30 Okt 2010

Sunan Kudus : Sosok Ulama Negarawan (Bagian 1)


Bukan karena saya berasal dari Kudus, lalu saya merasa harus menulis tentang Sunan Kudus. Tetapi sejak lama memang saya terpukau dengan kiprah dan sejarah sunan Kudus. Pada waktu kecil buku bacaan karya Sholihin Salam sering dibawakan ayahanda saya : Mohammad Taufikul Kamal dari Kantor, dan saya pun menikmatinya dengan ringan. Untuk ukuran usia-usia sekolah dasar, buku tentang sunan Kudus versi Sholihin Salam tentu sudah memuaskan batin saya. Sayangnya, isian sejarah Sunan Kudus tersebut banyak memuat tema-tema mistis dan kesaktian para wali, yang menurut saya terkadang berlebihan. Para wali sanga adalah da’i dan ulama penyebar Islam yang teguh memegang ajaran sunnah dan syariah, bukan pendekar dengan segenap ilmu kanuragan yang mistis dan klenis. 

Keinginan saya untuk mempelajari tentang Sunan Kudus akhirnya menggantung begitu saja. Namun jaman telah berganti, dan referensi yang ada mungkin lebih beragam dan lebih rapi. Setidaknya novel sejarah Arya Penangsang karya Nassirun Purwokartun berhasil mengobati kerinduan tentang sosok Sunan Kudus. Dalam Novel tersebut cukup banyak dimuat sosok Sunan Kudus yang cukup sesuai dengan apa yang dalam bayangan saya selama ini, yaitu bahwa beliau adalah sosok ulama yang negarawan, atau justru sebaliknya : negarawan yang ulama. Saya kira sosok seperti ini cukup jarang kita temukan, bahkan hingga hari ini. Buku lain yang saya baca yaitu Ensiklopedi Ulama Nusantara karya H.M.Bibit Suprapto, yang meskipun singkat memuat tentang Sunan Kudus, tapi cukup padat menjelaskan kiprah beliau, khususnya sebagai ulama yang mempunyai jabatan dan amanah yang begitu beragam. Dari beberapa bacaan itulah, saya ingin menuliskan ulang kesan yang saya tangkap terhadap sosok pendiri kota kelahiran saya tersebut.

Asal Usul dan Sejarah Sunan Kudus
Nama asli Sunan Kudus adalah Ja’far Shaddiq putra Raden Usman Hajji yang dikenal juga dengan sebutan Sunan Ngudung. Ngudung adalah daerah Jipang Panolan atau sekitar utara kota Blora sekarang.  Beliau lahir sekitar tahun 1500-an, meninggal tahun 1550 dan dimakamkan Kudus. Dalam darah beliau bercampu nasab arab dan jawa. Nasabnya dari sang ayah termasuk golongan alawiyyin yang diangkat terus hingga Rasulullah SAW. Sementara dari sang ibu, beliau termasuk golongan keturunan keluarga kerajaan Majapahit. Sunan Kudus memiliki dua istri, yaitu Dewi Rukhail putri Sunan Bonang, dan juga dengan putri Adipati Jombang. Dari keduanya, beliau memiliki sembilan anak.

Sunan Kudus termasuk golongan Wali Songo yang berusia muda. Bahkan ia lebih muda dari Sunan Muria, yang nota bene adalah putra dari Sunan Kalijogo. Meskipun muda secara usia, tapi kiprah dakwah beliau cukup dikenal dikalangan wali songo lainnya, bahkan hingga dalam urusan politik dan pemerintahan kerajaan Demak.
 
Hubungan Kota Kudus dan dan Kota Al-Quds Palestina
Salah satu kota atau mungkin satu-satunya di Jawa yang berasal dari bahasa Arab adalah kota Kudus, yang diambil dari kata Al-Quds yang berarti suci. Tapi uniknya, penamaan Kudus sendiri memang lekat dengan keberadaan kota Al-Quds di Palestina. Lalu apakah ada hubungannya ? Beberapa riwayat dan kisah yang beredar menunjukkan hubungan yang begitu erat antara kota Kudus dan Al-Quds di Palestina.  Bahkan ada yang menyebutkan bahwa beliau memang berasal dari  Palestina dan datang ke Jawa pada tahun 1436 M. Ini hampir senada dengan hipotesis terbaru bahwa keberadaan Wali Sanga di tanah jawa adalah ‘rekayasa’ atau utusan resmi dari pemerintahan Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai dai dan mufti untuk tanah jawa.
Yang jelas benar bahwa Jafar Shoddiq atau Sunan Kudus muda –sebagaimana kebiasaan ulama nusantara lainnya- pernah bertandang dan bermukim di Timur Tengah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu keagamaan. Salah satu kota yang pernah beliau singgahi adalah Al-Quds di Palestina, yang merupakan tanah leluhurnya dari garis bapaknya, karena Ayahnya memang berasal dari Palestina.

Dalam riwayat yang mistis, disebutkan bahwa Sunan Kudus saat di Palestina berjasa karena menyembuhkan wabah penyakit di daerah Palestina lalu atas jasanya diberikan hadiah batu prasasti yang sampai sekarang masih ada di masjid menara Kudus. Kisah yang lain, bahwa setelah beliau melakukan pengembaraan ilmiah dan napak tilas leluhurnya di Palestina, beliau begitu terkesan dengan kota Al-Quds itu, dan berniat untuk membuka kota di Jawa yang bernama Kudus juga. Sebagai pengingat cita-citanya tersebut, tak lupa ia membawa sebongkah batu itu saat kembali ke tanah air.

Setelah itu Sunan Kudus pun mengubah nama Tajug menjadi Kudus, dan membangun masjid pada tahun 956 H. atau 1530 M yang juga dinamakan dengan dengan Masjidil Aqsha. Dalam prasasti pendirian masjid tertuliskan: “Telah dibangun Masjidil Aqsha fil Quds” Maksud beliau adalah penamaan ini meniru apa yang ada di Palestina, yaitu masjidil Aqsha di Kota Quds. Bentuk kubah besarnya pun identik dengan bentuk kubah masjid al-aqsha, dan sangat berbeda dengan ornamen masjid jawa secara umum pada saat itu yang tidak mengenal kubah, sebagaimana masjid Demak, masjid Kauman dan juga Masjid Agung Surakarta.

bersambung >>

2 komentar:

  1. ditunggu kelanjutannya, tadz...

    BalasHapus
  2. Kudus kota kecil tetapi memiliki keanekaragaman agama, budaya dan kuliner. sungguh lengkap sekali tetapi kurang didukung dengan adanya insfrastruktur yang memadahi..

    BalasHapus