12 Nov 2010

Para Pahlawan Merapi itu bergelar Relawan


Setiap bulan November kita disibukkan dengan gelar Pahlawan. Perdebatan tentang gelar itu selalu berulang, dari mulai M.Natsir, Bung Tomo, dan kini Soeharto dan Abdurrahman Wahid. Saya termasuk yang meyakini bahwa semua yang berjasa layak diberi gelar pahlawan, khususnya dalam benak anak bangsa. Adapun syarat administratif dan gelar berupa sertifikat di tambah lencana, saya rasa mereka sendiri tak lagi membutuhkan dan menggubrisnya. Justru kita lah yang membutuhkan perasaan itu. Yaitu perasaan menghargai para pendahulu kita dengan segenap jasa-jasanya.

Terlepas dari perdebatan soal gelar pahlawan yang seolah membumbung tinggi di langit sana. Perlu rasanya kita mengapresiasi kerja-kerja kepahlawanan yang ada di sekeliling kita. Para pahlawan itu hari-hari ini banyak menghias media dengan sebuah gelar baru ‘relawan’. Mereka adalah pahlawan yang kemudian disebut sebagai relawan. Jejak langkah mereka terlihat jelas membekas di bumi indonesia yang sedang gundah dan gelisah. Dari mulai Wasior, Mentawai hingga Merapi.

Sebuah tulisan di vivanews sedikit membelalakkan mata saya, lalu rasa haru penuh kekaguman pun menyelimuti dada. Sekelumit kisah tentang seorang relawan dari Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) bernama Eko Sulisyto. Bapak tiga anak ini bukan ‘relawan gadungan’ atau ‘relawan insidental’, tapi memang sepuluh tahun terakhir ini langkahnya banyak menghiasi daerah-daerah yang terkena bencana. Turun tangan sepenuh hati dalam langkah evakuasi yang berat dan penuh mara bahaya yang mengancam.

Cukup sudah kekaguman saya terhenti pada kata ‘sepuluh tahun’, bukan waktu yang singkat untuk teguh dalam pekerjaan berat ini. Dengan tiga anak dan satu istri dan usia menjelang kepala empat, sering menjadi alasan bagi seseorang untuk mundur teratur dalam dunia relawan. Banyak yang memilih pensiun lebih dini untuk kemudian berada di belakang meja dan layar monitor. Tapi nampaknya Eko Sulistyo tak mengenal kata mundur. Sepuluh tahun telah dijalaninya dan belum ada niatan untuk mundur keluar dari lisannya. Justru sebaliknya, ia malah memberi nasehat kepada sang istri tentang hakikat pekerjaannya sebagai relawan : "Saya selalu bilang ke istri, kalau kamu melihat orang salaman dengan Obama dan SBY, itu biasa. Tapi, kalau yang menggotong mayat, menyelamatkan orang, itu yang luar biasa. Tidak semua orang bisa."

Hal lain yang saya kagumi pada sosok relawan ini adalah latar belakang kehidupannya. Ia sehari-hari mengelola permainan tembak paintball dan pengusaha onderdil mobil tua Land Rover jenis Defender.  Saya kira dari sisi ekonomi ia adalah seorang yang mapan dengan usaha yang ditekuninya itu. Secara usia tentu ia adalah seorang yang berpengaruh bagi lingkungan masyarakatnya. Ibarat sederhananya, kalau ia memilih untuk tetap di rumah dan membantu korban bencana dengan uang saja, akan banyak orang yang memakluminya. Tapi nyatanya, kamus ‘ongkang-ongkang’ tak pernah terbersit dalam benaknya. Hatinya selalu tergerak dan kakinya selalu ‘gatal’ untuk segera melangkah dan berjibaku mengevakuasi korban, saat mendengar sebuah bencana kembali melanda bumi pertiwi.

Mereka pahlawan yang disebut dengan relawan, bukan sebaliknya. Karena mereka telah melakukan kerja-kerja kepahlawanan, di saat yang lain masih sibuk membahas gelar pahlawan. Saya yakin masih ada Eko-eko yang lain yang di sisi Merapi saat ini, untuk saat ini dan untuk seterusnya, karena kepahlawanan para relawan itu tidak hanya tersimpan dalam jasad mereka, tapi beterbangan memasuki seluruh benak anak negeri ini saat ini. Menginspirasi untuk melakukan hal yang sama atau bahkan lebih hebat lagi. Salam optimis !

1 komentar:

  1. tak ada yang perlu gelar karena relawan juga pengungsi yang datang dari daerah aman ke daerah bencana dengan berbagai motivasi...

    BalasHapus