12 Nov 2008

Cerpen : Sejadah Pelacur

Sejadah Pelacur

Malam tenang merambat pelan. Bulan tersipu di balik awan. Sinarnya menjelajah hingga ke sebuah kompleks pelacuran. Mengintip gerombolan manusia yang menjual raga dan kepuasan. Tak ada kesunyian di ruangan itu. Asap rokok membumbung tinggi menunaikan tugas kejinya. Bau dan botol minuman keras berpadu utuh dari mulut-mulut para buaya. Jejak-jejak selingkuh bertaburan. Entah berapa istri yang malam itu dikhianati..

Wanita-wanita cantik berjejer bak etalase. Mereka tak perlu berbusana lengkap jika ingin segera menuai rupiah. Mata-mata penuh hasrat berkeliling mencari mangsa.

“ Mana si Lani pujaan hatiku ? Apakah dia menerima tamu ? Bukankah hari ini jadwal kunjunganku …Berapa ratus ribu lagi kah yang dia cari ? “

Laki-laki berdasi separuh baya itu tampak gusar. Ia bertanya pada dirinya sendiri. Setengah jam sudah ia menunggu Lani, pelacur idola para pejabat daerah dan para suami pemburu nafsu. Matanya masih liar menelusuri pojok-pojok ruangan. Dimanakah gerangan wanita yang ia puja tubuhnya itu ?.

Sesosok wanita setengah baya menghampiri lelaki penuh hasrat itu. Tapi ia bukan wanita yang ditunggu-tunggu. Ia mungkin hanya perintis jejak para pendahulu.

“ Oo.. Om Dedy,Welcome ! sudah lama ya Om. Pasti cari si cantik Lani ya ?”, sapanya penuh kehangatan. Ada hubungan mendalam antara keduanya. Antara nafsu rupiah dan nafsu cinta.

“ Ya jelas ! Apakah ada yang membooking dia malam ini? Seharusnya malam ini kan jadwal kunjunganku. Tante Dina harus tanggung jawab ! “, kegusaran melanda seluruh ucapannya. Seolah tak mampu menguasai gejolak nafsu setannya.

“ I'm sorry Om Dedy.. si Lani sudah dua hari ini sakit. Mengurung terus dalam kamar. Mungkin pekan depan sudah siap melayani Om Dedy lagi. Gimana kalo saya ganti dengan si genit Imul. Itu tuh.. yang nggak kalah cantik sama artis dangdut top ibukota “.

Wanita itu memberi sebuah tawaran indah, dihiasi kerdipan mata tua yang nakal.

“ Haah ? Sakit apa.. sudah periksa ke dokter belum ? Kalo perlu kita bawa sekarang, biar semua saya yang tanggung. Jangan dibiarkan ! jangan-jangan kena HIV, bisa mati aku dan keluargaku nanti …”, suaranya semakin bergetar dalam gusar.

“ Sssst… Om Dedy tenang dulu. Jangan teriak-teriak. Urusan Lani ke dokter biar saya yang bereskan. Pokoknya pekan depan di jamin ready for use !. Sudah, sekarang saatnya om bersenang-senang. Tuh si Imul yang duduk di sebelah pojok, yang tangannya melambai-lambai ..”

Wanita setengah baya itu menunjuk seorang gadis berpenampilan aneh. Wajahnya pribumi tapi berambut setengah pirang. Laki-laki itu menoleh tajam penuh hasrat. Sepertinya tak ada lagi yang ia tunggu. Kunci kamar sedari tadi dalam genggaman. Di dalamnya, setan-setan pahlawan nista telah menunggu riang.

*************************


Ruangan sempit itu tak pernah beraturan. Maklum, penghuninya bukan orang sembarangan. Tak pernah ada di malam hari. Mencari rupiah di kantong-kantong lelaki pemuja kepuasan. Hanya ada dua anak manusia di sudut ruangan itu. Yang satu berwajah pucat terbaring lemah. Rambut panjangnya terurai menutup bantal yang mulai menua. Wajahnya menuai keringat yang tak habis di seka. Air matanya mengambang bisu.

Wis to Mbak Lani, jangan dipikirkan yang dikampung. Didongakke wae dari sini. Bukankah bulan kemarin Mbak Lani sudah kirim uang ke sana to ?. Mungkin uang itu bisa buat biaya berobat Ibu mbak Lani ke dokter atau puskesmas “

Wati, wanita muda di sebelah Lani, mencoba menghibur sahabat seprofesinya itu. Yang dihibur masih terisak. Hanya suara-suara serak yang terdengar. Kesedihannya tak menyisakan tenaga. Sudah dua hari ini tubuhnya melemah.

“ Tapi Wati.. Bagaimanapun aku harus pulang. Paling tidak aku ingin merawat ibu di saat-saat terakhir. Dan aku juga ingin njaluk ngapuro. Selama ini ibu tak pernah tahu jika pekerjaanku di sini begitu keji, keji... apalagi…….apalagi..”

Perkataannya terputus. Ada sesuatu yang sangat berat menekan pita suaranya. Tumpahan air mata kembali menghias wajah pucatnya.

“ Apalagi apa Mbak ? “, Wati menimpali dengan pelan. Lani mencoba meneruskan ucapannya.

“ Apalagi dengan anakku, si mungil Rani. Sudah tiga tahun aku tak pernah pulang mengunjunginya. Entah bagaimana kabarnya diasuh neneknya yang kini sakit keras ! Watii… aku harus pulang….aku harus pulang. Aku harus melihat ibu dan anakku !!Bantu aku Wati !! “

Terdengar kembali isak tangis yang memilukan. Keduanya berpelukan saling menguatkan.

“ Sudah..sudah Mbak ! … Mbak pulang saja sebentar ke kampung. Biar Wati yang bilang ke Tante Dina, dan biar Wati juga yang jadi jaminan Mbak…”

“ Benarkah demikian? Wati… sungguhkah ucapanmu itu ? “, tatapnya seolah tak percaya. Semakin luruh hati Wati mengiyakan.

“ Benar Mbak, tapi Mbak harus segera pulang ke sini. Para centeng Tante Dina nanti bisa menyusul Mbak ke kampung. Dan… dan.. mungkin bisa jadi aku akan disiksa dan dikurung oleh Tante Dina, jika Mbak tidak segera ke sini… “

Suara Wati terdengar bergetar ketakutan. Nuraninya ingin membantu Lani sepenuhnya, tapi ia bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa di kompleks pelacuran itu. Ia sama posisinya dengan Lani, terjebak dalam mimpi buruk berselimut nestapa.

Maturnuwun Wati… maturnuwun….Dengan apa aku bisa membalas kebaikanmu nanti ?“

Tak ada suara jawaban. Hanya dua pasang mata yang menerawang ke langit-langit kamar. Berharap ada keajaiban mengubah jalan hidup keduanya. Bulan beranjak ke peraduan. Di luar, tawa-tawa wanita penggoda masih terdengar. Sebagian memang tertawa riang, lepas dan bebas. Tapi sebagian yang lain terdengar menjerit dalam kepalsuan.

**********************

Gerbong kereta api bergetar dalam paduan rel-rel yang berkelok dan menyimpang. Sebagian penumpang terpekur diam dalam mimpi-mimpi siang. Yang lainnya asyik bercengkrama dengan pemandangan alam. Buliran padi menguning menemani perjalanan panjang.

Lani terdiam dalam gerbong yang tenang. Hanya sesekali petugas kereta lewat menebar senyuman, meliriknya nakal. Ia memang menarik di mata laki-laki kebanyakan. Hanya saja, kesedihan kini mengurangi kecantikan wajahnya. Meski matanya masih terlihat menabur harapan. Ia ingin segera bertemu ibu dan putrinya tercinta di kampung halaman.

Ingatan Lani melayang jauh ke belakang. Sejarah pahit hidupnya hampir-hampir tak terlukiskan. Betapa hatinya sempat berbunga saat dijodohkan oleh keluarganya dengan Pardi, putra tertua kepala desa. Pasangan serasi, kata orang-orang. Lani sang bunga desa, di sunting Pardi, putra kepala desa yang sarjana !

Namun sayang, hanya tiga bulan umur kebahagian mereka. Setelahnya, jiwa dan raga Lani merana. Suami yang dihormatinya ternyata pemuja tubuh wanita. Ia melarikan janda kembang desa tetangga. Meninggalkan janin dan ruh di rahim Lani. Dunia sempit pun mulai menghias hari-harinya.

Setelah Rani lahir, ibu kota menjadi pilihan. Tak ada pekerjaan yang menuntut ketrampilan. Yang ada hanya kenalan dan uang. Tapi Lani punya kecantikan, ia diterima bekerja di sebuah toko dengan lirikan nakal calon majikannya. Hanya dua hari bekerja, sang majikan memperkosanya. Setelah menabur obat di gelas minuman yang ditawarkan pada Lani. Lani pun keluar dari pekerjaannya dengan hati tercerai berai.

Tuntutan uang di ibu kota terus memburunya untuk bertahan hidup. Apalagi buah hati kecilnya hanya sendirian bersama neneknya yang mulai merenta. Setiap bulan harus ada yang dikirimkan ke kampungnya. Agar anaknya bisa tetap tersenyum riang dalam kesepian kasih sayang ibunya.

Pernah sekali Lani diterima bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tapi tak lama menunaikan tugasnya, kembali kehormatan tubuhnya di renggut paksa. Kali ini oleh anak majikan bersama teman-temannya. Hatinya kembali hancur luluh lantak. Terkadang ia mencerca kaum lelaki penuh kebencian. Saat lain ia mencerca dan menyesalkan kecantikan wajahnya, yang sering mengundang hasrat jahat di benak lelaki yang memandangnya.

Hingga suatu ketika, senyum manis Tante Dina menawarkan sejumlah pundi kebahagiaan berbalut rupiah. Lani pun terjebak dalam dunia nestapa berlumur dosa. Menjerat lembar-lembar rupiah dari kantong penikmat tubuhnya. Ia rutin mengirim uang ke kampung halamannya. Menjelma menjadi sesuap nasi kehidupan untuk ibu dan putrinya.

“ Stasiun Tawang lima menit lagi ! Penumpang yang turun di Semarang harap segera mempersiapkan diri. Kereta berhenti di Stasiun hanya sekitar lima menit !! “

Terdengar seruan petugas kereta dari depan gerbong. Lani terbangun dari lamunan masa lalunya. Kampung halaman ada di hadapannya. Tak sabar hatinya ingin tahu kabar ibu dan Rani buah hatinya.

*************************

Mentari sore bertahan dalam temaram. Seorang perempuan muda menginjak kembali desa kelahirannya. Rumah mungil yang bersahaja. Pepohonan yang asri menghias kanan-kirinya. Langkah Lani mendekat bertabur tanda tanya. Ia mendapati rumahnya penuh kerumunan. Orang-orang memandangnya penuh iba. Baru saja mereka selesai mengubur jenazah ibu Suratmi, ibu kandung Lani.

Kepala desa menyambut Lani. Beberapa sanak saudara masih menangis haru.

“ Apa yang terjadi pak Kades ? Pak dhe Muslih ? Ibu di mana ? sudah di bawa ke dokter ? “, tanya Lani dengan suara bergetar.

“ Maafkan kami Lani, semuanya terlambat. Penyakit lever ibumu sudah sangat parah. Almarhumah juga ngotot tidak mau dibawa ke dokter. Beliau takut menyusahkan orang lain. Beliau meninggal tadi pagi… kami baru saja pulang dari pemakaman..”

Suara bijak Pak Kades terdengar bagai petir yang menyambar di telinga Lani. Harapannya mengais maaf dari ibu kandungnya lepas sudah.. Tubuhnya bergoncang. Bumi tempat kakinya berpijak bergetar. Langit yang menaunginya jiwanya runtuh.

“ Ibu… maafkan Lani ibu, anakmu ini tak bisa merawat bunda saat renta. Maafkan Lani yang jarang mengunjungi ibu. Ibu ridhoi Lani… anakmu ini berlumpur dosa..entah sampai kapan bunda…”

Lani mematung diam di sebelah makam yang masih basah. Pepohonan rimbun berlomba memberinya kesejukan. Kesedihannya berlapis penyelasan. Ia memohon ridho ibunya dari dosa-dosa yang tertinggal di jakarta. Senja itu menguras airmatanya.

Masih ada harapan.bagi Lani. Si kecil Rani hangat menyambutnya. Kerinduan kasih sayang yang lama terpendam. Umurnya sekarang menjelang sepuluh tahun. Putri kecil dengan jilbab mungil menghias kepalanya. Mata berkaca bening yang mengundang cinta.

Sudah dua tahun ini neneknya memasukkan Rani ke TPA agar mengenal agamanya. Gadis cilik yang setia memberi cinta pada bundanya.

“ Bunda, Isya’ hampir menjelang bunda…. Bunda belum sholat maghrib khan ? “, tulus ucapan Rani mengingatkan bundanya yang masih bergayut dalam kesedihan.

“ Oh.. Rani anakku… ..”

Suara Lani terdengar paru. Hatinya tersipu dalam ragu. Sejak terbenam dalam lumpur yang dikenalkan Tante Dina, Lani memang jarang menyentuh mukenanya. Tak ada yang sholat di kompleks pelacuran itu. Yang ada hanya tangisan taubat semu di malam hari raya. Saat para tamu kembali ke keluarganya.

Hari-hari barunya bersama Rani membawa sejuta kesejukan baru. Anaknya bak malaikat kecil yang selalu memberinya nurani. Pelajaran yang selama ini jarang ia dapati di ibu kota.

“ Kok Bunda nggak pakai jilbab ya ? Kan Kata Mbak Rahmah pengajar TPA, muslimah harus pakai jilbab. ..”. Suatu ketika Rani mengingatkan bundanya.

“ Ah Rani sayaang, Bunda merasa nggak pantas pakai jilbab Rani.. “

“ Kata siapa bunda ? Bunda pasti terlihat lebih cantik saat pakai jilbab. Dan Bunda tahu nggak ? Mbak Rahmah juga bilang, yang nggak pakai jilbab katanya nggak bakalan mencium bau surga .. “

Lani terpekik bisu penuh kengerian.

“ Iya.. iya..sayang, bunda janji akan pakai jilbab dan rajin sholat. Tapi nanti saat bunda di Jakarta saja ya… “

Lani berusaha menghindar. Ah.. Seandainya putri kecilnya tahu apa profesi bundanya. Seandainya Rani tahu bundanya seorang pelacur ? Yang harus berpakaian lebih minim dari sehelai jilbab sekalipun !

Lani terpekur lama, ia bukan saja merasa tak lagi dapat mencium bau surga. Bahkan di malam-malam yang pekat, di ranjang-ranjang kenistaan, ia selalu mencium busuk aroma neraka ! Hatinya kembali tergugu. Jika Tuhan maha pengampun, adakah surga yang dikhususkan untuk para pelacur sepertinya ?

**************

Kebersamaan yang penuh kenangan. Mengikat cinta sepasang dua anak manusia, Lani dan anaknya.. Namun dua minggu berselang, datang utusan dari Jakarta. Tante Dina mengharap Lani sang idola, kembali ke pangkuan. Tak ada jalan untuk menghindar bagi Lani. Bayangan Wati terpekik menuai siksa, mengganggu benaknya. Ia harus kembali ke Jakarta, menabur kembali benih dosa-dosa barunya..

Gadis kecil berjilbab itu matanya berkaca. Seperti saat pertama menyambut bundanya. Tetes air mata perpisahan memenuhi pelupuknya.

" Rani pengin ikut Bunda di Jakarta,.. Rani mau bantu Bunda kerja di sana …"

Tersekat pita suara Lani. Pekerjaannya sama sekali tak membutuhkan bantuan.

" Ssst… Rani jangan nangis ya.. Rani di sini dulu sama bibi. Bunda akan rutin jenguk Rani sebulan sekali…. "

Rani yang malang mengiba. Tapi ibunya tak mempunyai pilihan lagi. Wati menunggunya penuh harap di Jakarta. Terlambat sedikit bisa berakibat fatal bagi jiwa sahabatnya.

Gadis kecil itu berlari masuk ke rumah asrinya. Sejurus kemudian ia keluar membawa sesuatu di tangannya. Selembar sejadah coklat yang usang .

" Bunda ini dari Rani buat bunda di Jakarta. Kalau bunda pas kerja jangan lupa sholat bunda, biar nanti kita sama-sama masuk surga. Jangan lupa doakan Rani terus bunda."

Sejadah usang itu berpindah tangan. Meninggalkan pemilik sebelumnya dalam kesedihan. Lani segera beranjak dari rumahnya. Hatinya bertanya pilu, sejahat apakah dia tega meninggalkan buah hatinya. Mata sembab Rani mengekor sosok yang dicintainya itu hingga menghilang ditelan tikungan.

***************

Kompleks kenistaan itu masih seperti dulu. Nafsu merajalela tak terbelenggu. Tangan-tangan bergelayutan manja menyusup sanubari para pemuja raga. Langkah Lani tertahan ragu. Ia mendapati dirinya sangat asing di tengah teman-temannya..

Lani berubah. Kini ia tak banyak menerima tamu. Hari-harinya membisu dalam kesendirian. Beberapa temannya sering mendapati Lani bersimpuh dan tersungkur di atas sejadah usangnya. Lani ingin sejadah itu dapat menemaninya mengetuk pintu surga.

Mentari siang terik membakar peluh. Tante Dina dan seorang pengawal buasnya muncul di kamar Lani. Wajahnya bersimbah kemarahan. Seribu cerca menghiasi mulut panasnya. Tangannya menunjuk-nunjuk kalap ke arah sajadah usang tak bernyawa.

" Lani ! Kau kesurupan malaikat apa di kampung halamanmu ?. Semalam Om Dedy kalap mencari-cari kamu. Kalau begini terus Aku bisa rugi !! Jangan sok bertaubat, kita diciptakan untuk menghias neraka ! Kemarikan sejadah usang itu, di sini ia tak ada gunanya. Biar ku bakar saja sajadah ini, kau kira ia bisa mengantarmu ke surga "

Beberapa saat dalam kepanikan. Tak ada gunanya mengiba di depan Tante Dina. Umurnya telah habis untuk mencerca dan menyiksa. Sejadah itu terkoyak tangan kasar pengawal Tante Dina. Sajadah itu terlempar ke sudut kamar penuh bara. Korek api sang pengawal baru saja menunaikan tugasnya.

Sajadah usang itu tak berdosa. Hiasan gambar masjid yang indah tapi lusuh mengundang iba. Namun bara merenggut kesejukan dan keindahannya. Sejadah itu diam, namun helai-helai rajutan menyiram panas ke sekujur tubuhnya. Melahap tebaran kain-kain yang berserakan di sudut kamar. Tiba-tiba api semakin cepat berkobar merajalela. Sudut kamar menjadi kawah api yang siap meledak hebat.

Wajah-wajah terkesiap panik. Tante Dina mematung beku, mulutnya terkunci teranyam bisu. Teriakan penghuni kompleks bersahutan dari setiap penjuru.

" Kebakaran..kebakaraan….. "

" Toloooong…..tolooong ! ambil aiir cepaaaat .."

" Hubungi satpam…..ketua RT …."

" cari air sebanyak-banyaknya… cepat siraaam !! "

" Bangunkan semua yang masih tidur ! nyawa kita terancam ! "

Api berkobar hebat tak mengenal belas kasihan. Terik mentari menemaninya melahap dinding-dinding tak bertuan. Ranjang kenistaan bergelut dengan panasnya bara. Minuman keras menyala-nyala merenggut setiap sisi kompleks itu.

Para penghuni berlarian ketakutan. Perempuan-perempuan setengah telanjang keluar berhamburan, menenteng tas-tas yang bisa diselamatkan. Nyawa mereka menjadi taruhan. Tak seorangpun yang siap menyambut maut saat itu.

Langkah Lani menjauh mencari celah untuk hidup barunya. Wajah Rani dan kampung halamannya begitu dekat di pelupuk matanya. Sebentar ia menoleh ke belakang, mencari-cari keteguhan. Dilihatnya dari kejauhan, Tante Dina melangkah tertatih keluar dari bara api yang penuh amarah. Wajah pesoleknya kosong tak bernyawa. Ia baru saja selamat dari neraka dunia !.

Selesai



2 komentar:

  1. save your child salut buat cerita nya

    BalasHapus
  2. Cerpennya dapat menjadi inspirasi untuk bertobat

    BalasHapus