9 Jul 2009

Islam membolehkan pacaran ?

Ketika pacaran sudah menjadi budaya yang menggurita, maka mengatakan 'tidak' untuk pacaran adalah perjuangan yang sungguh berat. Karenanya banyak yang kemudian berpikir untuk 'menerima' pacaran, dengan logika dan dalil-dalil yang bisa memuaskan sebagian orang. Tidak heran jika kemudian muncul 'pembolehan' pacaran dengan atas nama 'psikologi', 'hak asasi', 'cinta adalah fitrah', bahkan terkadang atas nama ' Islam' . Nah ! Khusus yang terakhir ini, yang membawa-bawa nama Islam, kita perlu bahas lebih lanjut.

Islam membolehkan pacaran ? Akan sangat mudah bagi mereka yang mau dan tidak malu. Tinggal pilih-pilih dalil yang melegakan tentang nilai-nilai cinta secara universal, jadilah pacaran itu boleh. Saya pernah satu forum dengan 'ustadz' -yang kebetulan memakai blangkon- , ketika ditanyakan padanya tentang hukum pacaran. Maka segera saja meluncur dalil-dalil cinta universal dalam Islam, yaitu ukhuwah islamiyah. Dengan bahasa arab yang fasih, mulailah beliau menyitir dalil sabda Rasulullah SAW : Tidak beriman seorang dari kamu, hingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR Bukhori & Muslim). Nah, jadilah cinta kepada saudara se-islam menjadi dalil pendukung pacaran.

Bagitu pula saat mendengat ayat, Allah SWT berfirman : Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Al-Hujurot 13). Beberapa dengan percaya diri menyatakan bahwa pacaran , tidak lain dan tidak bukan adalah upaya saling mengenal antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana disebutkan dengan jelas pada ayat di atas. Maka jadilah mereka bersemangat dalam pacaran, sebagai sebuah usaha mengimplementasikan ajaran Al-Quran untuk saling mengenal antara laki-laki dan perempuan. Alaaah..alaah !

Sebenarnya banyak hadits lain tentang nilai cinta ukhuwah yang universal yang sering disempitkan menjadi cinta antara dua sejoli. Bahkan lebih dikerucutkan kepada aktifitas-aktifitas khusus pacaran. Misalnya saja, tentang 'menembak' sang incaran dengan kata 'aku suka kamu' atau 'aku cinta kamu'. Aktifitas ini kadang dihubung-hubungkan dengan sebuah hadits :

Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ada seorang bersama dengan Nabi SAW, kemudian lewatlah seorang laki-laki lain. Laki-laki (yang bersama Nabi) itu mengatakan : Ya Rasulullah, Sungguh aku mencintai laki-laki itu . Maka Rasulullah SAW menjawab padanya : " Apakah engkau sudah beritahukan (rasa cintamu) kepada dia ?. Dia menjawab : Belum. Lalu Rasulullah SAW mengatakan : (jika begitu) Beritahukan pada dia. Maka kemudian ia menyusul laki-laki tersebut dan mengatakan " Inni uhibbuka fillah" (aku mencintaimu karena Allah), maka laki-laki tersebut menjawab : Semoga Allah yang engkau mencintaiku karena-Nya, juga mencintaimu ! " (HR Abu Dawud dengan isnad shahih)

Nah, berlandaskan hadits di atas, ada yang melegalkan aktifitas 'menembak' lawan jenisnya untuk melamar jadi pacar dengan ungkapan : Aku cinta kamu, sebagaimana di isyaratkan dalam hadits tersebut. Lagi-lagi kasusnya sama, makna 'cinta' yang begitu luas dalam ukhuwah Islam kembali disempitkan atas nama cinta dua sejoli. Bahkan agar terkesan lebih islami dan menggetarkan, ada juga yang tanpa tedeng aling-aling menyatakan : " Aku mencintaimu karena Allah ! ". Tidak lupa dihiasi dengan tatapan mata yang sayu penuh harap. Itu sebuah statemen yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Bagaimana mungkin mencintai seseorang karena Allah, tapi pada saat yang sama melecehkan aturan-aturan Islam dalam masalah pergaulan lawan jenis. Astaghfirullah.

Misal yang lain, ada yang membolehkan 'aktifitas pacaran' berupa apel malam minggu, jalan-jalan dan makan-makan, asal ada yang nemeni. Ada satpam atau pihak ketiga yang bertugas melakukan pengawasan. Bisa jadi sang adik, kakak, tetangga, atau bahkan ortu sendiri yang ikut nemeni sang gadis saat si doi apel ke rumahnya. Dengan kata lain, selama aktifitas tidak berduaan maka pacaran menjadi sah dalam pandangan mereka. Hadits yang dipaksa untuk digunakan dalam hal ini :

Dari Jabir bin Abdullah ra, Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyendiri ( berduaan) bersama seorang wanita tanpa ditemani mahromnya, karena yang ketiganya adalah setan" (HR Ahmad)
Dari hadits di atas, diambillah sebuah kesimpulan yang sederhana : boleh pacaran asal ditemeni. Jadi jika sang pacar datang ke rumah, para orang tua ikut menemani ngobrol. Atau bisa juga mengawasi dari jarak jauh, jika sang pacar mulai senyum-senyum merapat, akan ada suara batuk-batuk dari kejauhan. Wah ..wah..

Lebih parah lagi kalau ada yang menyatakan ; yang penting orang tua setuju dan ridho anaknya pacaran ? Bukankah dalam hadits disebutkan : Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda : keridhoan Rabb (Allah) ada dalam keridhoan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan kedua orangtua (HR Thobroni, Baihaqi dalam Sya'bul Iman, Albani menshahihkannya) Nah, jika para orang tua saja sudah rela anaknya di pacari, bahkan banyak juga yang bangga jika anaknya sudah ada yang ngapeli, lalu apa urusannya melarang-larang orang pacaran ? .

Hari ini banyak kita lihat, betapa banyak orang tua yang khawatir saat anak gadisnya tak kunjung punya pacar. Lalu mereka menggunakan beragam cara agar tampilan si gadis lebih cantik dan menarik. Jika si gadis kebetulan berjilbab, maka terkadang di paksa untuk melepas jilbabnya. Naudzubillah.

Ada juga yang diminta berhias dengan sungguh-sungguh, agar jika keluar rumah bisa terlihat menyala-nyala. Bak model iklan, di jalan nanti akan banyak yang melirik dan terpana, siapa tahu salah seorang akan meminang anak gadisnya jadi sang pacar. Maka jika di lain hari, sang cowok itu benar-benar datang menyapa anak gadis dan berkunjung ke rumahnya, sang ortu -khususnya ibu- ini benar-benar terlihat lega dan bahagia. Akan ada suguhan spesial bagi sang cowok, sapaan hangat dan apa saja yang membuat sang cowok itu betah berlama-lama memacari anak gadisnya. Duuh..

Itu baru yang rela atau ridho anaknya pacaran. Banyak juga yang lainnya bukan sekedar ridho, tapi justru malah menyuruh anaknya pacaran ! Apapun, entah orang tua 'sekedar' ridho atau justru memerintahkan pacaran, sesungguhnya yang namanya maksiat itu tetap bernilai maksiat, meskipun ditutup-tutupi dengan kerihoan orang tua, perintah orang tua, panggilan cinta yang fitrah, nilai kemanusiaan dan lain sebagainya. Meninggalkan masksiat adalah perintah dari Allah SWT, yang tidak bisa dikalahkan dengan perintah-perintah makhluk di bawahnya. Karenanya sungguh bijak ketika Rasulullah SAW sejak awal sudah mengantisipasi hal ini. Dalam haditsnya beliau bersabda : Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya ada pada perbuatan yang baik (HR Bukhori dan Muslim dari Ali bin Abi Tholib ra)

Hakikat dalam aktifitas pacaran adalah kemaksiatan , bukan sekedar satu dua maksiat tapi bisa jadi menjadi siklus kemaksiatan yang berputar dan terus berputar. Karenanya, pembolehan pacaran dengan dalil dan logika manapun, hanya akan berkisar seputar usaha menutup-nutupi pacaran sebagai sebuah kemaksiatan. Banyak yang mengeskplorasi begitu jauh tentang manfaat-manfaat pacaran agar terlihat nilai positif pacaran. Dari mulai tambahan motivasi belajar, keluwesan dalam bergaul, pendidikan seks hingga alasan klasik ; 'penjajagan' pra nikah !.

Itu semua menjadi impian semu yang selalu gagal untuk dicapai. Bukannya termotivasi belajar, tapi nilai ujian justru turun drastis sepanjang sejarah perkuliahan atau sekolahnya. Bukannya pendidikan seks yang dicapai, tapi justru langsung praktik seksual yang didapat dengan mudah dan murah tanpa ikatan yang halal sedikitpun. Bukannya penjajagan pra nikah, tetapi benar-benar penjajagan bagaimana nanti kalau sudah nikah ! Makanya banyak yang sudah berhubungan suami-istri dengan pacarnya hanya karena 'janji untuk menikah'.

Akhirnya, saya mengajak pada mereka yang 'sempat' membolehkan pacaran. Baik dari kalangan sosiolog, pendidik, maupun para orangtua. Agar berpikir lebih jernih sebelum membuka kran kebebasan untuk pacaran. Sedikit saja ada celah untuk membolehkan berpacaran, maka berikutnya yang ada adalah 'siklus kemaksiatan' yang terus berputar. Ibaratnya dalam masalah kecanduan narkoba, yang menjadi pemicu awal biasanya adalah 'kebolehan' untuk merokok. Dari rokok remaja kita belajar banyak tentang obat-obatan, dari yang sederhana hingga jenis yang paling membahayakan.

Karenanya, jika hari ini kita mengatakan 'silahkan berpacaran' pada anak-anak gadis dan remaja kita. Itu bagaikan mendekatkan tabung gas dengan sumber api yang menyala. Tidak ada yang menjamin bahwa tidak akan terjadi ledakan, letupan , atau mungkin hanya sekedar asap panas yang membumbung tinggi. Demikian pula remaja kita, saat mendapat ijin untuk berpacaran, maka tidak ada yang menjamin bahwa tidak akan terjadi hubungan badan, ciuman, belaian atau mungkin 'sekedar' sentuhan dan remasan jari. Semua itu adalah kemaksiatan. Bahkan bukan cuma satu dua kemaksiatan, tapi (sekali lagi) siklus kemaksiatan yang berputar dan terus berputar. Efek domino pacaran, begitu kami menyebutnya.

4 komentar:

  1. ass. bugn hatta,,,na share ya artikelnya....

    BalasHapus
  2. Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ada seorang bersama dengan Nabi SAW, kemudian lewatlah seorang laki-laki lain. Laki-laki (yang bersama Nabi) itu mengatakan : Ya Rasulullah, Sungguh aku mencintai laki-laki itu . Maka Rasulullah SAW menjawab padanya : " Apakah engkau sudah beritahukan (rasa cintamu) kepada dia ?. Dia menjawab : Belum. Lalu Rasulullah SAW mengatakan : (jika begitu) Beritahukan pada dia. Maka kemudian ia menyusul laki-laki tersebut dan mengatakan " Inni uhibbuka fillah" (aku mencintaimu karena Allah), maka laki-laki tersebut menjawab : Semoga Allah yang engkau mencintaiku karena-Nya, juga mencintaimu ! " (HR Abu Dawud dengan isnad shahih)

    ustad hadist ne bener adanya apa salah tulis >>> k' laki2 suka laki2....

    BalasHapus
  3. @hasan tyro : bener akhi ... itu hadits shohih ada di riyadhus sholihin. antum perlu lebih dalam mengulas arti kata cinta ....

    BalasHapus