8 Jun 2009

Ragam Macam Hukum Pernikahan

Alhamdulillah, tanpa terasa sepekan begitu cepat berlalu. Pagi ini saatnya kembali mengkaji ‘secuil’ ilmu tentang pernikahan. Begitu banyak usulan untuk tema-tema kajian pernikahan, sangat beragam, dan menantang untuk segera dituliskan. Memang pernikahan adalah dunia yang dipenuhi dengan tema-tema pendahulan. Baik secara ilmu dasar filosofisnya, hingga masalah teknis-teknis yang diperlukan menjelang pernikahan, semuanya begitu banyak dan beragam. Karenanya mohon maaf jika usulan-usulan yang masuk belum segera direalisasikan. Insya Allah jika grup kita ini istiqomah, usulan-usulan tersebut dapat juga diwujudkan. Amin.

Untuk pekan ini, kita akan membahas ragam macam hukum pernikahan. Agar lebih jelas bagi kita –khususnya ikhwan dan akhwat bujangan – apakah saat ini sudah tepat saatnya untuk menikah, ataukah barangkali masih sekedar keinginan-keinginan sesaat disaat hati merasa sepi. Agar kita bisa lebih arif bahwasanya tidak setiap keinginan itu harus dipaksakan, tidak setiap hasrat harus segera dipenuhi. Semua ada aturannya. Semua ada batasan-batasannya.

Pertama : Hukum Menikah menjadi wajib,
Menikah bagi sebagian besar ulama menjadi wajib hukumnya, ketika seorang itu :
Telah mempunyai kemampuan untuk memberikan nafkah finansial pada keluarganya
Berada dalam lingkungan yang memungkinkan terjerumus dalam kezinaan
Latar belakang keimanan dan keshalihannya belum memadai
Puasa sudah tidak mampu lagi menahan gejolak dan kegelisahannya
Hal ini bersandarkan bahwa : menahan dan menjauhi dari kekejian adalah suatu hal yang wajib, dan jika yang wajib itu tidak terpenuhi selain dengan menikah, maka dengan sendirinya menikah itu menjadi ikut wajib hakimnya. Kaidah ini dikenal dengan nama : “ maa lam yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib “.

Kedua : Hukum Menikah menjadi Haram
Seseorang diharamkan baginya menikah, ketika bisa dipastikan (berdasarkan pengalaman dan dhahirnya) bahwa dalam pernikahan itu ia akan menzalimi istrinya. Salah satu contohnya yaitu :
jelas-jelas tidak mampu memberikan nafkah finansial pada istrinya.
Atau dalam kondisi tidak bisa menjalankan kewajibannya kepada suami/istrinya nanti, semisal : tidak punya kemampuan dalam hubungan suami istri.

Hukum haram ini bisa menjadi berubah saat dipastikan ternyata kondisi-kondisi tersebut telah diperbaiki. Lalu pertanyaan yang menarik selanjutnya adalah : Bagaimana jika seseorang berada pada kondisi yang berbahaya mengarah pada zina, dan pada saat yang sama dia belum mempunyai kemampuan finansial yang cukup ? . Maka solusi ‘sementara’ untuk hal ini adalah menjaga diri dengan berpuasa. Karena jika bertemunya wajib dengan haram, maka yang haramlah yang harus dijauhi terlebih dahulu.

Allah SWT berfirman “ Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. “ (QS An- Nuur ayat 33)

Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda : Wahai segenap pemuda, barang siapa diantara kamu telah mempunyai kemampuan (jimak) maka hendaklah segera menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan, dan menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu (memberi nafkah) maka hendaklah ia berpuasa, karena itu menjadi perisai baginya “ (HR Jamaah)
Ketiga : Hukum Menikah menjadi Makruh
Yaitu ketika seseorang berada dalam kondisi yang dikhawatirkan (bukan dipastikan) akan menimbulkan bahaya dan kerugian jika menikah nantinya, misalnya karena beberapa faktor sebagai berikut :
karena ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya, atau mempunyai penghasilan tetapi sangat belum layak.
Atau bisa juga karena track record kejiwaannya yang belum stabil, seperti emosional dan ringan tangan
Atau ada kecenderungan tidak mempunyai keinginan terhadap istrinya, sehingga dikhawatirkan nanti akan menyia-nyiakan istrinya

Keempat : Hukum Pernikahan menjadi Sunnah
Terakhir, jika seseorang berada dalam kondisi ‘pertengahan’ maka hukum menikah kembali kepada asalnya yaitu sunnah mustahabbah atau dianjurkan. Yaitu jika seseorang dalam kondisi :
Mempunyai daya dukung finansial yang mencukupi secara standar
Tidak dikhawatirkan terjerumus dalam perzinaan karena lingkungan yang baik serta kualitas keshalihan yang terjaga.

Dalil yang menunjukkan hukum asal sunnah sebuah pernikahan, diantaranya adalah yang diriwayakan anas bin malik ra. Yaitu ketika datang tiga sahabat menanyakan pada istri-istri nabi tentang ibadah beliau SAW, kemudian mereka bersemangat ingin menirunya hingga masing-masing mendeklarasikan program ibadah andalannya :
Ada yang mengatakan akan shalat malam terus menerus
Ada yang mengatakan akan puasa terus menerus
Ada yang mengatakan tidak akan menikah selamanya
Dan puncaknya, ketika Rasulullah SAW mendengar hal ini, beliau segera bereaksi keras dan memberikan statemen yang cukup jelas tentang hal tersebut. Beliau bersabda : Demi Allah .. sungguh aku ini yang paling takut kepada Allah di antara kamu sekalian, aku juga yang paling bertakwa pada-Nya, tetapi aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wahita. Maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku maka bukanlah bagian dariku “ (HR Bukhori)

Nah, jika urusannya adalah sunnah, maka insya Allah lebih baik untuk disegerakan. Saya ingat sebuah kisah nyata yang dulu sering saya sampaikan pada ibu saya jauh-jauh hari sebelum akhirnya menikah. Kisahnya seorang pemuda mesir yang belajar di Amerika. Pada tahun pertama, ia minta ijin pada ibunya untuk menikah, tapi oleh ibunya dilarang. Begitu pula tahun kedua, dan ketiga ia mengulangi lagi permintaan untuk menikah, dan senantiasa juga ditolak. Hingga akhirnya di tahun keempat dan kelulusannya, ibunya datang dan mengatakan sekaranglah saatnya menikah. Maka sang anak menjawab dengan enteng : ibu, sekarang saya tidak memerlukan pernikahan, di Amerika ini saya bisa memenuhi kebutuhan biologis saya tanpa harus menikah. Bukankah dulu ibu melarang saya menikah, ketika saya benar-benar membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan biologis saya ?Wal iyyadz billah.

Ikhwan dan akhwat sekalian, marilah mengkaji ulang status dan kondisi kita hari ini. Apakah telah sampai pada kita kewajiban menikah ? sunnah, atau barangkali justru masih dalam status makruh ? Anda lebih tahu jawabannya. wallahu a’lam bisshowab.

4 komentar:

  1. waahhh keren mas artikelnya, bener2 bisa nambah pengetahuan...Apakah kalo kita punya keinginan utk menikah sedangkan kita merasa belum mampu apa itu benar2 menjadi makruh? stadarisasi mampu secara finansialnya itu apa? jazakallah

    BalasHapus
  2. Saya mau tanya pak???
    Kalau Kepala Desa tidak mau memberikan Surat Pengantar Pernikahan dengan alasan perselisihan pribadi dengan orang tua;
    1. Apa yang harus saya lakukan?
    2. Apa yang KUA bisa lakukan?

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum Ustadz..
    setelah membaca postingan blog ustadz ini..ada pertanyaan dalam hati saya :
    jika seorang pemuda sudah cukup untuk menikah, keadaan finansial jg tidak diragukan (sudah ada pekerjaan tetap, walaupun penghasilan tidak terlalu besar) dan keluarga pun sdah mendukung, tapi disini si pemuda itu masih blm ada niatan untuk menikah dikarenakan takut tidak bisa mencukupi keluarganya kelak secara finansial (karena dia masih berfikir masih kurang dan kurang untuk hidup berumahtangga).
    Pertanyaanya adalah :
    1. hukum untuk si pemuda itu bagaimana? (krna sya membaca postingan diatas hukumnya haram dengan contoh tidak mampunya menafkahkan secara finansial, padahal setau saya rezeki setelah nikah itu bisa datang dari mana saja dan bahkan bisa berlipat, lalu korelasinya dengan pertanyaan diatas bagaimana?)
    2. solusi untuk si pemuda itu bagaimana?
    Mohon penjelasannya ustadz..
    Jazakallah khoir
    Wassalamu'alaikum

    BalasHapus
  4. assalamualaikum Ustadz.....
    saya mau nanya bagaiman hukum nya jika seorang wanita menjatuh kan pasah kepada laki2. sedangkan wanita tersebut dalam keadaan tdk sadar (kena guna2). dan apa saja faktor yg dapat menyebabkan seorang wanita itu bisa menjatuh kan pasah kepada seorang laki2

    BalasHapus