sahabat kita juga bisa mengambil contoh dari sahabat sekelas Abi Bakar as-Shiddiq, beliau senantiasa menghadirkan amal-amal terbaik, prestasi yang berbeda dengan shahabat lainnya. Bahkan seorang umar bin Khotob beberapa kali berusaha untuk berlomba dengannya, namun akhirnya mengakui kekalahannya seraya berkata pd Abu Bakar : “ Aku tidak akan mampu mengunggulimu selamanya “

Kelima : Menjauhi ketaatan atas dasar kecenderungan nafsu semata

 Setiap aktifis dakwah hendaknya kembali merenung, apakah ketaatannya selama ini benar-benar atas dasar ketsiqohan dan keyakinan akan kebenaran sebuah manhaj, ataukah hanya memilah-milah taklimat yang bersesuaian dengan kecenderungannya dan hawa nafsunya saja ? Sesungguhnya ketaatan berdasarkan hawa nafsu semata adalah rapuh dan berbahaya untuk kelangsungan dakwah di masa depan. Karena akan lebih banyak lagi taklimat dan qoror yang mungkin tidak bersesuaian dengan keinginan dan hawa nafsu kita. Yang seharusnya terjadi adalah setiap kader mampu menundukkan hawa nafsunya agar senantiasa bersesuaian dengan dakwah. Hendaklah kita mengingat sabda Rasulullah SAW :

لا يؤمن احدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به
Rasulullah SAW bersabda : “ Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian, hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (risalah islam) “ (Musnad Firdaus, An-Nawawi memasukannya dalam Arba’in)

Abdul Wahhab Azaam berkata : “ Mereka akan segera taat pada hal-hal yang mereka sukai, namun mereka akan bermalas-malasan pada hal-hal yg mereka benci. Apabila dihadapkan pada ujian untuk melakukan suatu hal yang tidak mereka sukai sekalipun di dalamnya ada kemaslahatan jama’ah, maka mereka akan berpaling sambil memberi alasan, atau mereka akan mentaati dengan terpaksa, dan melaksanakannya dengan hati kesal “
 Syeikh Muhamaad Ahmad Ar-Rasyid mengingatkan kita : “ Sesungguhnya keta’atan yang bermuatan hawa nafsu merupakan peninggalan tabi’at bani israil, yang harus dijauhi oleh seorang mukmin. Bani Israil pernah meminta kewajiban perang di jalan Allah , tetapi kemudian berpaling ketika perang sudah diwajibkan “. Lihat QS An-Nisa ayat 76.

Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat dan salam optimis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar