14 Jul 2010

Lebih Cermat tentang Oral Seks

Salah satu tema pembahasan yang menarik dan menghangat tentang teknik hubungan suami istri dalam koridor syariah adalah tentang boleh tidaknya 'oral seks'. Begitu populernya masalah ini sehingga tak perlu lagi dijelaskan pengertian atau definisi dari aktifitas oral seks tersebut. Sudah cukup tergambar dari istilah yang digunakan. Mereka yang melarang hal ini berpendapat dengan  sebuah ayat : “ Maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu “ ( QS Al-Baqarah 222). Sebagaimana kita ketahui, tempat yang memang dikhususkan untuk berjimak adalah farj atau kemaluan. Selain itu, pada hakikatnya adalah melanggar ketentuan.

    Di lain pihak, mereka yang memperbolehkan berpendapat dengan ayat yang tidak jauh letkanya : “ Istrimu adalah ladangmu, garaplah ladangmu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki (sesuai keinginanmu) “ (QS Al-Baqoroh 223). Menurut mereka, yang jelas-jelas dilarang dalam banyak hadits adalah berjimak pada dubur istri, sedang selain itu maka hukumnya kembali sebagaimana diisyaratkan secara mutlak dalam ayat tersebut.

    Ada lagi yang bersikap menengah, bahwa oral seks dengan tujuan sebatas istimta', atau muda'abah (foreplay) untuk pemanasan ke arah jimak (intercouse) diperbolehkan tidak mengapa, asalkan tidak benar-benar berorientasi jimak (mengeluarkan sperma). Jika orientasi oral seks adalah mengeluarkan sperma atau orgasme, maka  dikhawatirkan menyalahi ayat di atas ( QS 2 : 222 ), juga menyalahi dari salah satu tujuan jimak yaitu menghasilkan keturunan.

    Terlepas dari berbagai pandangan di atas, ada baiknya kita menjelajahi berbagai perkataan yang membahas masalah ini.  Imam Syafii ra secara umum mengenai aktifitas ini menyatakan tanpa ragu : “Adapun menikmati, dengan memasukkan penis dalam vagina, diantara kedua (belahan) pantat dan semua tubuh, maka tidak mengapa insya Allah ta’ala “ (Al-Umm ( V/137)).  Imam Al-Qurtubi mengutip pendapat Ashbagh bin al-Faraj, sahabat Imam Malik yang juga seorang pembesar fuqaha Malikiyah, ia mengatakan : Boleh menjilatnya ( kemaluan suami/istri) ( Jami’ Li Ahkamil Quran, Tafsir Surat An-Nur 31). Al-Qadhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad Kan’an mengatakan : Boleh saja seorang suami mengeluarkan maninya dengan tangan istrinya, atau dengan anggota tubuhnya yang lain karena hal itu termasuk istimta’ dengan cara Mubasyaroh. Dalam kasus yang hampir serupa, Imam Abu Hamid Al-Ghozali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan : “Suami juga boleh mengeluarkan mani dengan tangan istrinya “ ( Ihya Ulumuddin II/741 bab Adabun Nikah). Adapun saat istri sedang haidh, Rasulullah saw memberikan batasan umum kepada para suami : “ Lakukan apa saja yang kalian kehendai kecuali nikah (jimak) “ ( HR Muslim dan Abu Dawud). Hadits ini mengisyaratkan tentang kebolehan secara umum mencari kenikmatan pada istri yang haidh kecuali pada farj dengan berjimak.

    Memang permasalahan tidak menjurus pada keharaman, namun berkisar pada adab, antara makruh ataupun boleh. Karena untuk mengharamkan sesuatu, tentu membutuhkan nash yang shahih dan shorih sebagaimana pelarangan berjimak pada dubur istri. Selain itu kita juga tidak menafikkan unsur-unsur lain yang berhubungan dengan oral seks, yaitu tentang kerelaan istri apakah jijik atau tidak, maupun unsur kesehatan apakah hal ini higenis dan aman ataukah sebaliknya. Mengingat 'penis' bagi laki-laki selain untuk organ reproduksi juga sebagai saluran pembuangan urine yang menyimpan potensi untuk menjadi kotor dan berbahaya. Dr. Wahbah Zuhaily dalam Fiqh Islami juga menyatakan hal ini, bahwa oral seks selain kurang pantas karena menjijikkan juga mengandung unsur dan pengaruh budaya barat yang kurang mengenal adab. Nah lo ?’

    Teakhir, saya mempunyai sedikit pandangan khusus mengenai oral seks. Khususnya mengenai ketidakbolehannya atau kekurangpantasannya. Pertama, bersandar dari hadist dengan riwayat shahih tentang ketidakbolehannya menyentuh penis/dzakar dengan tangan kanan. Memang pengharaman ini oleh sebagian ulama dianggap sebagai tahrim tanzihi, atau sebagai sebuah bentuk kehati-hatian. Namun bagaimanapun bisa kita masukkan sebagai sebuah standar kekurangpantasan jika itu dilakukan. Nah, qiyas sederhananya ; jika tangan kanan dilarang memegang penis , mungkin karena fungsi ‘suci’ tangan kanan untuk makan dan lain sebagainya, maka mulut sebagai jalur utama makanan seharusnya lebih ‘prioritas’ dalam masalah ini.

    Sandaran kedua dalam masalah ini adalah berkaitan tentang hukum madhi. Madhi adalah cairan jernih lengket yang keluar dari zakar  saat bermesraan. Para ulama bersepakat  menganggap hukum madhi adalah najis dan membatalkan wudhu. Dalil mereka antara lain jawaban Rasulullah SAW ketika ditanya tentang status hukum madhi. Beliau bersabda : “ Berwudhulah (dari madhi) dan cucilah zakarmu “ . Selanjutnya, sesuai kaidah umum bahwa segala sesuatu yang najis itu haram dan harus dijauhi, maka madhi yang keluar dari zakar semestinya juga harus dijauhi. Bukan saja karena kenajisannya, melainkan juga karena keharamannya. Dengan demikian , aktifitas oral seks yang secara umum melibatkan madzi sama sekali bertentangan dengan perintah agama Islam yang hanif dalam menjauhi segala sesuatu yang najis dan haram.

Dalam masalah ini beberapa ulama juga mempunyai beberapa pandangana. Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi berpendapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit.  Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).

Setelah semua paparan di atas, ada baiknya kita pakai langkah terakhir dalam menimbang masalah oral seks. Istafti qolbaka, demikian para ulama kita sering menganjurkan. Bertanyalah pada hati anda. Apakah anda menemukan ketenangan atau justru kegelisahan ? Wallahu a’lam.

*artikel ini adalah bagian kecil dari Bab Dua buku saya : Muhammad SAW the Inspiring Romance , untuk pemesanan buku via sms ke 081329078646 ( Harga Rp 35.000,- di luar ongkos kirim), harga di pasaran Rp 45.000,-

4 komentar:

  1. oke, komentar ah...
    klo alasannya karena adanya wadhi bagaimana dngan air mani ustadz, bukankah air mani selalu bercampur dengan wadhi. dan nabi hanya menyuruh mengeriknya. mani nggak najis kan?

    BalasHapus
  2. jazakumullah atas komentnya
    bukan 'wadhi' tapi madzhi maksudnya,
    untuk masalah mani memang ada perbedaan tentang kenajisannya. hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
    makanya yang dibahas di atas adalah madzi karena ijmak ulama tentang kenajisannya
    dah secara teknis, berkaitan dengan oral yang sangat memungkinkan untuk keluar lebih dahulu adalah madzi, bukan mani. wallahu a'lam

    BalasHapus
  3. ikut komentar dikit ya..
    setau saya madzi keluar sebelum mani, karena secara fisiologis (medis), madzi (cairan bening)memiliki beberapa fungsi seperti sebagai pelicin saluran dan pembersih saluran dari sisa kuman atau urine yang tertinggal.
    namun madzi hanya akan keluar jika seorang pria sudah dalam fase stimulated (terangsang), sebelum akhirnya mani keluar.
    mungkin itu pembuktian secara medis tentang mengapa madzi najis sedang mani tidak
    semoga bermanfaat, terimakasih...

    BalasHapus
  4. wah mantep pak dokter, lebih membuat mantap dan yakin lagi tentang najisnya madzhi, karena sebagai pembersih saluran sisa urine ...
    sip, kapan2 share lagi ya

    BalasHapus