18 Sep 2010

Mengupas Ragam Tradisi Lebaran (Bagian 1)

Lebaran sudah lewat, tapi masih ada banyak kesempatan untuk mengenang rangkaian tradisi yang ada seputarnya. Setiap kita pasti menjalani dengan penuh suka cita, bahkan terkadang lupa untuk memaknai hakikat sebenarnya. Bahkan terkadang jika tidak berhati-hati, kadang ada satu dua tradisi yang menjerumuskan pelakunya dalam kubangan dosa dan maksiat, jika tidak berhati-hati.  Sayangnya pula, banyak yang mengatasnamakan tradisi dan kebiasaan untuk menjadi pintu masuk kemaksiatan. Lihat saja di beberapa daerah, dari mulai Ramadhan tradisi ngabuburit justru digunakan untuk berpacaran dan pendekatan antar lawan jenis. Ada juga malam takbiran yang malah jauh dari kemenangan, karena terkotori dengan segudang kemaksiatan. Ada yang mempunyai tradisi mabok semalam suntuk di malam takbiran. Ini semua perlu perhatian yang lebih cermat agar kita tidak serta merta menganggap remeh karena alasan tradisi.

Di luar hal di atas, saya meyakini banyak sekali tradisi lebaran yang positif dan masih dalam wilayah mubah atau halal. Kehalalan ini bisa jadi akan bernilai lebih dan berpahala jika kita niatkan untuk menjalankan kebaikan yang sudah disyariatkan. Maksudnya seperti apa ? Lebih jelasnya akan kita kupas (tapi mungkin tidak) tuntas beberapa rangkaian tradisi lebaran yang ada dalam masyarakat kita. Mari kita menumpanginya dengan niatan kebaikan. 

Pertama kalinya, iedul fitri adalah bagian dari syiar Islam dan kaum muslimin, karenanya niatan awal dari menjalankan semua tradisi halal yang ada adalah untuk mengagungkan syiar kaum muslimin. Agar bendera Islam tegak berdiri dan kokoh menjulang di tengah masyarakat kita. Agar Lebaran menjadi momentum yang berharga untuk memperkenalkan syiar dan ajaran Islam. Mari mengingat motivasi ini langsung dari Al-Qur’an, Allah SWT berfirman : “ Barang siapa yang mengagungkan syiar agama Allah, maka itu adalah bukti ketakwaan dalam hatinya “ (QS Al Hajj 32)

Selanjutnya, mari kita sedikit menelisik berbagai ragam tradisi halal yang ada dalam lebaran untuk kita hayati lebih mendalam statusnya dalam syariat.

Pertama : Tradisi Mudik atau Pulang Kampung

Kita melihat banyak orang rela berdesak-desakan, atau bermotoran jarak jauh, dan juga mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk mensukseskan aktifitas pulang kampung tahunan. Sungguh hambar jika hanya dilakukan karena sekedar adat dan ikut-ikutan, apalagi karena sekedar ingin nostalgia wisata kuliner khas pedesaan. Begitu pula jika dilakukan untuk pamer kesuksesan dan kesombongan, jumlah harta dan jumlah anak istri. Ini sama persis dengan ungkapan Al-Quran : “ Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak “ (QS Al-Hadid 20).
Karenanya, hakikat mudik harus kita hayati sepenuhnya bahwa ia adalah sarana kita untuk silaturahmi dalam arti sebenarnya: yaitu menyambung hubungan kekerabatan secara umum, dan secara khusus ajang birrul walidain kepada orang tua. Kita semua menyadari bahwa aktifitas setahun penuh terkadang menjadikan kita tidak terlampau optimal dalam menjalankan hal ini (silaturahim dan birrul walidain). Sehingga, momentum lebaran dan mudik hendaknya kita niatkan sejak awal sebagai agenda birrul walidain dan silaturrahim kerabat yang efektif. Dengan niatan ini, insya Allah terbuka seluruh janji kebaikan yang diisyaratkan Rasulullah SAW : Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”(HR Tirmidzi dan Ahmad)

Mudik secara khusus adalah birrul walidain kepada orang tua, memohon keridhoannya khususnya setelah kita membersihkan diri di bulan suci. Apalah arti bersih diri jika orang tua kita masih memendam benci dan belum sepenuh hati meridhoi kita ? Sementara Rasulullah SAW bersabda : “ Keridhoan Tuhan ada pada Ridho orang tua, dan kemurkaan Tuhan ada pada murka orang tua “ (HR Tirmidzi dari Ibnu Umar)

Kedua : Tradisi Bermaafan dan Ungkapan Maaf Lahir Batin

Ini benar-benar khas Indonesia. Setiap lebaran ungkapan maaf lahir bathin diobral dimana-mana. Sungguh ini adalah sesuatu yang indah berkesan jika dilakukan dengan sepenuh keyakinan akan hina dan kesalahan diri. Sebaliknya, ia tak lebih dari lipatan lidah tak bertulang jika hanya sekedar basa basi dan menuruti tradisi. Karenanya, apa sesungguhnya niatan yang bisa kita munculkan atau menjadi inspirasi pendahulu kita dalam mentradisikan hal ini ? setidaknya ada dua hal :

Pertama, karena menjadi simbol dan ciri orang bertakwa. Bulan Ramadhan dengan ibadah puasanya dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kita. Maka menjadi sangat wajar jika selesai ramadhan kita harus mengimplementasikan semangat dan ciri ketakwaan. Salah satunya yaitu menjadi insan yang pemaaf dan mau menahan amarah. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang mulia : dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. (QS Ali Imron 134)

Kedua, keinginan diri untuk bersih dari dosa secara sempurna. Dosa kita senantiasa terbagi menjadi dua, dosa kepada syariat atau Allah SWT, dan dosa kepada sesama manusia. Kita semua berhusnudhon bahwa Ramadhan -sebagaimana yang dijanjikan- akan menggugurkan dosa-dosa kita kepada Allah SWT. Karenanya, untuk mengoptimalkan kesucian diri kita harus meminta keridhoan orang-orang disekitar kita. Karena dosa kepada manusia menjadi tidak terampuni tanpa keridhoan orang yang kita zhalimi.
Pada titik inilah, sesungguhnya permintaan maaf harus dilaksanakan dengan sepenuh penghayatan, dan juga harus fokus tertuju kepada orang-orang yang memang senantiasa berinteraksi dengan kita, bukan kenalan biasa atau kenalan dunia maya yang nyaris tak pernah bertemu muka !. Kepada mereka yang belum kita kenal, cukuplah ucapan taqobbalallahu minna waminkum menghiasi lisan  dan menghujam dalam hati kita.

Bersambung bagian kedua

4 komentar:

  1. asmilasi agama dan tradisi memang susah untuk dihindarkan. apalagi sifat masyarakat kita yang cinta damai dan begitu permisif, sehingga ketika ada perbedaan, seringkali tanpa sadar diadopsi dan dicampuradukan. sayangnya budaya sendiko dawuh juga kental. sehingga jarang kita mempertanyakan kepada orang tua bahwa yang dilakukan itu bawaan agama atau tradisi. orang tuapun kadang tak bisa menjelaskan ketika ada yang bertanya dan cukup bilang, udah dari sononya.
    buat aku sendiri sih ga masalah kita menjalankan agama bersamaan dengan tradisi, sejauh kita faham mana yang agama dan mana yang tradisi.
    khusus soal mudik, karena aku sering banget pulang kampung, jadi tak pernah ada sensasi khusus. mudik lebaran hanya sarana ketemu saudara jauh yang hanya pulang saat lebaran. sungkem ke ortu kemarin malah engga. soalnya dari kecil dah dibiasakan saling bermaafan setiap abis shalat jamaah. jadi ga harus nunggu lebaran...

    BalasHapus
  2. Rawins:
    setiap asimilasi biasanya menimbulkan kecenderungan, apakah ke tradisi atau ke agamanya ? sebenarnya tinggal sensitifitas kita perlu ditingkatkan, prinsip kepatuhan syari juga harus dijaga, manakala ketemu tradisi yang tidak bisa lagi dimaklumi secara syar'i, saatnya kita menjauhi .. bila perlu menyadarkan pelakunya

    BalasHapus
  3. terima kasih atas informasinya
    sungguh bermanfaat artikel ini..thanks for share
    Warna mobil

    BalasHapus
  4. harga toyota fortuner 201411 April 2014 pukul 14.37

    Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
    keep update!Harga Toyota Fortuner 2014

    BalasHapus